PMA Nomor 13 Tahun 2019: Pembentukan Majelis Kehormatan untuk Penegakan Kode Etik dan Kode Perilaku Pegawai ASN Kementerian Agama

Kementerian Agama Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2019 yang menetapkan pembentukan Majelis Kehormatan untuk menegakkan Kode Etik dan Kode Perilaku Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN). Peraturan ini merupakan langkah penting dalam memperkuat tata kelola dan integritas di lingkungan Kementerian Agama.

Dengan diterbitkannya PMA Nomor 13 Tahun 2019, Kementerian Agama berharap dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih profesional dan berintegritas tinggi. Pembentukan Majelis Kehormatan ini diharapkan akan menjadi langkah signifikan dalam menegakkan kode etik dan perilaku yang sesuai dengan standar dan harapan publik.

Untuk informasi lebih lanjut mengenai PMA Nomor 13 Tahun 2019, dokumen lengkap dapat diakses disini :

Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2019




Peraturan Menteri Agama Nomor 12 Tahun 2019 Tentang Kode Etik Dan Kode Perilaku Pegawai Aparatur Sipil Negara Kementerian Agama

Kementerian Agama Republik Indonesia telah menetapkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 12 Tahun 2019 yang mengatur Kode Etik dan Kode Perilaku Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN). Peraturan ini bertujuan untuk meningkatkan integritas dan profesionalisme pegawai di lingkungan Kementerian Agama.

Peraturan ini menetapkan prinsip-prinsip dasar yang harus dipegang teguh oleh setiap pegawai ASN di Kementerian Agama. Kode Etik mengatur tentang norma-norma perilaku dan tanggung jawab moral pegawai, sementara Kode Perilaku mengarahkan pada tata cara dan tindakan yang harus dihindari serta dicontohkan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari.

Untuk informasi lebih lanjut mengenai PMA Nomor 12 Tahun 2019, dokumen lengkap dapat diakses di sini :
Peraturan Menteri Agama Nomor 12 Tahun 2019

 




TRENDING TOPIK INOVASI LAYANAN HAJI 2024

Oleh: Prof. Dr. H. Syarif, S.Ag. MA*

Kementerian agama tentunya sebagai penyelenggara haji setiap tahuanbya. Penyelenggaraan ini sebagai bentuk pelayaman keagamaan bagi umat Islam Indonesia. Setidaknya 4 tahun terakhir indeks tingkat kepercayaan jamaah atas penyelenggaraan haji selalu meningkat. Tahun 2023 dicapat indeks kepercataan jamaah mencapai 90 %. Tahun 2024 ini indeks kepercayaan jamaah ditarget bisa mencapai 95%.

Ada 4 (empat) indikator pencapaian target suksws pelaksanaan haji tahun 2024 ini. Yaitu sukses pemberangkatan, sukses layanan, wukuf di Arafah, dan sukses pemulangan. Target sukses tersebut telah tercapai tiga sukses. Menyisakan sukses kepulangan. Ini karena tentunya menunggu selesai pemulangan jamaah haji baru bisa diukur kesuksesannya.

Adapaun top sukses yang menjadi TRENDING TOPIK nyaris menjadi buah bibir dalam konteks apresiasi yang sangat positif adalah, sukses wukuf arafah dengan kebijakan Skema MURUR jamaah, terutama bagi yang lansia. Skema MURUR ada pada target Sukses Wukuf di Arafah. Kebijakan ini mendapat apresiasi dari banyak pihak. Tentu sukses kebijakan ini juga mendapat suport atau dukungan dari banyak pihak.

Selain para ahli hukum Islam di internal kementrian agama, kebijakan MURUR mendapat dukungan fatwa hukum dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menyampaikan statementnya tentang bolehnya MURUR dalam pelaksanaan haji. MURUR artinya berlalu atau melewati Muzdalifat di mana wajib haji mencantumkan mabid di musdalifah mulai tengah malam. Di antara amaliah yang dikerjakan adalah mengambil batu kerikil 7×3 untuk pelaksanaan jamarat di hari tasyrik.

Mengapa Skema MURUR menjadi tranding topik sebagai INOVASI Layanan Haji dan mendapat apresiasi yang luar biasa? Berikut ini alasannya, bahwa area yang diperuntukkan bagi jemaah haji Indonesia seluas 82.350m2. Pada 2023, area ini ditempati sekitar 183.000 jemaah haji Indonesia yang terbagi dalam 61 maktab. Sementara ada sekitar 27.000 jemaah haji Indonesia (9 maktab) yang menempati area Mina Jadid. Sehingga, setiap jemaah saat itu hanya mendapatkan ruang atau tempat (space) sekitar 0,45m2 di Muzdalifah. “Ini saja sudah sangat SEMPIT dan PADAT,” demikian dipaparkan oleh Subhan Cholid, Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri Ditjend PHU, Kemanag RI.

Tahun 2024, Mina Jadid tidak lagi ditempati jemaah haji Indonesia. Sehingga, 213.320 jemaah dan 2.747 petugas haji akan menempati seluruh area Muzdalifah. Padahal, tahun ini juga ada pembangunan toilet yang mengambil tempat (space) di Muzdalifah seluas 20.000 m2. Sehingga, ruang yang tersedia untuk setiap jemaah jika semuanya ditempatkan di Muzdalifah, 82.350 m2 – 20.000 m2 = 62.350 m2/213.320 = 0,29m2.

“Tempat atau space di Muzdalifah menjadi semakin sempit dan ini berpotensi kepadatan luar biasa yang jika dibiarkan akan dapat membahayakan jemaah. Sebab itulah maka diterapkan skema murur saat mabit di Muzdalifah”, lanjut Subhan Cholid.

Kebijakan Skema MURUR dinilai sangat tepat dan bijaksana. Kerena tentu menyebabkan berkurangnya kepadatan yang luar biasa di Muzdalifah, yang pasti itu artinya mewujudkan kemudahan. Maka ijtihad yang dapat disebut Inovasi ini mendapat apresiasi positif yang sangat luar biasa. Penulis yakin Kebijakan Skema MURUR ini akan mendongkrak INDEKS KEPUASAN JAMAAH atas layanan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2024 ini.

* Penulis adalah Rektor IAIN Pontianak dan Ketua PWNU Kalimantan Barat




Rektor Hadiri Halal Bihalal Kejati Kalbar, Menanggalkan Egoisme untuk Kebersamaan dalam Memperkokoh Keberagaman

Pontianak (iainptk.ac.id) Rektor IAIN Pontianak hadiri acara Kopi Santai sekaligus Halal Bihalal di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalbar, yang mengangkat tema “Kebersamaan dalam Memperkokoh keberagaman”. Kegiatan ini berlangsung pada Rabu, 11/05/2022 malam di halaman Kantor Kejati Kalbar.

