Kisah Perjalanan Hidup Dr Syarif, Anak Petani Miskin yang Menjadi Rektor

  1. Syarif kecil dan rutinitas hariannya

Syarif kecil merupakan anak kampung subdusun pematang teratai dusun pematang naning kelurahan Mulia Kerta Kecamatan Benua Kayong (dulu Kecamatan Matan Hilir Selatan), Kabupaten Ketapang, Propinsi Kalimantan Barat.  Karena tinggal di dusun, Syarif kecil yang dicatatkan tanggal lahir 24 Mei 1971 terlambat masuk Sekolah Dasar karena di kampungnya tidak ada sekolahan. Berkat SD Inpres di zaman Presiden Soeharto, Syarif kecil baru masuk sekolah dalam usianya yang sudah 8 tahun lebih yaitu tahun ajaran 1978/1979, di SDN Pematang Naning Ketapang.

Sebelum bersekolah, Syarif  semasa kecilnya telah belajar mengaji. Syarif ketika itu selalu membantu orang tuanya mengengon (memelihara) sapi. Sapi yang dipelihara bukan sapi sendiri tetapi sapi orang lain yang dititip rawat. Sapi titip rawat itu adalah bagi hasil jika sapi itu beranak. Anak sapi itu yang dibagi dua. Memelihara sapi itu ada ritual rutinnya yaitu mengambil (mengarit) rumput untuk makan sapi di malam hari. Kala siang hari sapi dikeluarkan dari kandang dan dibawa ke sawah supaya makan rumput di sana. Setelah menjelang magrib, sapi tersebut dimasukan ke kandangnya lagi. Syarif kecil menjalankan tugas rutin itu dengan jumlah sapi sebanyak 5 ekor selain anak-anak sapi. Setelah sapi masuk kandang Syarif kecil menghidupkan api unggun supaya asapnya mengusir nyamuk agar sapi tidak digigit nyamuk.

  1. Cerita unik saat mengaji

Setelah tugas mengurus sapi selesai dan masuk waktu Magrib,  Syarif kecil mandi, kemudian shalat, dan mengaji. Syarif yang setelah dewasa hobi kesehariannya sebagai Qari punya cerita unik saat belajar mengaji sewaktu kecil. Syarif belajar mengaji sejak sebelum mengenyam pendidikan di sekolah dasar.  Ia mengaji kepada ibu tirinya. Syarif kecil ternyata anak dari orang tua yang terpisah karena fitnah. Pantaslah Syarif dewasa sangat tidak suka dengan perilaku fitnah. Karena Syarif kecil menjalani hidupnya sebagai korban fitnah.

Di kampungnya tingkatan dasar mengaji  dimulai pelajaran alif-alifan, yaitu buku belajar mengenal huruf hijaiyah. Di dalam buku alif-alifan itu dimuat satu juz Alquran yaitu juz ‘Ammâ. Syarif kecil diceritakan oleh semua orang kampungnya sebagai anak yang unik. Waktu mengaji belajar mengenal huruf ditonton orang kampung karena keunikannya itu. Waktu belajar mengaji Syarif kecil cukup diajar sebaris saja pada setiap halaman. Selebihnya Syarif kecil langsung jalan sendiri tanpa dituntun lagi. Menurut ibunya yang mengajar ngaji, diajari sekali langsung  faham dan jalan sendiri. Juga ketika memasuki ke Juz ‘Ammâ dan Alquran besar. Alquran besar artinya Alquran yang lengkap dari Alfâtihah sampai  Annâs. Menurut ibunya dan orang kampung yang menyaksikan saat memasuki Alquran besar, Syarif kecil hanya diawasi selembar pertama saja. Setelah itu Syarif kecil jalan sendiri. Dan sebelum bersekolah Syarif kecil khatam Alquran berkali-kali. Hampir tiap bulan khatam, dan setiap khatam Alquran ayahnya mengundang orang kampung untuk selamatan dengan baca doa. Menurut penuturannya, Syarif kecil rajin mengkhatamkan Alquran karena selamatan itu. Setiap selamatan selalu potong ayam kampung dan Syarif kecil selalu kebagian hati dan pahanya.

Keunikan Syarif kecil tidak cukup disitu. Setelah beberapa kali khatam di rumahnya sendiri, Syarif kecil dipindahkan mengaji ke guru lain di kampungnya. Demikian juga di tempat yang baru yang mulai dikenalkan dasar-dasar tajwid untuk penyempurnaan tajwid yang mengaji di rumahnya, Syarif kecil selalu cepat faham dan jalan sendiri. Oleh karena itu Syarif kecil diangkat lora atau wakil gurunya untuk mengajari teman-temannya yang belum faham. Begitu selanjutnya setiap pindah guru mengaji. Syarif kecil selalu dijadikan wakil gurunya untuk mengajari teman-temannya.

Ada satu lagi uniknya Syarif kecil. Dia sejak kecil selalu ditunjuk adzan magrib, isya, dan subuh oleh gurunya. Menurut cerita orang kampunya suara Syarif merdu sejak kecil. Dan ternyata memang Syarif kemudian menjadi qari sampai sekarang.

  1. Syarif dan cita-citanya

Syarif bercerita sebenarnya cita-citanya dari kecil tidak seperti yang terlihat sekarang. Waktu kecil setelah tamat SD, Syarif ingin masuk pesantren di Jawa dan Madura. Saat itu Syarif ingin ikut seorang kiyai ke Kepanjen Malang untuk menjadi santri sambil mengabdi (ngabuleh). Ngabuleh artinya nyantri sambil mengabdi karena biaya yang dibayar hanya sebagian. Ingin ngabuleh ini karena orang tua Syarif tergolong tidak mampu. Tetapi itu pun tidak jadi ke pesantren oleh karena biaya yang sudah hanya bayar separuh pun tidak bisa dipenuhi. Saat itu hanya dengan biaya Rp. 25.000 perbulan atau Rp. 300.000 pertahun tidak bisa dipenuhi karena tidak mampu.

Karena tidak jadi nyantri, Syarif dibujuk oleh para gurunya juga orang tuanya supaya melanjutkan sekolah. Kemudian Syarif melanjutkan sekolah di MTsN Ketapang pada tahun 1985. Saat Syarif masuk sekolah di Tsanawiyah, orang tua Syarif menjadi kuli menggali parit/selokan dan menguras wc. Saat itu SPP di Tsanawiyah Rp. 1.500 perbulan. Itu pun kadang menunggak sampai dua atau tiga bulan. Karena gagal menjadi santri dan melanjutkan ke MTsN, Syarif mengikuti saran orang tuanya supaya menjadi guru agama. Saat itu yang menjadi rujukan orang tua dan masyarakatnya adalah guru agamanya di SD yaitu Bapak Wan Muhammad. Akhirnya setelah tamat dari MTsN Syarif merantau ke Pontianak untuk melanjutkan sekolahnya di PGAN Pontianak tahun 1988. Sejak MTsN Syarif mengurus administrasi sekolahnya sendiri mengingat orang tuanya yang buta huruf.

