Alih Status Momentum Transformasi

PPMP#3

Oleh: Eka Hendry, Ar. M.Si

Keberadaan STAIN Pontianak harus dilihat dalam 2 kerangka, yaitu sebagai institusi pendidikan tinggi formal berbasis keagamaan dan juga harus dilihat sebagai asset atau kekayaan yang dimiliki oleh Kalimantan Barat. Kekayaan, tidak semata bagi umat Islam, akan tetapi juga asset bagi daerah. Tentu kekayaan yang dimaksud adalah secara substansial bahwa, kampus ini harus terus-menerus men-create generasi-generasi terdidik dan tercerahkan (setidaknya) bagi daerah ini. Generasi-generasi terdidik dan tercerahkan dibutuhkan untuk meneruskan dan mengembangkan daerah ini di masa depan. Kemudian dari kampus ini juga harus terus menerus dihasilkan karya-karya ilmu pengetahuan yang berguna bagi masyarakat dan kemanusiaan. Inilah sesungguhnya dari makna kampus ini sebagai aset atau kekayaan umat dan daerah.

Menyadari bahwa, institusi ini merupakan kekayaan, maka perlu ada kesadaran baru atau pembaharuan tekad (renewal of obsession) dari para civitas akademika STAIN Pontianak untuk menata ulang cara berpikir, berstrategi, bersikap dan bertindak untuk kemajuan lembaga. Mengelola lembaga ini tidak bisa lagi dengan cara biasa (conventional ways) akan tetapi membutuhkan lompatan-lompatan besar untuk keluar dari kotak kebiasaan (out of box). Tentu saja lompatan secara rasional, kontekstual, berani dengan segala resiko (risk taking calculation) dan cermat serta cepat dalam memanfaatkan capaian-capaian ilmu IPTEK (leafroging advantages).

Insyallah, sekiranya ijin perubahan bentuk menjadi IAIN terwujud tahun ini (2013) maka ini akan menjadi milestone dan sekaligus momentum bagi civitas akademika STAIN Pontianak untuk melakukan tranformasi. Karena sejatinya, perubahan bentuk bukan sekedar transformasi institusional saja, akan tetapi tuntutan sesungguhnya dari negara dan masyarakat adalah transformasi kualitas penyelenggaraan Tri Dharma. Sekiranya momentum alih status ini tidak dikelola secara benar, bisa-bisa mengalami “sindrom reformasi”, yaitu semua energi dihabiskan untuk mencapai alih status, tapi manakala alih status telah tercapai, kita mengalami diorientasi alias bingung harus berbuat apa lagi.

Harus kita sadari sedari awal, kelak alih status akan banyak menghadirkan “kejutan-kejutan”, seperti anggaran DIPA yang jauh lebih besar ketimbang Sekolah Tinggi, jabatan-jabatan yang harus diisi dengan konsekwensi logis penambahan pendapatan dan kejutan-kejutan lainnya. Namun di sisi lain, materi yang jauh lebih “melimpah” terkadang malah “menumpulkan” kreatifitas dan kecerdasan melihat peluang perubahan ke arah yang lebih baik.   Dugaan penulis, 3 hingga 5 tahun pertama, kita semua akan dihinggapi euphoria perubahan bentuk, tentu saja dengan ekspresi yang beragam.   Buntutnya adalah perubahan bentuk hanya akan menjadi perubahan yang berderajat peripheral (atau simbolik) yang tidak menyentuh substansial (atau hal-hal yang fundamental). Warning ini perlu penulis kemukakan, agar menjadi bahan pemikiran dan perenungan kita bersama.

Oleh karenanya, maka memperbaharui obsesi dan cita-cita harus kita lakukan dan kita harus membuat lompatan-lompatan besar di masa depan. Menurut hemat penulis setidaknya ada 3 pilar yang harus dikokohkan di masa depan, yaitu:

Pertama, pilar universitas yang memproduksi pengetahuan (Knowledge Production University). Kampus ini sudah selayaknya bukan sekedar menjadi kampus penyambung lidah para ilmuan klasik dengan ilmuan kontemporer (terutama dalam bidang keagamaan). Akan tetapi sudah saatnya kita berpikir untuk menjadi kampus yang memproduksi pemikiran, gagasan dan model-model baru yang lebih up to date dalam bidang sosial dan keagamaan (sebagai nomenklatur keilmuan Sekolah Tinggi atau Institut Keagamaan). Manifestasinya, dosen dan mahasiswa harus didorong untuk “mencipta” atau memproduksi gagasan-gagasan dan model-model baru dalam hal pembelajaran, pengajaran maupun interpretasi praktis ajaran-ajaran keagamaan dalam konteks sosial kemasyarakatan. Mind set pengajaran di kampus ini harus diorientasikan pada semangat pembacaan kritis terhadap khazanah ilmu pengetahuan klasik dan kontemporer serta semangat eksplorasi dan penemuan (exploration and invention) hal-hal baru yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Ini memang sebuah proyek besar, membutuhkan banyak energi, modal dan couriosity yang kuat serta dalam waktu yang tidak singkat.