Turut hadir dalam acara ini Gubernur Kalimantan Barat, H. Sutarmidji, S.H., M.Hum., dan unsur Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Provinsi Kalimantan Barat. Serta perwakilan berbagai kelompok masyarakat di Kalbar, termasuk didalamnya mahasiswa.

Kepala Kejati Kalbar, Dr. Masyhudi, S.H., M.H., sebagai tuan rumah mengucapkan “Saya, selaku Kajati Kalbar, bersama Gubernur Kalbar, Kapolda Kalbar, Pangdam XII Tanjungpura, dan Ketua DPRD Provinsi Kalbar, mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1443 Hijriyah kepada seluruh masyarakat Kalbar.”

Dikesempatan kali ini Rektor IAIN Pontianak, Dr. Syarif, S.Ag., MA., sesuai tema yang ada mengungkapkan untuk mencapai kebersamaan dalam memperkokoh keberagaman dalam perspektif agama perlu menanggalkan egoisme.

Beliau menyampaikan penjelasannya dengan mengatakan “ Kita perlu menanggalkan egoisme untuk kebersamaan dalam memperkokoh keberagaman. Beragama itu adalah memasrahkan diri kepada tuhan dan menanggalkan egoisme, lalu kita mesti fana dalam artian continue, ikhlas, tulus dalam menanggalkan egoisme. Egoisme merupakan penyakit, kalau kita tidak bisa menanggalkan egoisme, maka harapan kebersamaan hanya angan-angan belaka.”

Beliau juga mengutip sebuah kalimat didalam Al-Quran dengan penjelasan, “Sekiranya tuhan itu mau, maka kita ini akan dijadikan satu jenis saja. Seperti 1 agama saja, 1 bangsa saja, atau 1 suku saja. Tapi, kata tuhan kami hendak menguji dengan keberagaman itu dan kita di pinta untuk berlomba dalam kebagikan.”

Beliau yang juga sebagai akademisi di bidang Tafsir melanjutkan “Makna dari kebaikan yang diperlombakan adalah sesuatu yang kalau dilakukan semua orang suka. Seperti keadilan dan kejujuran. Perlu dihindari kebalikannya, yang semua orang tidak suka. Seperti berbohong dan bersifat kasar.”

Beliau mengajak untuk menjalankan agama secara mendalam, “Ayo kita sama-sama menjalankan agama secara proporsional, secara baik dan perlu diingat tujuan dicipkatan keberagaman ini untuk kenikmatan yang indah, bukan untuk saling menghancurkan.”

Dikesempatan yang sama juga ada pertanyaan dari perwakilan mahasiswa kepada Rektor IAIN Pontianak, prihal egoisme dalam kepengurusan organisasi di kampus. Pertanyaannya adalah Bagaimana caranya kita bisa menangani egoisme ?

Rektor-pun menjawab “Sudah dapat merasakan diri itu egois, merupakan langkah yang bagus. Kadang orang tidak tahu kalau dirinya egois. Dalam perspektif agama, dosen tidak bisa membetulkan hati mahasiswanya. Karena Allah sudah mengklaim dalam surah Al-Anfal ayat 24 bahwa hanya Allah yang bisa memisahkan hati dengan penyakitnya. Diayat lain menyebutkan bahwa Allah yang menyabut penyakit hati bukan kalian.”

“Oleh karena itu, satu-satunya cara mendekatkan diri kepada Allah dengan minta tolong kepada-Nya dengan sabar, caranya sholat. Sholat itu adalah satu-satunya cara mendekatkan diri kepada Allah yang efektif. ” Terakhir Beliau juga menambahkan “Pelajari agama dengan baik, resapi dan amalkan. Hal ini dilakukan untuk membetulkan diri.”

Penulis : Bambang Eko Priyanto

Editor : Omar Mukhtar




Pengumuman Lelang Bongkaran Eks. Bangunan Gedung Pendidikan Permanen di IAIN Pontianak

Pontianak (iainptk.ac.id) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak dengan perantaraan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Pontianak, akan melaksanakan penjualan di muka umum (lelang) melalui e-Auction Open Bidding terhadap objek lelang berupa Barang Milik Negara.

Adapun yang dilelang berupa Bongkaran Eks. Bangunan Gedung Pendidikan Permanen. Berlokasi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak, Jl. Letjend Soeprapto No.19, Pontianak. Nilai Limit sebesar Rp. 14.842.572.- dengan uang jaminan Rp. 4.966.250,-

Penawaran Lelang dilakukan pada Senin, 09 Mei 2022, Pukul 09.00-10.00 WIB (waktu server ALI). Tempat pelaksanaan lelang di KPKNL Pontianak, Jalan Letjen Sutoyo No. 19, Pontianak.

Syarat dan Tata Cara Pelelangan :

  1. Penawaran Lelang dilakukan tanpa kehadiran peserta (e-Auction) dengan penawaran terbuka (Open Bidding) yang ditayangkan pada Aplikasi Lelang Internet (ALI) pada domain http://www.lelang.go.id/. Tata cara dapat dilihat pada menu “Prosedur Lelang” dan “Syarat dan Ketentuan” pada domain tersebut.
  2. Calon peserta lelang mendaftarkan diri dan mengaktifkan akun di http://www.lelang.go.id/ dengan merekam dan mengunggah softcopy KTP, NPWP, dan nomor rekening atas nama sendiri (apabila kalah uang jaminan akan dikembalikan langsung ke nomor rekening tersebut).
  3. Peserta lelang wajib menyetor uang jaminan dengan ketentuan jumlah yang disetorkan harus sama dengan uang jaminan yang disyaratkan dalam pengumuman lelang ini, dan disetorkan sekaligus (bukan dicicil) serta harus sudah efektif diterima KPKNL Pontianak selambat-lambatnya 1 (satu) hari sebelum pelaksanaan lelang.
  4. Uang jaminan lelang disetorkan ke nomor Virtual Account (VA) di PT. BNI (Persero), Tbk masing-masing peserta lelang yang dapat dilihat pada menu status lelang setelah berhasil melakukan pendaftaran dan data identitas dinyatakan sesuai dokumen yang diberikan.
  5. Harga penawaran belum termasuk bea lelang 2% dari harga penawaran/pokok lelang dan biaya resmi lainnya.
  6. Pemenang lelang harus melunasi kewajibannya paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah dinyatakan sebagai pemenang lelang, apabila tidak dilunasi (wanprestasi), maka uang jaminan seluruhnya akan disetor ke Kas Negara sebagai Pendapatan Jasa Lainnya.
  7. Obyek dilelang dengan ketentuan dan kondisi apa adanya (as is).
  8. Peserta lelang dapat melihat barang yang akan dilelang di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak, Jl. Letjend Soeprapto No.19, Pontianak pada hari dan jam kerja sebelum pelaksanaan lelang.
  9. Lelang dapat dibatalkan sesuai ketentuan dan peserta lelang tidak berhak menuntut ganti rugi atau tuntutan dalam bentuk apapun kepada KPKNL Pontianak atau Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak.
  10. Pembeli diwajibkan untuk mengambil barang hasil lelang paling lama 3 minggu setelah pelaksanaan lelang.
  11. Penjelasan tata cara mengikuti lelang ini dapat ditanyakan langsung ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak No. Telepon (0561) 740601 atau KPKNL Pontianak, Jalan Letjend Sutoyo No.19 Pontianak, pada hari kerja, atau dapat dibuka pada alamat http://www.lelang.go.id/.