  1. Syarif dan Prestasi serta aktivitasnya

Sejak dari MTsN hingga di PGA, Syarif cukup berprestasi yaitu paling rendah Syarif bisa mencapai rangking  3 di kelasnya. Oleh karena itu sejak MTsN juga di PGAN menjadi bagian dari penerima beasiswa Supersemar. Di PGAN Pontianak Syarif pernah menjadi 4 besar juara umum dari 6 kelas angkatan 1988-1991. Berkat menjadi  penerima beasiswa Supersemar di PGAN Pontianak itu Syarif dapat menabung dan akhirnya bisa melanjukan studinya ke strata 1 di Fakultas Tarbiyan IAIN Syarif Hidayatullah Cabang Pontianak tahun 1991.

Di IAIN Syahid Cabang Pontianak saat itu hanya ada dua jurusan yaitu PAI dan Bahasa Arab. Syarif memilih jurusan Bahasa Arab mengikuti nasihat ayahnya. Pilihan ini dia ambil mengingat di kampungnya para tokoh agama fanatik dengan bahasa Arab. Cikal bakal pengetahuan bahasa Arab yang dimiliki Syarif ialah dari guru favoritnya yaitu Habib Ismail al-Qadri dan guru agamanya Habib Muhammad Bin Habib Shalih. Di samping itu Syarif menimbanya dari guru-gurunya di MTsN Ketapang dan PGAN Pontianak. Berkat bekal pengetahuan bahasa Arabnya itu, Syarif juga berprestasi di kelasnya. Syarif juga tercatat penerima beasiswa Supersemar dan beasiswa BNI saat   di bangku kuliahnya. Syarif juga tercatat sebagai lulusan tercepat Jurusan Bahasa Arab di kelasnya dan pada wisuda sarjna IAIN Pontianak tahun 1996.

Di samping prestasi sekolah dan kuliahnya, Syarif juga punya prestasi kemahiran sebagai qari dan yang lainnya. Syarif pernah menyumbang 22 piala di sekolahnya PGAN Pontianak sebagai juara qiraat, cerdas cermat, membaca puisi, adzan, syarhil quran, ceramah, obade dan baris-berbaris dalam lomba upacara bendera. Syarif yang hobi qiraat dan puisi ini gemar mengikuti perlombaan dalam even-even di masyarakat, baik yang diselenggarakan oleh masjid-masjid, sekolah-sekolah, maupun oleh pemerintah seperti MTQ/STQ.  Sebagai qari, Syarif sampai ke tingkat dewasa pernah menjadi juara di Kalimantan Barat.

Dalam mengenang prestasinya ini, Syarif justru tidak bangga dengan prestasinya. Tapi Syarif justru bercerita haru dan bangga dengan cerita kondisi ekonominya dalam menjalani sekolah dan kuliahnya. Waktu di PGA Syarif menjualkan kue orang dititipkan di warung-warung dengan konsinyasi. Dalam kondisi jauh dari orang tua, setiap habis jam sekolah, Syarif mengantar dan menarik kue ke dan dari warung-warung yang dititip secara konsinyasi dengan keuntunagn 20 rupiah per kue. Usaha menjualkan kue orang ini berlanjut sampai di masa kuliahnya, bahkan sampai menjelang jadi sarjana. Di samping itu juga Syarif mengajar ngaji dengan gaji 20 ribu rupiah per bulan.  Syarif juga saat sekolah pernah menjadi penjual ikan di Pasar Flamboyan Pontianak. Kenangan dalam ekonominya saat sekolah, Syarif sangat terkesan oleh pengalamannya “diturunkan di setengah perjalanan oleh supir oplet di jalan Ahmad Yani karena ongkos yang diminta tidak cukup. Saat itu ongkos oplet 100 rupiah tapi saya hanya punya 50 rupiah. Maka saya diturunkan di tengah jalan di depan museum Ayani.

“Saya berjalan kaki ke rumah tempatnya menumpang, rumah Kakak sepupu saya di jalan sepakat 1. Sampe sekarang saya masih ingat muka supir oplet itu,” kenang Syarif.

Selain menjalankan aktifitas belajar dan pekerjaannya, ternyata Syarif sebagai seorang aktivis. Syarif memulai keaktifannya sejak dari MTsN aktif di gerakan Pramuka dan OSIS. Begitupun ketika di PGAN Pontianak Syarif juga aktif di OSIS dan Pramuka. Di OSIS selalu diaktifkan oleh seniornya sebagai seksi dakwah. Di gerakan Pramuka di PAGN Pontianak Syarif  sempat menjadi pengurus inti di ambalan sebagai sekretariat. Di masyarakat, Syarif aktif sebagai aktifis remaja masjid di Masjid Islamiah,  yang terletak di Jalan Imam Bonjol Pontianak. Dalam organisasi pengkaderan, Syarif pernah dikader sebagai aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) semasa sekolah di PGAN Pontianak tahun 1989-1991. Setelah kuliah, Syarif juga pernah dikader di Ikatan Pelajar Putra Nahdhatul Ulama (IPNU) tahun 1991-1993. Syarif juga mengikuti pengkaderan di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Pontianak dimulai pada tahun 1991. Di HMI Syarif sampai ke tingkat pengkaderan Advance Training (LK-III). Di HMI Syarif pernah terpilih sebagai Ketua LDMI HMI Cabang Pontianak pada tahun 1994. Juga sempat menjadi Ketua Komisariat Tarbiyah HMI Cabang Pontianak pada tahun 1994-1995. Bahkan Syarif pernah menjadi Pengurus PB HMI sebagai Wasekum Eksternal pada Tahun 2004-2005.

Bagitupun di masyarakat, Syarif sampai sekarang aktif menjadi pengurus ormas keagamaam dan kemasyarakatan. Syarif tercatat pernah menjadi Sekretaris Dewan Dakwah Islamiyah Kota Pontianak tahun 1996-1998. Pernah menjadi Ketua Umum DPP Jam’iyyatul Islamiyah  tahun 2012-2013  lalu menjadi Ketua Departemen Dakwah DPP Jam’iyyatul Islamiyah tahun 2012-2017. Sekarang Syarif aktif sebagai sekretari PCNU Kota Pontianak, sebagai Wakil Ketua DMI Kalbar, dan sebagai Ketua Harian 1 IKBM Kalbar. Masih ada lagi hanya Syarif cukup menceritakannya sampai di situ saja.

  1. Syarif Memulai Karirnya

Karena prestasi di kuliahnya itu, setelah jadi sarjana Syarif tidak sempat menganggur. Setelah diwisuda Syarif langsung dijadikan dosen luar biasa di almamaternya.

“Saat itu saya dikasi mata kuliah praktik qiraah dan Pendididikan Bahasa Arab. Saya gembira sekali dipercaya untuk mengabdi di almamater saya walau honor saya terima setiap satu semester atau enam bulan sekali. Saya ingat sekali honor pertama saya sebagai dosen luar biasa sebesar 62 ribu. Itu honor 6 bulan, tapi saya senang sekali,” kenang Syarif.