Kedua, Pilar Kampus Riset. Untuk menopang terwujudnya spirit produksi pengetahuan maka harus ada kebijakan yang bersifat serius dari pimpinan untuk mendorong penguatan pada bidang riset, baik di kalangan dosen maupun mahasiswa. Manifestasi penguatan tersebut berupa dukungan budgeting yang memadai, penguatan kapasitas para dosen dalam bidang penelitian, affirmative action untuk mendorong kompetisi dalam bidang penelitian, diversifikasi bidang dan masalah penelitian, publikasi ilmiah hasil-hasil penelitian sehingga dapat diakses oleh masyarakat secara luas. Budget “sarung pendek” dalam bidang penelitian dipastikan tidak akan menghasilkan penelitian yang berkualitas dan mendalam, maka wajar saja penelitian-penelitian yang ada masih jauh dari harapan.   Penguatan riset ini sangat strategis dalam rangka meningkatkan nilai kompetitif dari lembaga pendidikan serta sebagai ujung tombak dalam menterjemahkan visi dan misi STAIN/IAIN, menjadi pusat studi dan pengembangan budaya Islam lokal. Sejauh ini, visi ini masih mengawang-awang antara langit dan bumi, belum terbumikan secara konkrit dalam bentuk produk-produk keilmuannya. Obsesi kita bagaimana menjadikan STAIN/IAIN Pontianak nantinya dapat menjadi salah satu “kiblat” ilmu pengetahuan sosial keagamaan di Kalimantan (khususnya) maupun di Indonesia (pada umumnya).

Ketiga, Pilar Jaringan Kerjasama. Pilar ketiga yang harus diperkuat dalam rangka menyangga lembaga yang akan memproduksi pengetahuan adalah memperluas dan mengintensifkan jaringan kerjasama dengan pihak-pihak luar, baik dalam dan luar negeri. Karena ini konteksnya penguatan produksi pengetahuan, maka jaringan kerjasama yang harus diperkuat adalah kerjasama dalam bidang pengembangan keilmuan dan riset. Tentu saja sasaran dari kerjasamanya adalah Perguruan Tinggi-Perguruan Tinggi, baik dalam dan luar negeri. Untuk PT luar negeri, jika 5 hingga 10 tahun yang lalu mungkin ini baru sekedar mimpi, namun tidak untuk hari ini. Dengan semakin banyak para dosen yang lulusan luar negeri, maka hal tersebut tidak sulit lagi untuk diwujudkan. Inter-relasi ini dimaksudkan untuk “membuka selubung kabut” yang membatasi cakrawala wawasan civitas akademika STAIN Pontianak, agar tidak lagi berjalan di tempat (involutive) dan sempit (narrow minded). Wujud kerjasamanya bisa dalam bentuk dosen tamu, chair lecture, pertukaran mahasiswa, akses jurnal ilmiah, dan jika suatu saat nanti sudah memungkinkan bisa kita kembangkan kerjasama riset.

Ketiga pilar ini setidaknya dapat menjadi starting point bagi kita untuk memulai transformasi secara substantif. Untuk mewujudkan hal tersebut, sudah saatnya mulai mendesign masa depan lembaga ini, melalui perangkat-perangkat yang fundamental seperti meredesign rencana strategis (renstra) untuk 5 hingga 20 tahun ke depan, menyusun sistem penjaminan mutu pendidikan sehingga semuanya menjadi terencana, terstandard dan dapat terukur progresnya. Kemudian yang tidak kalah penting, setiap komponen atau unit yang ada di STAIN/IAIN Pontianak harus melakukan pembacaan ulang terhadap “tubuh dan muatan” kita masing-masing, bahkan kalau perlu melakukan reformulasi paradigmatik (untuk tidak menyebut revolusi paradigmatik) pengelolaan lembaga. Komponen-komponen seperti Jurusan/Fakultas dan Program Studi harus mengevaluasi kembali keberadaannya, mengkritisi lagi visi, misi dan kurikulumnya serta membuat kebijakan-kebijakan yang lebih kreatif dan berani. Kalau tidak, kita akan menjadi lembaga pendidikan yang “biasa-biasa” saja, bukan kampus yang “luar biasa”.

Print Friendly, PDF & Email