Secara resmi dibawah ini ada surat pengumuman lelang yang dapat di download.

Penulis : Bambang Eko Priyanto

Editor   : Omar Mukhtar

[embeddoc url=”https://iainptk.ac.id/wp-content/uploads/2022/04/Pengumuman-Lelang.pdf” viewer=”browser”]




Proses Pemberian Pertimbangan Kualitatif Calon Rektor Oleh Senat IAIN Pontianak Berjalan Lancar

Pontianak (iainptk.ac.id) — Menindaklanjuti Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2015. Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor pada Perguruan Tinggi Keagamaan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Senat IAIN Pontianak melangsungkan pemberian pertimbangan secara kualitatif terhadap calon Rektor, kegiatan ini berlangsung di Ruang VIP Auditorium Syekh Abdul Rani Mahmud, pada Senin (25/04/2022).

Saat ini sudah berlangsung tahapan pemberian pertimbangan calon Rektor di IAIN Pontianak. Pemberian pertimbangan calon Rektor dilakukan melalui rapat Senat yang diselenggarakan secara tertutup. Rapat Senat ini dilakukan untuk memberi pertimbangan secara kualitatif terhadap calon Rektor yang memenuhi syarat.

Sebelum kegiatan berlangsung Ketua Senat IAIN Pontianak, Dr. Nani Tursina, M.Pd,., membacakan daftar hadir para calon Rektor yang sudah siap mengikuti proses pertimbangan kualitatif oleh Senat. Semua Calon Rektor tersebut adalah Dr. Fachrurazi, S.Ag, MM., Dr. Fitri Sukmawati, S.Psi., M.Psi., Psikolog., Prof. Dr. Ibrahim, MA., Dr. Ichsan Iqbal, SE., MM., Dr. Misdah, S.Ag., M.Pd., Dr. Munawar, Drs., M.Si., Dr. Patmawati, S,Ag., M.Ag., Dr. Syarif, S.Ag., MA., dan Prof. Dr. Zaenuddin, S.Ag.,

Ketua Senat IAIN Pontianak, dikesempatan yang sama berharap “Kegiatan ini berjalan dengan lancar dan mendapat Ridho dari Allah. Setelah kegiatan ini selesai, semua berkas Calon Rektor IAIN Pontianak akan kita kirim secara langsung ke Menteri Agama. Penyampaian berkas ini akan berlangsung dalam waktu dekat.”

Pertimbangan kualitatif ini meliputi aspek moralitas, kepemimpinan, manajerial, kompetensi akademik, dan jaringan kerja sama. Instrumen pertimbangan kualitatif ini sesuai aturan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

Perlu diketahui bahwa, pemberian pertimbangan calon Rektor di IAIN Pontianak sudah sah, karena rapat dihadiri lebih dari dua pertiga (2/3) dari seluruh anggota Senat. Hasil pemberian pertimbangan calon Rektor nantinya akan disampaikan kepada Menteri Agama. Waktunya bersamaan dari Senat Ke Rektor dan melalui Rektor IAIN Pontianak ke Menteri Agama.

Selanjutnya, Menteri Agama akan membentuk Komisi Seleksi untuk melakukan penyeleksian calon Rektor yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri. Anggota Komisi Seleksi berjumlah ganjil paling sedikit 7 (tujuh) orang yang terdiri dari ketua dan anggota. Komisi Seleksi ini dapat melakukan uji kepatutan dan kelayakan terhadap calon Rektor. Setelah proses selesai, Komisi Seleksi menyerahkan Calon Rektor kepada Menteri paling banyak 3 (tiga) orang. Hingga akhirnya Menteri Agama akan memilih 1 (satu) Rektor IAIN Pontianak Masa Jabatan 2022-2026.

Penulis : Bambang Eko Priyanto

Editor   : Omar Mukhtar




Wukuf ‘Arafah (Ushul dan Hikmahnya)

Wukuf di ‘Arafah adalah rukun haji yang paling mutlak. Artinya wukuf di ‘Arafah sangat ketat dan mendebarkan oleh karena kesyakralannya dan oleh karena waktunya terbatas.

Tidak seperti rukun haji yang lain yang bisa dikerjakan bergeser dari waktu keumuman. Bahkan ada fatwa bahwa rukun bisa di jamak dengan wajib haji seperti thawaf ifadhah yang rukun dan thawaf wada’ yang wajib haji. Oleh karena itu hatta hampir sekarat pun, hatta hanya satu detik pun menjelang batas akhir yaum ‘arafah, para haji harus hadir di sana.

Tapi sebenarnya kemutlakan wukuf di ‘arafah dan kesyakralannya akan lebih terasa jika kita dapat mengenal ushul-nya wukuf di ‘arafah. Dengan mengetahui USHUL ini maka akan terasa urgensinya ‘arafah dalam beragama. Ini nanti kaitannya adalah dengan bahwa “istithâ’ah—mampu” itu tidak sekedar mampu financial.

Mari kita mulai dengan pertanyaan, mengapa harus wukuf di padang ‘arafah dan kenapa tidak di padang yang lain. Apa pula sebabnya padang yang sebelum peristiwa perjumpaan Adam dengan Hawa itu hanya disebut “shakhrâ’—sahara” itu kemudian dikenal dengan nama ‘arafah’. Apa urgensinya dalam beragama ‘arafah itu dijadikan rukun utama dari haji.

Bermula dari hadis “al-hajju ‘arafah”, bahwa rukun syariat haji wukuf di arafah. Secara leterlek bahasa hadis ini tidak bermakna langsung wukuf di ‘arafah. al-hajju ‘arafah ini secara bahasa berarti “haji itu mengenal”. Dalam kajian ma’rifat “haji/hujjah” itu diartikan “perjumpaan, berhadapan” dengan Tuhan, Allah Swt. Maka rangkaian kata “al-hajju ‘arafah” itu artinya “berjumpa itu mengenal”. Maka kemudian diartikan “berjumpa— berhadapan dengan Tuhan itu harus dengan mengenal Tuhan”.