Syarif melanjutkan, “Sebelum jadi dosen, saya  telah memiliki pengalaman mengajar, yaitu pernah menjadi guru bahasa Arab di SD Mujahidin Pontianak pada tahun 1995-1997, pernah menjadi guru bahasa Arab dan al-Qur’an hadis di MTs Assa’adah Tanjung Hilir. Bahkan pernah menjadi kepala MTs di sekolah tersebut pada tahun 1995-1996. Saya juga berpengalaman menjadi guru TPA di beberapa TPA di Pontianak, seperti di TPA 45 dan Mujahidin,” ceritanya.

Setelah setahun Syarif menjadi dosen luar biasa Syarif mengikuti tes PNS formasi Dosen. Saat itu syarat untuk menjadi dosen cukup dengan ijazah S1 dengan syarat IPK 3,00. “Alhamdulillah saya lulus tes dalam formasi dosen bahasa Arab pada tahun 1997. SK CPNS saya keluar pada bulan Mei 1998. Saya menyebutnya SK pertama pada masa reformasi, dan SK itu sebagai hadiah ulang tahun saya. Setelah setahun saya menjalani CPNS dan kemudian telah PNS, saya mengikuti tes S2 dan lulus.” kisahnya bersemangat.

Syarif menuturkan, “Saat itu untuk menjaring calon peserta S2 Departemen Agama datang ke kampus dan melakukan tes. Saya lulus dengan kuliah biaya mandiri. Saya kuatkan tekad, saya memilih kuliah di Program Pascasarjana UIN Syahid Jakarta dan saya berangkat tahun 1999. Kondisinya merantau ke Jakarta tak ubahnya seperti dari ketapang ke Pontianak. Untuk memenuhi hajat menuntut ilmu, saya kembali berjibaku dengan keadaan akibat kondisi ekonominya yang kurang dari kebutuhannya. Saat itu saya baru saja PNS dengan gaji penuhnya 182 ribu. Itu pun penuh dalam hitungan. Dalam kenyataan gaji tersebut dipotong tiap bulan karena meminjam nama temannya mengambil pembiayaan di bank.” Kenangnya.

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang dengan satu istri dan dua orang anaknya, Syarif menunggu dapat undangan membaca Alquran pada acara-acara PHBI dan nikahan. Juga sesekali dapat dari honor sebagai Khatib Jumat. Akhirnya Syarif menyiasati keadaannya, pada bulan ketiga di Jakarta Syarif bekerja di tanah abang sebagai tukang ojek payung. Keadaan demikian bertahan cukup lama sampai akhirnya Syarif bekerja sebagai kuli panggul kabel data di Glodok. Sebelum total bekerja di Glodok Syarif masih sambil menjadi tukang ojek payung. Sebagai tukang panggul di glodok Syarif sampai malam hari mengingat kerjanya setengah hari karena paginya masih kuliah. Setelah mata kuliahnya selesai baru Syarif dapat full seharian bekerja di Glodok. Saat itu saya sambil jualan komputer kepada teman-teman saya di Pascasarjana. Juga seiring berjalannya waktu saya juga biasa mendapat orderan besar penjualan unit komputer. “Pernah saya mendapat sub kontra pengadaan komputer mencapai 104 unit di satu Kementerian di bilangan Salemba,” tutur Syarif.

Selama bekerja sebagai tukang ojek payung di Pasar Tanah Abang dan kuli panggul di Glodok, anak-istri dan teman-teman Syarif tidak tahu. Pun sampai Syarif memiliki toko komputer di Glodok mereka tidak tahu. Tahunya anak-istri Syarif sebagai aktifis sosial. Syarif dari yang semula hanya untuk menyambung hidup di Kota Metropolitan, hingga menjadi mahasiswa-pengusaha. Syarif juga memiliki konter seluler di poin squer saat itu. Namun dia mengenang sedih karena telah mengorbankan cita-cita untuk menjadi wisudawan tercepat. Padahal sejak semester dua Syarif telah menyusun proposal tesis. Syarif menyelesaikan kuliahnya dan meraih gelar Magister Agama pada tahun 2003 setelah menempuh waktu selama 4 tahun. Pada tahun yang sama, Syarif terdaftar sebagai peserta Program Doktor jurusan Tafsir-Hadis melanjutkan Jurusan Magisternya di almamater yang sama. Dalam menempuh pendidikannya di S3 Syarif tetap menjalankan usahanya bahkan sempat merambah ke dunia Forex. Syarif juga sebagai pengusaha ritel menjadi produsen penghemat listrik dan menjadi suplayer ke PT Kobra International di bilangan Kuningan Jakarta Selatan.

  1. Kisah Penyelesaian Studi

Setelah kenyang di dunia usaha, akhirjya Syarif mengakhiri petualangam ekonominya jatuh di usaha Forex. Syarif boleh dibilang bangkrut. Semua asetnya terjual. “Pada tahun 2008 saya bahkan tidak mampu untuk berzakat fitrah sewaktu idul fitri tiba saat itu,” kenang Syarif.

Dalam kondisi itu ayahnya, bapak Satimen datang ke Jakarta dan menasihatinya. “Nak ikhlaskan semua yang terjadi. Cepatlah selesaikan sekolahmu, kan memang niatmu ke Jakarta untuk sekolah bukan untuk menjadi pengusaha. Harta adalah karunia dan titipan Allah, pun sewaktu-waktu Allah bisa menarik titipannya itu,” demikian nasihat sang ayah.

“Dengan nasihat itu saya kembali menyambangi kampus setelah beberapa tahun saya sangat jarang ke kampus. Saat itu Prof. Azra sebagai Direktur Pascasarjana.  Saat itu saya mulai masuk perpustakaan kembali. Saya dapat undangan penyelesaian kuliah pada tanggal 30 Mei 2009. Saat itu kebijakan Direktur pengetatan masa kuliah. Saat saya memasuki ruangan pertemuan, di depan terpampang sepanduk tentang waktu Drop Out. Untuk angkatan saya, angkatan 2003 harus sudah selesai pada tanggal 31 Agustus 2009. Kami pasa shok, turur Syarif. Bagaimana tidak, untuk menyusun disertasi hanya punya waktu 3 bulan. Maka beberapa teman saya mengajukan pindah kuliah ke kampus lain,” tuturnya.

Syarif memilih tetap berjuang menyelesaikan studinya di kampus kebanggaannya itu. Pada tanggal 15 Juni 2009 Syarif ujian proposal disertasinya di sidang Work in Progres (WIP). Pada saat itu bersamaan dengan WIP-nya teman sekampusnya, ibu Lailial Muhtifah yang sudah menyelesaikan tulisannya lima bab.

“Pada saat itu proposal disertasi saya tidak lulus. Terdesaknya waktu penyelesaian disertasinya membuat Syarif berjuang ekstra. Pada tanggal 27 Juni 2009 itu proposal disertasinya diterima. Akhirnya Oktober 2009 saya diwisuda sebagai Doktor ke 747 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di ujung tahun 2009 saya kembali bertugas aktif kembali di STAIN Pontianak, kampus almamaternya yang beralih status dari Fakultas Tarbiyah filial IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1997.” Ucapnya.

