Oleh: Acan Mahdi, M.Si
(Dosen Jurusan Dakwah dan Kepala Lab. Fotografi)
Mungkin tidak berlebihan bila John Fitzgerald Kennedy (mantan presiden Amerika Serikat) pada suatu ketika pernah berujah bahwa ia lebih takut kepada seorang wartawan dari pada seribu tentara. Hal serupa juga dilakukan Lenin (mantan diktator Jerman). Gara-gara di bantu kekuatan pers, Lenin mencapai titik puncak gerakan revolusi, kemudian dia berujah, “waspadalah terhadap kekuatan pers, sebab tarikan pena sang kuli tinta itu bisa merakit sederet tulisan sakti.”
Apa yang dikatakan John F. Kennedy dan Lenin di atas memang bagian dari sejarah kehidupan mereka dan bahkan mungkin menjadi halaman tersendiri bagi catatan sejarah perpolitikan dinegaranya masing-masing. Namun demikian, substansi dari apa yang mereka bicarakan tidak akan pernah usang dimakan zaman. Pers dan wartawan akan selalu menjadi momok bagi kalangan tertentu.
Ketakutan-ketakutan yang tidak beralasan terhadap pers dan wartawan dalam konteks kekinian memang masih terjadi, terutama bagi mereka yang memiliki otoritas sosial. Fakta menunjukan bahwa betapa orde baru sangat alergi dengan kebabasan pers. Selanjutnya, perspun diberendel dan digiring dalam wacana yang dikehendaki penguasa. Pers, seakan kepanjangan tangan dari penguasa. Kemudian apa yang terjadi?, perspun mandul, tidak ada keberanian untuk bersuara menentang kebijakan-kebijakan penguasa yang tidak berpihak kepada masyarakat. Wajar saja, karena pers yang berani bersuara lantang siap-siap saja untuk dicabut izin penerbitannya. Apa yang pernah terjadi dengan Tempo dan Gatra, itulah bukti arogansi penguasa orde baru. Dimasa orde baru, SIUP merupakan senjata ampuh penguasa untuk memberendel pers yang dianggapnya lancang.
Koran Indonesia Raya, yang ditutup pemerintah 1974 merupakan sejarah pahit dunia pers kita. Indonesia Raya, kemudian menjadi legenda kepongahan penguasa yang akan selalu mengisi relung hati pegiat pers di tanah air. Koran yang di kenal kritis, anti korupsi, anti penyelewengan itu menghembuskan nafas terakhirnya 15 Januari 1974.
Ketakutan-ketakutan seperti ini tidak hanya ada pada para penguasa. Secara individu, mereka, para pemilik modal juga acap kali menunjukkan kepongahannya kepada pers. Kebebasan pers sering dianggap mengganggu stabilitas dan kemapanan sosial mereka. Al hasilnya, perspun disuguhkan dengan aksi brutal dan premanisme. Dengan kepongahannya, mereka membayar para preman untuk membinasakan pers yang dianggapnya telah mencemarkan nama baik dan mengganggu stabilitas dan kemapanan sosial yang telah mereka capai. Premanisme bermain, perspun kecut. Bak mimpi di siang bolong, alih-alih memberikan hak jawab, perspun diduduki.
Mungkin kita masih ingat, peristiwa pendudukan kantor pusat majalah Tempo tahun 2003. Apa yang terjadi?, masyarakat biasapun yang secara hierarki tidak memiliki posisi struktural di pemerintahan bisa berbuat seenaknya terhadap pers yang dianggapnya lancang. Padahal, undang-undang pers tahun 1999 mengatur tentang mekanisme hak jawab, bagi mereka yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers. Sebobrok apapun opini yang diangkat dalam pemberitaan pers tentang seseorang atau sebuah institusi, bisa diatasi dengan hak jawab. Toh, perspun memberikan kesempatan kepada siapa saja yang ingin memberikan hak jawabnya. Bukan dengan, adu jotos dan premanisme.
Undang-Undang Pers tahun 1999 merupakan produk undang-undang terbaik yang pernah dimiliki pers. Sebuah Undang-Undang yang memberikan ruang gerak dan menjamin kebebasan pers dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga penyiaran publik. Sebuah hadiah yang tidak ternilai harganya bagi pers, setelah sekian lama dikerengkeng oleh penguasa Orde Baru. Mungkin, bahkan kita harus berterima kasih kepada para pejuang reformasi, yang telah berjuang tanpa pamrih membuka pintu pembaharuan di negeri ini dalam segala bidang kehidupan. Karena Undang-Undang Pers tahun 1999 yang memberikan ruang gerak dan menjamin kebebasan pers, merupakan buah dari pohon reformasi yang ditancapkan para pejuang reformasi tahun 1998.
Mungkinkah kebebasan pers sebagai buah dari pohon reformasi ini akan berlangsung lama dan dapat kita nikmati terus-menerus hingga akhir hayat?. Ataukah pers kita akan kembali menjadi pers terpimpin, sebagamana pers yang pernah ada pada masa demokrasi terpimpin? Atau kembali dikerengkeng dan ditarik kemana saja asalkan keinginan penguasa, seperti yang dipraktekkan Orde Baru?
Semua itu bisa saja terjadi. Bahkan sudah diambang pintu maut keterpurukan. Penguasa dengan progresif bahkan sudah menyiapkan draf revisi Undang-Undang Pers tahun 1999, yang kononnya tinggal diajukan ke DPR. Dengan dalih kebebasan pers yang dinilainya sudah lepas kendali dan tidak terkontrol lagi. Alih-alih memberangus pers yang tidak bertanggungjawab dan lepas kontrol dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga penyiaran publik, kebebasan perspun akan direnggut.
Merevisi Undang-Undang Pers tahun 1999 itu artinya pemerintah mempertanyakan kembali ruang gerak dan jaminan kebebasan pers. Jika itu betul-betul terjadi, itu artinya secara periodik pers kita akan memasuki babak baru kehidupannya, tetapi secara substansi berarti kembali kemasa pers terpinpin yang pernah ada pada masa demokrasi terpimpin, atau kembali kepada pers Orde Baru. Dan itu bermakna pers kita kembali terkungkung dan diatur oleh penguasa.
Meski apa yang akan dilakukan penguasa tidak secara gamblang menggambarkan apa yang dikatakan JF. Kennedy dan Lenin. Tetapi tersirat makna bahwa penguasa ketakutan dengan kebebasan yang dimiliki pers selama ini. Dengan merevisi Undang-Undang yang memberikan kebebasan pers, berarti penguasa akan mencabut kebebasan pers, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Pers tahun 1999, dan itu berarti penguasa akan mencabut kembali kedaulatan rakyat yang diberikannya melalui UU Pers Tahun 1999.