Dari kata ‘arafah ini dapat difahami hadis qudsi “ma’rifatullâhi billâhi — mengenal Allah Dengan Allah”. ‘Araftu rabbî birabbî — mengenal Tuhanku dengan Tuhanku”. Nanti tentunya bukan mengenal nama atau sebutan saja. Tetapi cari Wujud Yang Dengan Allah, maka akan kenal Allah. Tentu supaya tidak jatuh ke lembah kesombongan beragama. Sebelum mengenal diri yang dengan Tuhan, sebelum mengenal Diri yang Dengan Allah, maka kita harus tahu wujud diri yang datang dari pada Allah. Alquran dan hadis-hadis terkait sangat jelas membedakam antara wujud yang datang karena sebab orang tua yaitu jasad dan wujud yang datang langsung dari pada Allah Ruh, baca Qs. al-Thâriq/86:5-7, al-Mukminun/23:12-14, al-Sajadah/32:7-9.

Adanya dua dimensi wujud ini maka kita dalam menghadap Allah, dalam menyembah tidak boleh hanya mengandalkan ritualistik lahiriah seperti bacaan dan gerakan anggota tubuh semata. Karena Allah tidak berhajat mengurus fisik lahiriah kita, melainlan Dia hanya mengurus wujud yang datang dari pada-Nya yaitu Ruh (Qs. al-Isrâ’/17:85). Di sini nanti letak urgensinya manasik secara hakikat.

فَلْيَنْظُرِ الإنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ، خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ، يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ

Artinya: Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada. (Qs. al-Thâriq/86:5-7)

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ طِينٍ، ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ، ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ

Artinya: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci lah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (Qs. al-Mukminun/23:12-14)

الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الإنْسَانِ مِنْ طِينٍ، ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ، ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ

Artinya: Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh (ciptaan) -Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (Qs. As-Sajadah/32:7-9)

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلا قَلِيلا

Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (Qs. al-Isrâ’/17:85)

Jadi secara bahasa “al-hajju ‘arafah” ini tidak langsung menunjuk padang ‘arafah. Karena kalimatnya bukan begini “al-hajju fî mîdânil ‘arafah — haji itu hadir di padang arafah”. Tetapi syariat wukuf di padang arafah ini ada ushulnya, ada sebabnya, mengapa harus di padang ‘arafah. Ialah, setelah Adam mendapat kalimat pertobatan dari Tuhan-Nya yaitu “rabbaná zhalamnâ anfusanâ wa inlam taghfir lanâ wa tarhamnâ lanakûnanna mina al-khâsirîn — Tuhan, kami telah zhalim akan diri kami, jika Engkau tidak mengampuni kami, pasti kami jadi orang-orang yang rugi”(Qs. al-A’raf/7:23). Kemudian Adam as diperintah thawaf mengelilingi baitul makmur tujuh kali (baca ushul dan hikmah thawaf). Setelah itu Adam as diperintah oleh Jibril untuk mengarahkan pandangannya ke arah bukit di pada luas itu. Di bukit itu Adam as memandang kekasihnya Hawa. Adam bergegas ke sana, dan bertemu di atas bukit itu. Ratusan tahun terpisah karena terlempar di permukaan bumi. Keduanya berpelukan erat bertangis-tangisan melepas rindunya. Sebab itulah bukit itu kemudian dinamai jabal rahmah, bukit kasih sayang.

قَالا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Artinya: Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”. (Qs. al-A’raf/7:23).

Saat Berpelukan penuh kasih sayang itulah, mata hati Adam as dipandangkan ke arah satu titik (yang hari ini ada bangunan Ka’bah), dari jabal itu memandang mata hati Adam as akan SOSOK/WUJUD Nûrun ‘Alâ Nûrin. Karena memandang Wujud itulah lisan Adam as serta merta menyebut kalimat ALLAH. Itulah mula pertama lafazh Allah disebut oleh lisan manusia. WUJUD yang dipandang itulah yang disapa ALLAH oleh Adam as. Adam as manusia pertama yang MA’RIFAT akan Tuhannya: ALLAH.

Adam as manusia pertama yang membunyikan kalimat ALLAH. Inilah USHUL mengapa tepat atau padang luas itu dinamai ‘ARAFAH. Yaitu di padang itulah Adam MA’RIFAT atau mengenal Tuhannya.

Jadi, wukuf di ‘Arafah tidak sekedar memenuhi syari’at rukun haji. Karena syari’at rukun haji itu belakangan di tasyri’kan. Oleh karena itu harus kita fahami selain hafal dan datang secara fisik di ‘arafah itu ialah bahwa kita harus mengenal Allah sebagai Tuhan. Tentu bukan mengenal teori tentang Tuhan, tentang Allah, tentang segala ilmu terkait itu, bukan. Tetapi mengenal Allah secara WUJUD. Seperti Adam as memandang WUJUD. Saat memandang itulah Adam as menyapa WUJUD itu dengan sebutan ALLAH.

Jika kita tidak dapat seperti Adam as memandang Wujud-Nya yang disapa ALLAH itu, setidaknya mata hati kita, pandangan hati kita mengikuti arah pandangan hati Adam as di Maqâm di mana WUJUD yang dipandang Adam as itu ada. Bahasa sederhana saat ini setidaknya pandangan hati kita DIQIBLATkan. Karena tepat di posisi Qiblat itu, di ‘Arasy WUJUD itu dipandang oleh Adam as. Bahwa lisan kita wiri dan dengan kalimat-kalimat thayyibah, bahwa kita membaca ayat-ayat surat Alquran, bahwa kita shalat, semua di ‘arafah, itu benar, tidak salah.

Tetapi jika saat beramaliah itu hati kita liar ke mana-mana, maka hampalah makna ‘arafah itu. Jika demikian, hadirnya kita sama dengan orang yang tidak mengenal Allah. Jika demikian, sama saja kita dengan orang yang tidak menerima ajaran Muhammad Rasulullah Saw. Karena Rasulullah Saw yang mengenalkam ini semua.

Inilah urgensinya ‘arafah menjadi rukun mutlaknya haji. Karena dari ‘arafah inilah wujud ibadah kita sempurna, yaitu utuh zhahir-bathin. Oleh karena itu manasiknya jangan cuma hafalan runtut hafalan ihram-wukuf-thawaf-sa’i.

Sejak kecil kita sudah disuruh menghafal hal yang demikian. Tetapi manasik atau penatalaksanaan secara hakikat juga harus diberikan. Mana yang disebut manasik secara hakikat itu? Ya tadi, mesti ada tata cara menuntun hati. Yaitu semua pandangan hati yang hadir di ‘arafah hendaknya difokuskan ke SATU TITIK, di mana Adam as memandang WUJUD, yang karenanya Adam as disebut MA’RIFAT kepada Tuhannya. TITIK itu adalah qiblat. Qiblat itu haluan hati. Haluan hati Adam as, disempurnakan oleh Muhammad Rasulullah Saw. Ikut Rasulullah Saw itu utamanya adalah mengikut haluan hatinya di Qiblat (Qs. al-Baqarah/2:143).

Setidaknya, minimal sekali saat kita melakukan ritual syariat pada ibadah mahdhah. Apalagi pada saat kita sedang ada di padang ‘arafah.