Syarif mulai aktif menjadi pejabat diawali dengan dilantik sebagai Asisten Direktur Program Pascasarjana STAIN Pontianak tahun 2011. Syarif kemudian dilantik menjabat Wakil Rektor Bidang Admistrasi Umum, Perencanaan, dan Keuangan IAIN Pontianak pada tahun 2014 setelah STAIN beralih status menjadi IAIN Pontianak pada Agustus 2013. Selanjutanya Syarif diserahi tanggungjawab oleh Menag sebagai Pelaksana Tugas Rektor IAIN Pontianak pada Desember 2017. Kemudian pada tanggal 6 Juni 2018 Syarif dilantik sebagai Rektor definitif IAIN Pontianak sampai sekarang.

Editor: Mulyadi
Penulis: Abdullah




Marhaban Ya Ramadhan

Oleh: Syarif*)

Kita banyak bersyukur kepada Allah Swt dengan anugerah-Nya kita sampai lagi di bulan Ramadhan 1441 H. Mengucapkan marhaban yâ ramadhâan artinya kita bak kedatangan tamu agung, lalu tamu agung tersebut dipersilahkan memasuki rumah dengan seluas-luas keridhaan hati, dengan penuh kesenangan. Beginilah kita memaknai marhaban yâ Ramadhân. Jika kita ucapkan kepada selain subyek atau selain manusia seperti kita ucapkan kepada Ramadhan.

Sesungguhnya bukan Ramadhan yang datang, karena Ramadhan tidak pernah bergerak maju atau mundur. Melainkan kitalah yang mendatanginya dan memasukinya. Maka makna marhaban yâ Ramadhân kala kita memasukinya, sesungguhnya kita menyatakan diri bahwa kita memasuki waktu Ramadhan dengan penuh kegembiraan, penuh suka-cita, penuh keridhaan dan keikhlasan untuk beribadah di dalamnya.

Berikutnya, kita harus bertanya “Apa bukti bahwa kita memasuki waktu Ramadhan dengan penuh keridhaan dan keikhlasan?” Tentu semua kaum muslimin menyediakan dan menyiagakan dirinya untuk melaksanakan semua ibadah yang wajib dan yang sunnah di dalamnya. Nah, dalam rangka membuktikan keridhaan dan keikhlasan kita ini, izinkan penulis sharing sedikit hal yang terkait dengan maksimalisasi esensi Ramadhan. Tentu sharing yang dimaksud penulis suguhkan sebagai bahan pertimbangan bagi kita bersama. Yaitu Rasulullah Saw mengingatkan kita bahwa tidak sedikit orang yang menyatakan dirinya berpuasa di bulan Ramadhan hanya mendapat lapar dan haus, “kam min shâimin laisa lahû min shiyâmihî illa al-jû’ wa al-‘athas”. Kiranya supaya kita terhindar dari peringatan Rasul itu kita harus cermat dalam melaksanakan semua ibadah di dalam bulan Ramadhan. Sebuah hadis menuturkan “man shâma Ramadhâna îmânan wahtisâban ghufira lahû mâ taqaddama min dzambhî – barang siapa berpuasa di bulan Ramadhan karena keimanan dan dengan kecermatan maka dosanya yang di masa lalu diampuni ”.

Selama ini sebagian orang mengupas hadis tersebut hanya tentang dileburnya dosa-dosa. Hal itu tidak salah, namun alangkah lebih konprehensif lagi jika dibahas tentang berpuasa dengan penuh perhitungan atau kecermatan. Ialah bahwa kecermatan yang dimaksud, di samping kita para shâim berpuasa dengan memahami syarat, rukun, yang membatalkan puasa dan lain-lain, kita juga harus berusaha memahami tentang esensi berpuasa di bulan Ramadhan. Yaitu bahwa shaum di bulan Ramadhan sesungguhnya bukan sekedar tidak makan dan minum, melainkan shaum itu ialah kita sebagai mukmin menahan diri untuk tidak bertindak dan berkata dengan mereferensi hawa-nafsu. Disebutlah shaum itu mukmin mempuasakan hawa-nafsu. Kapan menahan diri ini dilakukan, tentu tidak sekedar pada bulan Ramadhan. Sebab sesungguhnya bulan Ramadhan hanya waktu latihan dengan menahan diri untuk tidak makan dan minum. Jadi esensi shaum Ramadhan bukan tidak makan, tidak minum, dan tidak bersenggama dengan pasangan, melainkan menahan diri dari prilaku yang berbasis hawa-nafsu.

Untuk melengkapi kecermatan, apa yang dimaksud dengan hawa-nafsu yang dipuasakan atau ditahan tersebut? Di dalam kitab Alquran ditemukan jenis nafsu atau diri yang buruk yaitu “nafs ammârah dan nafs lawwâmah” (Q.s. Yûsuf/12:53, al-Qiyâmah/75:2). Nafs ammârah ini ialah diri yang selalu membawa prilaku dirinya dengan keburukan. Nyatanya diri yang semacam ini ialah diri yang bersifat emosional, mudah marah, mudah tersinggung. Coba kita cermati seseorang atau diri kita sendiri yang membiasakan atau mentabiatkan diri dengan tiga sifat ini, pasti selalu memandang sesuatu atau seseorang dengan pandangan yang buruk, sejenis tidak ada benarnya orang lain. Lalu nafs lawwâmah, yaitu diri yang mendasari prilakunya dengan nyatanya sifat ‘ajîb-‘ujub-berbangga diri atau takjub atau kagum akan dirinya sendiri. Lalu karena itu dia berprilaku dengan nyatanya sifat riyâ`–pamer, haus pujian atau sanjungan. Inilah sifat takabbur, membesar-besarkan dirinya. Jika tidak dipuji muncul nyatanya sifat iri-dengki. Sifat ini menyata pada prilaku tidak senang akan kebaikan dan kelebihan orang lain. Nyatanya sifat-sifat inilah pada prilaku, kemudian melahirkan sifat yang gemar menghasut orang lain. Hasutan itu diarahkan untuk memfitnah orang yang tidak disenangi karena keiri-dengkiannya. Kemudian ada pada orang yang demikian itu sifat tamak-loba. Itulah orang yang sombong.

Kita harus cermat terhadap nyatanya sifat-sifat tadi dalam prilaku kita. Lalu kita latih untuk ditahan supaya tidak menjadi prilaku, seperti kita menahan diri tidak makan, tidak minum, dan tidak bersenggama di siang hari pada bulan Ramadhan. Semoga dengan uraian ini menjadi terang esensi shaum Ramadhan. Tentu hasil Latihan tersebut untuk diterapkan pada sebelas bulan pasca Ramadhan.

*) Penulis adalah Rektor IAIN Pontianak




Corona dan Takdir Diri

Oleh: Syarif

Sebagai orang yang beragama kita harus beriman. Dalam Islam beriman itu setidaknya ada enam rukunnya, yaitu: percaya dengan Allah, percaya dengan malaikat Allah, percaya dengan rasul Allah, percaya dengan kitab Allah, percaya dengan hari akhir, percaya takdir baik dan takdir buruk dari pada Allah.