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ

Artinya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (Qs. al-Baqarah/2:143).

Apa hikmah berhakikat dari ‘arafah itu? Berhakikat artinya memusatkan pandangan hati, memfokuskan, menujukan pandangan hati di Qiblat. Hikmahnya ialah supaya hati orang mukmin selalu tertaut kepada Tuhannya. Tentu supaya hati senantiasa mendapat intervensi Allah. Puncaknya, dengan intervensi Allah itu hati menjadi baik. Inilah faham tentang HAJI MABRUR. Dengan haji yang sempurna zhahir-bathin ini hati diperbaiki oleh Allah.

Karena hati yang berpenyakit menjadi sumber semua persoalan dalam kehidupan. Sedangkan yang bisa memperbaiki hati itu HANYA Allah (Qs. al-Anfâl/8:24, al-A’râf/7:43). Mau atau tidak, kita harus bicara zhahir-bathin ini. Karena kita ini terdiri jasad dan ruh. Kita yang tidak mau memahami sisi hakikat dalam ibadah, artinya kita tidak mengakui eksistensi ruh, eksistensi diri kita sendiri. Itu artinya kita sama dengan menyatakan bahwa tubuh ini tanpa ruh, itu artinya mayat berjalan.

Beragama yang sempurna secara syariat dan hakikat ini berhikmah yang melahirkan sempurnanya hidup di permukaan bumi ini. Sempurnanya hidup itu ada pada hati yang tertata. Hati yang tertata itu haknya Allah Swt. Sedangkan Allah itu “laisa lahû ‘anâshirun min al-ajsâm — Allah itu tidak tersusun dari materi”. Itu sebabnya jika hati ingin ditata oleh Allah Swt jangan hanya mengandalkan amalan yang syariat saja yang berupa bacaan dan gerakan. Karena jika itu saja maka kita tidak ditilik, tidak dinilai oleh-Nya. Jika demikian tidak tertatalah hati kita. Maka mengeraslah hati. Hati kita akan penuh dengan sifat emosional—mudah marah dan mudah tersinggung. Penuh dengan sifat bangga diri-angkuh, haus sanjungan dan pujian, takabbur membesar-besarkan diri, iri-dengki, menghasut-memfitnah, tamak-loba, dan sombong. Ini ringkasan inti dari penyakit hati. Dengan begini, maka kita jauh dari kesempurnaan diri. Yang ada kita menjadi sumber semua persoalan di permukaan bumi. Akhirnya haji kita hampa dari HIKMAH ‘ARAFAH. Haji tinggal hanya tambahan gelar (H) melengkapi sederet gelar duniawi kita. Na’ûdzu billâhi min hâdzâ.

Izinkan saya menutup sementara uraian ini dengan tuntunan Rasulullah tentang kesempurnaan, yaitu “al-syarî’ati bilâ haqîqatin ‘âthilah wa al-haqîqatu bilâ syarî’atin bâthilah — syariat dengan tiada hakikat hampa—sia-sia, dan hakikat dengan tiada syariat batal”.

Man syâa fa al-yakfur wa man syâa fa al-yu’min.

Penulis: Dr. H. Syarif, MA.




Haji dan Takwa, Sempurnakan Hidup

Dalam rukun Islam haji disebut rukun kelima. Sesungguhnya tidak ada keharusan untuk mengurutkannya demikian. Oleh karena secara syariat penunaiannya terkait tempat dan waktu tertentu, yang ini sekaligus berkaitan dengan kemampuan pembiayaan, maka orang Islam tidak melaksanakananya setiap saat. Maka seolah-olah ibadah haji ini adalah rukun Islam yang terakhir.

Sesungguhnya hakikat haji bukan rukun Islam yang terakhir, tetapi adalah sebagai rukun penyempurnaan. Maksudnya bukan setelah menunaikan ibadah haji kemudian keislaman seseorang baru sempurna. Tetapi ialah secara hakikat atau bathiniyahnya semua ibadah harus sampai di tempat atau di titik pusat ritualnya ibadah haji, yang di dalam al-Qurân disebut “baitul ‘atîq” (Qs. al-Hajj/22:32-33).

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ. لَكُمْ فِيهَا مَنَافِعُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ مَحِلُّهَا إِلَى الْبَيْتِ الْعَتِيقِ

Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. Bagi kamu pada binatang-binatang hadyu, itu ada beberapa manfaat, sampai kepada waktu yang ditentukan, kemudian tempat wajib menyembelihnya ialah setelah sampai ke Baitul Atiq (Baitullah). (Qs. al-Hajj, 22:32-33)

Haji sesungguhnya menuntun kita supaya dalam beribadah tidak hanya memahami dan mengamalkan syariatnya saja. Dalam ajaran Islam ibadah adalah sesuatu yang sangat sakral yang tidak boleh dilakukan hanya dengan ala-kadarnya. Sebab ibadah adalah dalam rangka kita berhadapan dengan Tuhan. Karena sesungguhnya haji-hujjah itu merupakan perjumpaan. Oleh karena itu dalam beribadah kita harus serius dan tidak boleh main-main. Dalam beribadah kita harus totalitas karena hajat tertinggi kita untuk berjumpa Allah Swt. Nah, totalitas dalam beribadah inilah harus menyertakan batin. Yang unik lagi bahwa untuk perjumpaan itu Allah menunjuk wasîlaţ-Nya yaitu Muhammad Rasulullah Saw itu menemui para hujjâj.

وَأَذِّن فِي ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَجِّ يَأۡتُوكَ رِجَالٗا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٖ يَأۡتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٖ ٢٧

Dan serulah (wujud) yang dalam manusia (ruh/mukmin) untuk berhaji (berjumpa Tuhan) niscaya mereka akan datang kepadmu (wahai Muhammad) dengan berjalan kaki atau menaiki onta yang kurus mereka datang dari segenap penjuru yang jauh (Qs al-Hajj/22:27)

Teks ini menjadi makna langsung dari ungkapan keterangan ayat dalam Qs al-Mâidah/5:35 bahwa untuk memenuhi seruan bertakwa kita harus mencari dan menemukan wasîlaţ berupa jalan lurus yang sampai kepada-Nya.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱبۡتَغُوٓاْ إِلَيۡهِ ٱلۡوَسِيلَةَ وَجَٰهِدُواْ فِي سَبِيلِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٣٥

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.

Jalan lurus itu diterangkan oleh fenomena sebutan setelah kita habis membaca surat al-­Fâtihah yaitu ÂMÎN. Wujud wasîlaţ ini ternyata ada dalam permohonan kita di setiap selesai adzan “âti Muhammadan al-waslaţ—datangkan akan di Muhammad sebagai wasilah”. Wasilah untuk apa? Dalam konteks doa adzân ini adalah dalam rangka berhubungan atau shalât kepada Tuhan pemilik seruan yang sempurna. Di mana Muhammad Saw berkedudukan sebagai wasîlaţ? Ialah di tempat yang terpuji “wab’atshu maqâman mahmûdan—bangkitkan Dia Muhammad di maqam yang terpuji”

Jika kita senantiasa berpandangan hati di qiblat, di ‘Arasy maka Dianya Allah senantiasa bersama kita, dalam bentuk Allah melihat semua yang kita lakukan. Tentunya kita dalam penjagaan-Nya dengan kekuasaan-Nya.

Tentang takwa juga dalam kaitannya dengan puasa. Sesungguhnya takwa itu bukan tujuan shiyam, melainkan instrument utama dari shiyam. Sesungguhnya shiyâm adalah mukmin mempuasakann atau menahan hawa-nafsu atau penyakit hati atau maksiat batin. Itu tidak bisa terjadi jika tidak ditolong oleh Allah. Allah tidak menolong hati yang pandangannya tidak datang di hadapannya atau tidak takwa atau tidak shalat. Maka seru-Nya “minta tolonglah dengan sabar dan shalât”. Tentu shalat yang khusyu’ yaitu shalat yang didirikan oleh orang yang yakin hatinya berjumpa Tuhan saat shalat itu, disebabkan orang itu mengerti cara dan jalan kembali kepada Tuhannya.

وَٱسۡتَعِينُواْ بِٱلصَّبۡرِ وَٱلصَّلَوٰةِۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى ٱلۡخَٰشِعِينَ ٤٥  ٱلَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلَٰقُواْ رَبِّهِمۡ وَأَنَّهُمۡ إِلَيۡهِ رَٰجِعُونَ ٤٦

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu´. (yaitu) orang-orang yang yakin (hatinya) bahwa mereka menemui Tuhannya (saat shalat), dan bahwa mereka kembali (secara hakikat, saat shalat) kepada-Nya. (Qs al-Baqarah/2:45-46).

Juga dalam shalât misalnya, tidak boleh kita hanya sekedar mengetahui dan mengamalkan syariatnya saja tanpa kita benar-benar total dengan batin kita. Kerja batin kita dalam shalât adalah seperti yang diucapkan dalam lafazh niat “mustaqbilal qiblati—dengan sengaja menghdap qiblat”. Ternyata yang harus menghadap qiblat saat shalât tidak sekedar muka pada tubuh melainkan harus dengan pandangan hati, pikiran, ingatan fokus di suatu titik yang namanya qiblat. Titik qiblat itu tepat di posisi Ka’bah yang terlihat secara syariat itu. Di titik qiblat itu tertancap tiang ‘Arasy. Sedangkan pengabaran teks ayat al-Qurân mengatakan bahwa Tuhan itu bersemayam di ‘Arasy (Qs. al-Hadid/57:4).

هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ يَعۡلَمُ مَا يَلِجُ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَمَا يَخۡرُجُ مِنۡهَا وَمَا يَنزِلُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ وَمَا يَعۡرُجُ فِيهَاۖ وَهُوَ مَعَكُمۡ أَيۡنَ مَا كُنتُمۡۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٞ ٤

Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ´Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Teks ayat ini memastikan, bahwa jika kita senantiasa berpandangan hati di qiblat, di ‘Arasy maka Dianya Allah senantiasa bersama kita dalam bentuk Allah melihat semua yang kita lakukan. Tentunya kita dalam penjagaan-Nya dengan kekuasan-Nya. Dengan keterangan ayat ini, ternyata Tuhan itu tidak di mana-mana, tetapi di ‘Arsy. Tugas kita harus belajar secara pasti dan mutlak di mana posisi ‘Arsy. Jika tidak dapat belajar sendiri, bertanyalah kepada orang yang telah pernah dikarunia rejeki batin berjumpa dengan ‘Arsy itu.

Artinya dengan memusatkan batin, pandangan hati, pikiran, atau ingatan kita, maka sesungguhnya kita sedang menghadap Tuhan. Sebaliknya, jika pandangan hati kita berkeliaran saat shalât sebagai ritual menyembah Tuhan, maka hakikatnya kita tidak sedang menghadap Tuhan, tetapi sedang menghadap dan menyembah apa yang sedang diingat dalam shalât itu. Misalnya jika saat shalât hati kita sedang terfokus ingat mobil kita, maka saat itu kita sedang menghadap dan menyembah mobil. Inilah urgensinya kita beribadah secara totalitas zhâir dan bâthin.

Jadi hubungan haji dan taqwa adalah taqwa sebagai sempurnanya haji, dan haji sebagai wujud dari taqwa. Karena  taqwa itu kinerja batin, sedangkan haji hasil dari taqwa dalam rangka perjumpaan dengan Allah Swt. Apa manfaat sinergi haji dan takwa ini? Ialah saat haji dan taqwa ini diraih oleh seseorang maka lahir-zhâhir-bâthin seseorang disempurnakan oleh Allah menjadi mukmin yang baik oleh karena hatinya dipelihara oleh Tuhannya. Terpeliharanya hati artinya hati senantiasa mendapat taufiq dan hidayah untuk bertindak dan berkata secara baik dan terhindar dari perilaku sebaliknya. Saat hati terpelihara inilah kita akan merasakan ketentraman dan kebahagiaan.

Kalau kita telusuri semua i’tiqad orang, atau bahkan i’tiqad diri kita sendiri, bahwa semua yang dilakukan seseorang dalam kehidupannya adalah untuk kebaikan diri dan keluarganya. Tentu kebaikan itu berupa ketentraman, ketenangan, dan kebahagiaan. Saat beginilah kita bisa merasakan benarnya petunjuk Allah Swt. Saat begini ini pulalah hidup kita berasa sempurna. Patutlah Allah Swt memerintahkan untuk  mengikuti ajaran-Nya yaitu beragama dengan benar. Beragama dengan benar itu artinya kita tidak sekadarnya saja beragama. Beragama yang sebenarnya kita benar-benar memegangi ajaran agama dan bukan hanya menjadikan agama sebagai pelengkap identitas.

Jadi, dengan ini baru kita mendapat kefahaman tentang bahwa haji itu sebagai penyempurna ibadah. Jika hidup kita pun selalu ditautkan kepada Allah dengan beribadah, maka sekaligus hidup kita disempurnakan. Maka mari kita jadikan ajaran agama sebagai bagian yang sangat penting dalam kehidupan kita, supaya kita dipandang penting oleh Allah Swt. Dengan begitu kehidupan kita akan menjadi baik dan terasa sempurna hidup kita dengan jalan penyempurnaan ibadah ini. Aamîn yâ Karîm.