Bahasan takdir diri ada pada salah satu rukun iman. Takdir itu terambil dari kata “qadru-qaddar-taqdîran”, menjadi takdir dalam bahasa Indonesia. Takdir itu artinya ketetapan atau sukatan. Tentu ketetapan Allah Swt mengenai para hamba-Nya. Percaya dengan ketetapan Allah Swt bermakna bahwa semua yang terjadi yang mengenai hamba-Nya atas kehendak dan seizin Allah Swt.

Takdir itu ada dua macam, yaitu: takdir mutlak dan takdir mubram. Yang mutlak itu adalah sepenuhnya atas qudrat dan iradat Allah Swt. Yang mubram Allah memberi bagian kepada hamba-Nya untuk ikhtiar. Contoh keduanya bahwa setiap hamba itu mendapat rezeki selagi ia hidup, masuk dalam takdir mutlak. Tetapi seberapa banyak jumlah rezeki yang didapat itu Allah berikan ikhtiar kepada sang hamba. Contoh lagi bahwa setiap penyakit itu ada obatnya adalah takdir mutlak, tetapi sembuh atau tidak, seberapa lama sembuhnya seseorang, atau obat apa yang tepat dengan kondisi sakit seseorang itu Allah berikan bagian kepada hamba untuk berikhtiar. Endingnya, takdir mutlak dan takdir mubram ini setelah kejadian atau setelah terjadi hakikatnya menjadi takdir mutlak.

Setelah kejadian, apakah takdir itu sesuatu yang baik atau tidak baik, apakah menyenangkan atau menyakitkan, baru kemudian masuk makna “lâ haula walâ quwwata illâ billâhil ‘aliyyil ‘azhîm—tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung”. Pada posisi ini jika kita dapat meresapi kepahaman dan mengamalkan rukun iman tentang takdir ini, maka kita dapat merasakan lezatnya keimanan.

Covid-19 yang santer kita kenal dengan Corona Virus adalah merupakan takdir Allah Swt. Yaitu bahwa virus itu merupakan makhluk Allah Swt. Ialah Allah Swt yang menjadikannya. Seperti diurai di atas bahwa para hamba Allah Swt diberi bagian untuk berikhtiar melawan, menahan, dan mengobati penyebaran dan pengobatannya. Takdir diri kita hari ini bahwa kita harus ada dalam ikhtiar terkait Corona Virus ini.

Dari sisi ajaran agama, kita tidak boleh jumawa dalam menghadapi wabah Corona Virus ini. Artinya kita tidak boleh merasa paling dekat dengan Tuhan, lalu muncul ungkapan “hidup-mati di tangan Allah”. Ungkapan ini tidak sekedar jumawa tapi sangat konyol. Orang yang mengungkapkan demikian sangat bernada takabbur dengan keyakinannya. Semua orang tahu, juga semua orang percaya bahwa ketentuan hidup-mati di tangan Allah. Namun Allah Swt memberi ruang ikhtiar manusia. Maka ikhtiar mutlak harus kita lakukan. Tangkal Corona itu masuk dalam takdir mubram namun kita yang harus melakukan ikhtiar ada dalam garis takdir mutlak. Mutlak dan wajib berikhtiar.

Oleh karena itu, saya turut mengimbau bahwa kita wajib mematuhi semua imbauan positif tentang ikhtiat tangkal Corona ini, terutama dari pemerintah maupun dari ormas atau lembaga keagamaam dan juga ormas kemasyarakatan. Menurut saya ikhtiar melokalisir penyebaran seperti pembatasan-pembatas wilayah dan pembatasan kegiatan-kegiatan yang melibatkan orang ramai sudah sesuai ajaran agama. Beberapa hadis pun mengajarkan demikian, semua ulama juga sudah menjelaskan hadis-hadis tersebut bahwa jika ada suatu wabah di suatu wilayah maka kita jangan memasuki wilayah itu. Sebaliknya jika di wilayah kita sedang terjadi wabah maka kita tidak boleh keluar. Ikhtiar secara syariat atau secara lahiriah yang wajib kita lakukan.

Namun, kita juga mesti punya mekanisme batiniah sebagai bagian ikhtiar tangkal Corona ini. Yaitu bahwa kita juga tidak boleh sombong dengan ikhtiar lahiriah yang kita lakukan. Dalam ikhtiar lahiriah haruslah tetap disandarkan kepada Sang Yang Menjadikan wabah ini, ialah Allah Swt. Bagi orang Islam misalnya, rutinlah berdoa di setiap shalat lima waktu dan di setiap dhuha dan tahajjud. Kembalikanlah kepada Allah Swt semua ikhtiar itu. Selanjutnya dalam berikhtiar dan berdoa itu jangan panik. Terutama saat mendapat postingan berita tentang Covid-19. Karena saat ini kepanikan itu seperti mengikis keimanan. Seperti Covid-19 ini telah menggantikan posisi Malaikat Izrail. Karena kepanikan tersebut membuat banyak orang terjangkit virus keimanan yaitu seperti tidak ada Tuhan. Ini yang saya maksudkan bahwa kita harus melakukan keseimbangan antara ikhtiar lahiriah dan batiniah.

Kesimpulannya, bahwa Allah telah menjatuhkan takdir-Nya bahwa permukaan bumi saat ini sedang diberi musibah berupa wabah Corona Virus. Artinya takdir kita saat ini sedang diuji oleh Allah Swt. Mungkin manusia selama ini telah melakukan kejumawahan. Ada yang mengaku negaranya menjadi polisi dunia. Diturun tentara yang diciptakan Allah Swt berupa Corona Virus, maka manusia pun kelabakan. Tank dan pesawat tempur dan rudal canggihnya tak berdaya menembaki Corona Virus. Sepeti Fir’aun dan Raja Abrahah di masa lalu tak berdaya oleh air laut dan burung Ababil. Intinya, manusia hidup di muka bumi sebenarnya tak boleh lupa diri. Tak boleh lupa bahwa manusia itu ada yang menjadikan dan mengaturnya ialah Tuhan, Allah Swt. Saat berpunya, saat berkuasa atau berkedudukan manusia harus tetap ingat bahwa telah ditetapkan/ditakdirkan oleh Allah Swt ialah segala sesuatu selain Allah di permukaan bumi tidak kekal atau hanya sementara.

Penulis adalah Rektor IAIN Pontianak.




Virus Corona dan Sedekah

Oleh: S y a r i f

Belakangan ini kita dikhawatirkan dengan mewabahnya virus Corona. Pemerintah mengimbau masyarakat untuk ‘stay at home’ berdiam di rumah sebagai upaya antisipasi penyebaran virus yang semakin meluas di berbagai negara, termasuk Indonesia. Situasi demikian seharusnya memecut semangat kita untuk peduli, berbagi dan bersedekah kepada orang-orang yang memerlukan bantuan. Terutama kaum mustad’afin yang membutuhkan uluran tangan para dermawan.

Ada kata-kata bijak “lidah tidak bertulang, kata mudah diucapkan, amal susah dinyatakan. Kata-kata bijak ini mengingatkan kepada kita bahwa ajaran baik itu tidak boleh hanya dalam kata-kata. Itu sebabnya dalam keterangan ayat Alquran dinyatakan, yang terjemahannya “Hai orang-orang beriman mengapa kalian mengatakan barang sesuatu yang tidak kalian perbuat. Besar benci Allah lantaran kalian mengata sesuatu hukumnya tidak kalian perbuat” (Qs. al-Shaf/61:2-3).

Di antara perilaku orang yang benar-benar memperilakui takwa (muttaqiin) itu ialah terbebas dari sifat kikir yaitu menafkahkan hartanya baik dalam keadaan punya maupun tidak punya (Qs. Âli ‘Imrân/3:134). Demikian juga dinyatakan dalam Qs. al-Baqarah/2:2).
Bahwa orang yang telah berperilaku takwa itu menafkahkan rejekinya di jalan Allah. Menafkahkan atau berinfaq harta di jalan Allah ada yang wajib dan ada yang sunnat. Yang wajib seperti berzakat fatrah dan zakat mal, membayar kifarat, dan membelanjakan harta yang tergolong sunnat seperti bersedekah.

Terutama kepada siapa menafkahkan harta diberikan? Alquran menuntunkan yaitu jika yang wajib ada delapan asnaf yang sudah sangat populer “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”(Qs. al-Taubah/9:60). Sedanglan selain zakat atau infaq wajib itu dituntunkan dalam banyak teks Alquran bahwa memberi itu kepada keluarga dekat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Dalam ayat tertentu disebut orang yang berhutang (misalnya dalam Qs. al-Baqarah/2:177). Tetapi keseringan urutannya adalah seperti keterangan teks ayat berikut “Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”. Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya” (al-Baqarah/2.215).

Dalam memberi juga dituntunkan etikanya. Yang pertama memberi itu mesti yang pantas. Bahkan jika perlu yang terbaik “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sehingga kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”(Qs. Âli ‘Imrân/3:92). Seperti berzakat misalnya mesti setidaknya jika zakat dengan beras mesti minimal sama dengan beras yang kita makan, atau lebih baik lagi kualitasnya. Akhir ayat di atas juga menerangkan dan mendorong supaya kita tidak tergila-gila untuk diketahui orang, karena Allah Maha Tahu atas apa yang kita berikan. Ini sejalan dengan etika memberi berikutnya.
Yang kedua, lebih baik disembunyikan, walau tidak dilarang untuk dinampakkan, dan memberi karena atau demi keridhaan Allah Swt. “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”(al-Baqarah/2:271). Hal demikian tentu Allah Swt Maha Tahu tentang sifat pada manusia yang suka pamer, karena manusia suka dengan pujian. Pamer itu sangat rentan dengan pujian atau riyâ’. “Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat” (al-Baqarah/2:265).

Oleh karena itu etika ketiga adalah jangan riya’ atau minta dipuji dalam berinfaq atau memberikan harta di jalan kepada Allah. Juga jangan mengungkit-ungkit sedekah atau pemberian kita itu. Sebab pemberian yang diungkit-ungkit itu menyakitkan orang yang menerimanya. Jika itu kita lalukan maka sia-sialah apa yang kita perbuat atau shadaqah kita jadi hangus. “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun”(al-Baqarah/2:163). “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya (mengungkit-ungkit) dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”(al-Baqarah/2:264).

Adapun hikmah memberi adalah yang pertama, yaitu dimudahkan rezeki dalam arti kebaikannya dilipat-gandakan. “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”(al-Baqarah/2:261).

Yang kedua, dimudahkan urusan kita oleh Allah Swt. “Barang siapa yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan atau percaya ada (balasan) kebaikan atau pahala, maka akan disiapkan jalan kemudahan urusannya”. Dan sebaliknya barang siapa yang bakhil/kikir, dan tidak percaya ada pahala, maka akan disiapkan kesulitan untuk urusannya. Baca (Qs. al-Lail/92:5-10).

Sesuatu yang kita pandang tidak berarti boleh jadi sangat berguna bagi orang lain. Maka berbagilah. Terlebih di masa yang sulit saat pandemi virus Corona ini. Saatnya kita peduli.

Penulis, Rektor IAIN Pontianak.




Rakernas Kemenag dan Moderasi Beragama

Oleh: Dr. Syarif, Rektor IAIN Pontianak

Rapat Kerja Nasional (Rakernas)  Kementerian Agama Republik Indonesia dilaksanakan pada hari Rabu-Jumat tanggal 29-31 Januari 2020. Satu titik fokus yang mewarnai dan dominan dalam sambutan-sambutan, penyampaian materi-matari, dan dalam penyampaian summary oleh Sekjend Kemenag bahkan dalam arahan Wamenag khusus disampaikan makalah tentang moderasi beragama.

Fenomena sosial belakangan ini memang sesuai dan seperti tema Rakernas “Moderasi Beragama, Umat Rukun, Indonesia Maju”.  Kalimat tema ini sejenis jumlah syarthiyah dalam kaedah nahwiyah. Ending atau gol kita semua adalah Indonesi maju. Menurut tema ini bahwa Indonesia maju disyarati oleh umat yang rukun. Kemudian umat yang rukun itu disyarati oleh sikap beragama atau sikap memahami dan mengamalkan ajaran agama, yaitu sikap moderasi dalam beragama. Satu hal yg harus menjadi kefahaman bersama adalah bahwa yang harus moderat itu adalah bukan agama atau ajaran agama, tetapi yang harus moderat itu ialah sikap beragama. Yang harus moderat itu adalah cara beragama.

Menteri Agama Fachrul Razi menyampaikan arahan bahwa moderat itu adalah berposisi di satu titik di antara dua kutub ekstrim. Sikap moderat itu artinya mendekatkan dua kutub ekstrim itu untuk menjadi titik tengah atau setidaknya saling mendekat. Tentu arahan Menteri Agama ini tujuannya, jika diterapkan pada konsep hubungan antar pemeluk agama, ialah supaya para penganut agama atau umat beragama saling berdekatan untuk saling memahami eksistensi masing-masing, kemudian akan mewujud sikap saling menghargai dan menghormati. Itu sebabnya Wamenag RI menyampaikan bahwa pembangunan berbasis moderasi beragama harus menjadi keharusan yang sangat penting, tujuannya adalah saling menghargai keberagaman terutama keberagaman agama.

Saya memandang rakernas kali ini benar-benar menginspirasi keinginan untuk memberikan titik tumpu bagi pembinaan keummatan. Ini artinya negara yang membungkus moderasi beragama dalam RPJMN pada titik Revolusi Mental ini punya hajat khusus untuk menguatkan Persatuan Bangsa ini dengan nilai agama. Tentu nilai agama yang dapat membuat umat beragama bisa bersikap saling menghargai, yaitu nilai agama yang moderat.  Dalam pandangan ajaran Islam sikap moderat ini telah menemukan modelnya sejak di zaman Rasulullah Saw. Piagam Madinah misalnya, sebagai contoh pengelolaan hidup dalam kebersamaan. Siapapun yang mengkhianati komitmen kebersamaan harus keluar dari negara Madinah.