Penulis: Dr. H. Syarif, MA




Ushul dan Hikmah Jamarat

Hari ini para hujjaj sedang berada di Mina dalam rangka melaksanakan ritual jumrah. Beberapa ritualitas syariat haji tak lepas dari sosok Nabi Ibrahim as. Di antaranya yang paling langsung adalah wajib haji melempar jumroh. Ada jumroh aqabah, wusthâ, dan ûlâ. Semua penjelasan pada penyampaian-penyampai hikmah amaliah atau ibadah, melontar jumroh merupakan simbol melempar setan. Bisa dibayangkan jika ritual melempar jumrah ini dipahami secara syariat mentah, berarti di tiang-tiang jamarat itu merupakan perkampungan atau tempat berkumpulnya setan. Itu artinya sama dengan kita menyebut setan itu sebagai wujud sosok atau bahkan subyek. Apa sebenarnya ushul-asal disyariatkannya melontar jumrah dalam ritual haji ini.

Bermula dari Ibrahim as mendapat perintah dalam mimpinya untuk menyembelih putranya (Ismail)  yang diperolehnya di usia tua dari seorang istrinya Siti Hajar. Sebelum mendapat perintah menyembelih itu Ibrahim as mendapat perintah ketundukan. (Qs. al-Baqarah/2:131).

إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ

Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam”. (Qs. al-Baqarah/2:131).

Setelahnya, ternyata Ibrahim diuji oleh Allah Swt atas keimanannya itu. Karena pernyataannya tunduk patuh itu, datang dalam mimpinya seperti keterangan teks ayat berikut.

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعۡيَ قَالَ يَٰبُنَيَّ إِنِّيٓ أَرَىٰ فِي ٱلۡمَنَامِ أَنِّيٓ أَذۡبَحُكَ فَٱنظُرۡ مَاذَا تَرَىٰۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُۖ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ ١٠٢

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (al-Shâffat/37:102)

Ternyata mimpi itu tidak sekali datang langsung dieksekusi oleh Ibrahim as. Ternyata Ibrahim juga jadi korban bisikan di dalam dada “alladzî yuwaswisu fii shudûrin nâsi” seperti Adam as.

Dalam kajian hikmah dikabarkan bahwa Ibrahim as tidak sekali  mendapat perintah dalam mimpinya. Setiap mendapat mimpi setiap itu pula Ibrahim as mendapat bisikan ragu, yaitu bisikan setan dalam harinya. “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya)” (Qs. al-Shaaffaat/37:103). Saat sudah seperti ini pun tetap setan menggoda supaya Ibrahim as tidak menyembelih putranya. Maka Ibrahim as mengambil batu dan melemparkannya ke arah depannya seraya menghadap qiblat.  Inilah USHÛL JUMRAH AQABAH.

فلما أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ

Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). (Qs. al-Shaaffaat/37:103)

Begitupun jumrah wusthâ disyariatkan ritualnya oleh karena ternyata ibu Ismail pun Siti Hajar juga mendapat bisikan setan di hatinya. Kepada Siti Hajar dibisikkan “bukankah anak itu kau dapat setelah Bapak sudah berumur? Bukankah dia anakmu itu sedang indah-indahnya dipandang mata? Mengapa harus kau biarkan Ibrahim suamimu menyembelihnya? Begitu pun Siti Hajar melempar setan dengan batu seraya menghadap kiblat dan berhasil menghalau setan dan memenangkan hatinya untuk menguatkan keimanan sang suami. Inilah USHÛL  JUMRAH WUSTHÂ.

Ternyata pun Ismail sang putra Ibrahim as  Bapak para Nabi itu tidak luput dari bisikan yang bernama setan itu. Tetapi Ismail kecil telah mendapat kokohnya keimanan, sehingga setan pun dilemparnya dengan batu seraya menghadap kiblat. Ismail berkata kepada Ayahnya “Tutup matamu Ayah, baringkan aku dibatu ini, mari kita sama-sama ber-QIBLAT, lakukanlah perintah Tuhanmu”. Ismail menguatkan Ayahnya, dan berhasil menghalau setan di hatinya. Inilah USHÛL JUMRAH ÛLÂ disyariatkan.

Ketiga subyek udlhiyah ini berhasil menghalau setan di hati, berpendirian hati atau beragama senantiasa tertaut kepada Tuhan mereka. Maka Allah Swt pun membalasnya dengan kebahagiaan. Bentuk balasan itu bahwa Sang Anak pujaan hati diselamatkan oleh Allah Swt. “وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ–Wafadainâhu bidzabhin ‘azhîn —Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”(Qs. al-Shâffât/37:107). Inilah USHUL syariat udlhiyah atau menyembelih hewan qurban pada setiap rangkaian ‘idu al-Adlhâ.

Untuk memperoleh hikmah atau sesuatu yang bermanfaat, maka kita harus menyediakan perhatian serius untuk memahami substansi makna dari ritual jumroh ‘aqabah, wusthâ dan ûlâ ini adalah tentang bacaan yang mengiringi ritual ini, yaitu “bismillâhi Allâhu Akbar rajman li al-syayâthîn — Dengan Nama Allah, Allah Maha Besar, pukulan bagi setan-setan”.

Dengan bacaan ini nyatalah bahwa bukan batu yang kita lontarkan itu yang menjadi pukulan bagi setan. Dalam kajian ilmu hikmah berbasis Wujud bahwa pertemuan BISMILLÂH dengan ALLAHU AKBAR itulah sebagai pukulan bagi setan.  Artinya karena Bismillah bertemu Allahu Akbar itu maka setan terpukul dan tak berdaya. Jika kajian ini hanya berhenti pada bacaan, maka tidak akan dapat substansi makna yang real.

Bismillâh — Yang Dengan Nama Allah, ialah wujud yang datang dari pada Allah. Bismillah adalah rûh, adalah diri kita. Dalam Qs. al-Syûrâ/42:52 dijelaskan bahwa rûh adalah cahaya. Jadi bismillâh itu hamba bertemu si Akbar sebagai Tuhan, itulah pukulan bagi setan.

وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلا الإيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Dan demikianlah (apa yang) telah Kami wahyukan (datang) kepadamu yaitu rûh sebagai urusan Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah itu kitâb  dan tidak pula mengetahui apakah îmân itu, tetapi Kami menjadikan rûh itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Qs. al-Syûrâ/42:52)

Jika hamba datang bertemu Tuhannya secara hakikat (baca Syarif: Ushul Wukuf ‘Arafah) maka hati hamba itu diintervensi oleh Tuhannya, Allah Swt, terpukulah setan tak berdaya menggoda hamba yang dalam hati. Maka dengan begitu hati hamba tersebut menjadi baik. Dengan syarat sang hamba datang kepada Tuhannya secara hakikat di tempat yang telah ditetapkan sebagai tempat berhubungan atau tempat pertemuan (Qs. Al-Baqarah/2:125, al-A’raf/:43, al-Hajj/22:32-33, al-Balad/90:1-3). Inilah hikmah  besar dari syariat wajib haji yaitu melontar jumroh.