Dalam konteks ke-Indonesiaan, sikap moderat menjadi keharusan. Oleh karena Indonesia ini adalah negara kesatuan berbasis kesepakatan dalam keberagaman. Indonesia tidak diperjuangkan dan didirikan oleh suku, kelompok, atau agama tertentu. Tetapi Indonesia diperjuangkan dan didirikan secara bersama-sama lintas suku dan agama. Kesadaran ini harus dapat penguatan yang riil dalam mengisi pembangunan di negeri besar Indonesia ini. Tidak boleh kelompok tertentu baik berbasis suku maupun agama merasa dan mengklaim yang paling berhak. Tetapi sejatinya harus berkesadaran bahwa semua kita mendapat hak yang sama dalam semua lini kehidupan. Para pengampu kekuasaan negara menurut saya, harus berkesadaran betul akan hal ini. Sehingga pembangunan nasional dirancang dan diwujudkan berbasis hak dan kewajiban bersama ini.

IAIN Pontianak telah dan merencanakan program untuk penguatan moderasi beragama. Program tersebut merupakan program yang saling berkait antara nilai filosofi kebangsaan dan ajaran inti agama. Program yang dimaksud ialah IAIN Pontianak telah mendirikan: Rumah Moderasi, sertifikasi wawasan kebangsaan bagi mahasiswa baru dan para pengurus ormawa (berkurikulum: Pancasila dan UUD 1945, ke-NKRI-an, sejarah perjuangan, toleransi dan wasathiyatul Islam), sedang dipersiapkan pendirian Rumah Pancasila, sedang dirancang kurikulum moderasi beragama, kurikulum wawasan kebangsaan, dan antisipasi pada seleksi CPNS.

Untuk Rakernas kali ini saya memiliki catatan kecil. Namun ketika saya diskusikan dengan teman-teman dan senior para rektor, ternyata catatan kecil ini dipandang sangat penting. Ialah bahwa ide-ide dan rencana-rencana besar dalam Rakernas ini kurang efektif dari segi eksekusinya ke depan, khususnya dalam hal moderasi beragama. Mengapa? Oleh karena ide, rancangan, instruksi-instruksi terkait moderasi beragama digelontorkan saat rekernas di mana DIPA telah ditetapkan sejak Oktober tahun lalu. Mestinya ide, rancangan, dan instruksi-instruksi tersebut dilakukan bahkan sebelum penyusunan Pagu Indikatif. Sedangkan pada Rakernas adalah tinggal ditagih atau minta program konkrit yang telah terbiayai dalam DIPA. Dengan begitu rakernas sifatnya penguatan untuk tepat eksekusinya.  Dengan begitu akan efektif dalam arti maksimal perwujudan programnya.

Tetapi akan lebih efektif lagi (ini cacatan kecil kedua), jika hajat besar untuk penanaman nilai moderasi beragama ini, apabila programnya langsung menjadi program Kementerian berupa titipan-titipan program di satker-sakter. Dalam hal ini satker-satker PTKN sangat tepat kalau dijadikan leadingnya titipan program tersebut. Mengingat PTKI kaya SDM untuk penguatan materi moderasi beragama.  Dengan begitu akan sangat efektif dan massif. Mengapa demikian? karena sejujurnya, PTKIN khususnya miskin anggaran, terutama RM. Apalagi Anggaran BOPTN stagnasi seperti mati segan hidup tak mau, karena jumlahnya sangat minim. Juga oleh karena saat ini, PTKIN Hanya bertumpu kepada PNBP, terutama yang belum BLU.

Sembari menunggu cita ideal kebijakan titipan program ini, kita tetap semangat dan laksanakan sekuat tenaga dengan modal yang ada. Moderasi Beragama, Umat Rukun, Indonesia Maju.




Mudik Jasadi dan Ruhani

Oleh: Dr. Syarif, S.Ag, MA.

Ketika Allah menerangkan misal dari Nur-Nya pada Qs. al-Nur/24:35, di ujung teks ayat itu dikatakan “Allah membuat misal bagi manusia dan Dia mengetahui segala sesuatu”. Makna teks ayat ini pertama Allah dalam menerangkan sesuatu sekalian memicu manusia untuk berfikir keras untuk memahami apa yang sedang diterangkan-Nya oleh karena, keterangan tersebut diungkap dengan perumpamaan.

Kedua, Allah mengatakan bahwa Dia mengenal mengetahui segala sesuatu, mengandung makna ialah manusia tidak akan tahu atau faham tentang yang sedang diterangkan-Nya itu. Itu sebabnya Dia menyediakan diri untuk dimintai kefahaman supaya manusia itu tahu diri dan tidak merasa tahu. Kesediaan Allah itu tentu dengan cara mengutus utusan di permukaan bumi dari kalangan manusia itu sendiri. Tentu pula mekanisme penunjukan utusan itu adalah dengan cara Allah sendiri. Tentu juga kebanyakan manusia tidak tahu dengan siapa yang diutus Allah itu, dan kalaupun tahu kebanyakan manusia tidak percaya bahkan menolaknya. Utusan-utusan tersebut bernama auliya’-anbiya’. Pun utusan itu juga biasanya bersenandung karena terkait etikanya kepada Allah yang tidak boleh terang-terangan bahwa dirinya auliya (zaman sekarang). Utusan tersebut biasa menerangkan bahwa dirinya hari bersembunyi di tengah terik matahari.

Kata-perkata pada teks ayat Qs. 24:35 di atas pun sangat sulit difahami jika hanya mengandalkan teka-teki pemikiran manusia yang sangat terbatas. Karena teks tersebut diungkap dengan perumpamaan. Oleh karena itu hanya orang yang dikasi kefahaman oleh yang punya perkataanlah yang dapat memahami maksud teks ayat tersebut. Orang yang dikasi kefahaman itu dengan pasti mengerti wujud yang diterangkan Allah dengan perumpamaan tersebut. Karena memang petunjuk Allah itu berbasis wujud bukan berbasis epistemic literalistic.

Saat ini kita sedang berada pada momen mudik lebaran. Kita menangkap perumpamaan di sini. Mudik lebaran itu pasti berkaitan dengan puasa Ramadhan dan Idul Fitri. Mudik itu makna intinya rindu kampung halaman. Maka seseorang yang rindu kampung halaman pasti ingin sekali kembali. Tentu karena banyak hal tugas di perantauan, maka pulang atau kembali ke kampung halaman itu pada momen tertentu seperti pada waktu lebaran ini. Perumpamaan ini cantik sekali. Maka judul di atas saya tulis “mudik jasadi dan ruhani”.