Dalam beberapa riwayat disampaikan bahwa pada setiap selesai melempar jumrah dianjurkan berdoa dan doa diijabah oleh Allah. Maka setelah jumrah ‘aqabah berdoalah semua tentang kita sebagai laki-laki atau sebagai kepala keluarga, sebagai suami, sebagi ayah dari anak-anak kita, sebagai bagian dari bangsa, sebagai pendidik, dan seterusnya. Karena syariat jumrah ‘aqabah sebagai jejak Ibrahim as bebas dari bisikan setan.

Lalu setelah melempar jumrah wusthâ berdoalah tentang istri kita. Doakan semuanya yang kita hajatkan dan harapkan dari istri kita. Kerena syariat jumrah wusthâ merupakan jejak dari dari Siti Hajar sebagai istri dan sebagai seorang ibu berhasil dan bebas dari bisikan setan di hatinya. Kemudian yang terakhir, setelah melontar jumrah ûlâ, berdolah kita tentang semua yang kita hajatkan dan harapkan dari anak-anak kita. Karena syariat jumrah ûlâ ini merupakan jejak dari sosok Ismail as yang juga berhasil membebaskan dirinya dari bisikan setan di hatinya. Tentu doa yang paling ideal bahwa kita ingin anak-anak kita seperti Ismail as yang beriman dan meneguhkan keimanan orang tuanya.

Dalam kehidupan sosial berbangsa dan bernegara, tentu hikmah besar yang harus kita realisasikan setelah berikhtiar memohon intervensi Tuhan supaya hati ini jadi baik, ialah kita harus mewujudkan karakter rela berkorban dalam perjuangan. Tentu pada sektor dan lingkup tanggung jawab tugas dan fungsi kita masing-masing. Ternyata sifat kikir yang melahirkan sifat tamak-loba adalah sifat yang paling diimami oleh setan. Jika setelah melakukan syariat jamarat kita masih kikir dan tamak-loba, artinya kita sedang hampa dari Hikmah Jamarat. Boleh juga sifat kedermawanan itu tidak harus berupa harta-benda, walau itu mesti, tapi bisa berupa kaya solusi dalam berpartisipasi menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa. Juga bisa berupa yang lain, yang intinya mencerminkam bahwa hati kita itu telah mendapat intervensi Tuhan menjadi baik dan cenderung berbuat dan mewujudkan yang baik-baik.

Penulis: Dr. H. Syarif, MA




Ushul dan Hikmah Thawaf

Bermula dari perintah Allah kepada Adam as dan pasangannya Hawa untuk menetap di surga. Mereka berdua bebas untuk memakan apa saja di surge. Kecuali tidak boleh mendekati pohon larangan.

وَقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ

Dan Kami berfirman: “Hai Adam diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang lalim. (Qs. al-Baqarah/2:35).

 وَيَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ فَكُلا مِنْ حَيْثُ شِئْتُمَا وَلا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ

Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan istrimu di surga serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang lalim. (al-A’râf/7:19)

Pada ayat yang lain orang-orang zhalim itu adalah orang yang mengikut hawa-nafsunya (Qs. Al-Rum/30:29).

بَلِ اتَّبَعَ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَهْوَاءَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَمَنْ يَهْدِي مَنْ أَضَلَّ اللَّهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ

Bahkan orang-orang yang zhalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan; maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang penolongpun. (Qs. al-Rum/30:29).

Ternyata Adam dan Hawa melanggar larangan “jangan dekati pohon ini”. Adam dan Hawa menjadi orang yang zhalim karena mengikut hawa-nafsunya sehingga melanggar larangan Allah itu. Tetapi Adam dan Hawa tidak berdiri sendiri dalam melakukan pelanggaran itu. Yaitu Adam-Hawa mendapat bisikan setan. Setan pura-pura menasehati dan membujuk keduanya. “Maka setan membisikkan kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan setan berkata: “Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)”(al-A’râf/7:20).

فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُورِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْآتِهِمَا وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ

Setan membujuk keduanya dengan tipu daya. “Tatkala keduanya telah merasai pohon itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan menyeru mereka: “Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: “Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua? (al-A’raf/7:22).

Adam-Hawa menyadari setelah keduanya bukan saja mendekati tapi menumbangkan pohon itu dan menikmatinya. Mereka berdua melanggar larangan Allah akan sesuatu sebelum dihalalkannya. Adam mendapat petunjuk tentang kalimat atau ucapan pertobatan dari pada Tuhannya.

فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (Qs. al-Baqarah/2:37).

Dengan petunjuk dari Tuhan itu maka keduanya berkata dengan kalimat pertobatan:

قَالا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”. (al-A’râf/7:23).

Dalam proses pertobatan itu Jibril diperintah oleh Allah Swt, untuk mengajarkan ritual taubat tersebut. Jibril berkata kepada Adam “Hujjah Qabla al-maut — hajilah (temuilah Tuhanmu) sebelum kematian”. Adam bertanya kepada Jibril “bagaimana caranya”? Jibril menyampaikan perintah Tuhan “THAWAFLAH TUJUH KALI DI BAITUL MAKMUR”. Saat itu Baitul Makmur masih di bawah sebelum naik di atas karena kiamat Nabi Nuh. Maka Adam pun THAWAF TUJUH KALI mengeliling Baitul Makmur. Saat itu tanda posisi Baitul Makmur yaitu Ka’bah belum di bangun. Baitul Makmur itu dunia cahaya. Adapun Ka’bah yang saat ini dikelilingi oleh orang-orang thawaf itu adalah tanda posisi Baitul Ma’mur atau Baitullâh atau simbol atau pancang atau tetenger atau syatrahû dalam bahasa al-Qurân.

Jadi, ushulnya syariat thawaf yang menjadi salah satu rukun haji ini adalah karena Adam-Hawa melakukan kesalahan yang mengakibatkan dosa bagi keduanya. Bagi kita adalah ushul syariat kita harus thawaf sebagai rukun baik saat haji maupun umroh adalah karena kita hari-hari melakukan kesalahan atau dosa karena kita turut hawa-nafsu.

Adapun Hikmah thawaf tujuh kali itu adalah mengiringi Ushulnya tadi yaitu untuk mengampuni atau merontokkan dosa pada tujuh anggota tubuh. Ialah dosa yang dilakukan oleh pelakunya dengan menggunakan tujuh anggota tubuh yaitu dua mata, satu mulut, dua tangan dan dua kaki. Saat awal mula adalah Adam as sebagai subyeknya, tentu saat ini adalah giliran kita subyeknya.

Setelah thawaf itu Adam diarahkan pandangannnya ke arah sebuah bukit di sebuah padang luas untuk bertemu sang kekasihnya Hawa setelah ratusan tahun terpisah karena terlempar di permukaan bumi. Uraiannya telah disampaikan pada WUKUF DI ‘ARAFAH (USHUL DAN HIKMAHNYA).

Penulis: Dr. H. Syarif, MA