Supaya perumpamaan ini menemukan maknanya, izinkan saya menyampaikan uraian tentang eksistensi kita yang menjadi manusia dalam dunia di permukaan bumi. Kita adalah wujud yang terdiri dari lahiriah/jasadiah-zhahiriyah-batiniyah. Jasadiyah itu adalah yang berwujud materi seperti yang kita bisa lihat dan raba yaitu tubuh kita ini. Jasadiyah ini diuraikan oleh teks-teks ayat Alquran adalah sebagai sesuatu yang datang dari ibu-bapak yang materi kejadiannya dari saripati tanah yang tersaring, menjadi air yang hina, yang terpancar/keluar dari tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan, kemudian dilukis atau dibentuk di dalam rahim (Qs. 23:12, 32:8, 86:5-7, 3:6, dan masih banyak teks lain yang bermunasabat). Referensi inilah yang melahirkan tempat yang bernama kampung halaman. Yaitu tempat di mana bahan atau materi jasadiyah kita diperoleh oleh kedua ibu-bapak kita. Dengan referensi ini kita dapat memahami bahwa kampung halaman yang hari ini kita pada mudik ke sana adalah kampung halaman lahiriyah atau jasadiyah. Di sana selain materi kejadian jasad kita di sana di dapat, juga di sana jasad kita dilahirkan oleh ibu kita.

Kemudian unsur kedua dan ketiga yaitu zhahiriyah dan bathiniyah, yaitu wujudnya adalah ruh dan dzat. Asal kejadian dan keberadaan ruh dan dzat ini tidak sama dengan jasadiyah. Bahwa wujud ruh dan dzat ini berasal dari satu tempat dan wujud atau keberadaannya bukanlah materi. Ruh dan dzat ini wujudnya adalah immateri. Teks ayat Alquran menerangkan bahwa ruh itu cahaya (Qs. 42:52). Keduanya datang bersamaan, yaitu datang dari pada Allah. Kedua wujud ini berbeda pada fungsinya. Ruh berfungsi mengaktifkn atau nenghidupkan jasad. Ruh diizinkan berbuat dan berkuasa pada tubuh. Ruh dengan dzat atau rasa atau ni’mat yang dianugerahkan kepadanya berfungsi untuk menyempurnakan kejadian manusia (Qs. 32:9) dan bebas berbuat menikmati kekayaan Allah di permukaan ini (Qs. 2:79). Untuk mengukur baik-buruknya kekuasaan ruh berbuat pada dan dengan tubuh manusia tersebut, maka kepadanya dianugerahkan dzat atau rasa atau ni’mat yang memiliki sifat dasar jujur-baik-shiddiq. Dengan sifat dasarnya inilah dzat menjalankan fungsinya yaitu mencatat semua aktifitas ruh pada dan dengan tubuhnya. Apakah perbuatan ruh itu baik atau buruk semuanya tercatat sebagai catatan di dalam dada tanpa sedikitpun dibelokkan atau dimanipulasi dan tersimpan di dalam dada (Qs. 18:1, 29:49).

Supaya dzat ini efektif berfungsi maksimal bagi ruh, ruh diperintah mudik atau kembali ke tempat asalnya. Adapun tempat asal ruh ini adalah di sisi Allah. Adapun momen kembalinya ruh ke sisi Allah itu ialah pada sembahyang lima waktu. Pada sembahyang lima waktu inilah ruh diperintah mendirikan shalat sebagai wujud kembali ke sisi Allah (Qs. 2:44-46). Jadi kita yang mengerti tempat asal yang sejati mesti mengerti cara mudiknya ruh dengan benar, supaya tidak timpang dalam kehidupan.

Jadi mudik lebaran itu perumpamaan kerinduan ke kampung halaman di mana kita dilahirkan ke permukaan bumi dengan dan pada tubuh manusia. Namun rasa rindu ke kampung halaman jasadiyah itu juga harus kita buat yang sama terhadap kampung halaman sejati kita yaitu di sisi Allah dengan mengerti dan melaksanakan shalat yang benar pada sembahyang lima waktu dalam sehari semalam.

Mudik lebaran adalah pulkamnya jasadiyah. Sedangkan Shalat adalah mudiknya ruhani.

Penulis adalah Rektor IAIN Pontianak. 




Sambutan Rektor pada Kegiatan Rapat Kerja IAIN Pontianak

Assalamuálaikum Wr. Wb.,

Yang Terhormat,
1. Para Wakil Rektor, Dekan dan Direktur Pascasarjana;
2. Kepala Biro AUAK;
3. Ketua dan Sekretaris Senat;
4. Kepala dan Sekretaris Satuan Pengawas Internal (SPI);
5. Para Wakil Dekan dan Wakil Direktur Pascasarjana;
6. Para Ketua, Sekretaris dan Kepala Pusat pada Lembaga;
7. Para Kepala Pusat pada Unit Pelaksana Teknis;
8. Para Kabag dan para Kasubag;
9. Para Ketua Program Studi dan para Sekretaris Prodi;
10. Pantia Pelaksana Rapat Kerja dan semua yang hadir.

Kita banyak bersyukur kepada Allah dengan anugerah-Nya kita dapat hadir dan melaksanakan rapat kerja di tempat ini. Shalawat dan salam kita persembahkan ke hadapan ikutan kita Muhammad Rasulullah Saw, yang telah mengeluarkan umatnya dari kegelapan kepada yang terang benderang.
Tahun ini kita melaksanakan raker lebih awal di bandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Raker saat ini tepat mengiringi setelah selesainya Rapat Kerja Nasional Kementerian Agama RI yang dilaksanakan pada tanggal 23-25 Januari 2019. Maka kebijakan yang akan kita tetapkan sebagai landasan dan orientasi raker IAIN Pontianak adalah sebagai cermin dan followup atas hasil-hasil dan kebijkan yang diputuskan oleh rakenas Kemenag RI.
Rakernas Kemenag RI mengusung tema “MODERASI BERAGAMA UNTUK KEBERSAMAAN UMAT”. Menteri Agama RI memberikan titik fokus utama sebagai spirit program kerja 2019 yang disebut Tiga Matra yaitu, MODERASI, KEBERSAMAAN, dan INTEGRASI. Moderasi adalah Moderasi beragama, Kersamaan adalah Kebersamaan Umat, dan Integrasi adalah integrasi data. Tiga Mantra ini sebenarnya menjadi signifikansi apa yang tujuh bulan terakhir kita wacanakan dan kita wujudkan dalam stressing program kerja. Stressing program kerja ini nanti saudara harus ikuti dalam “TITIK FOKUS KEBIJAKAN PROGRAM 2019 dan ARAH KEBIJAKAN 2020”.
Pada sambutan pengantar ini saya ingin sampaikan sesuatu, yaitu sebagian arahan saya ini merupakan ekstraksi dari isi pengarahan Menteri Agama dalam sambutan penutupan Rakernas Kemenag RI. Di antaranya:

Pertama, kiranya ASN kemenag dalam bekerja menempatkan “cinta profesi di atas motivasi yang lain”. Jika berkaca kepada metode Tuhan dalam rangka memacu kebaikan pada umat manusia, setidaknya didapati metode seperti ini, ialah Tuhan bicara Siksa dan Pahala. Dalam beberapa teks Alquran memang kita temukan tugas kenabian itu ialah sebagai “basyîran wa nadzîran—sebagai pemberi kabar suka dan kabar takut”. Ini untuk karakter manusia yang memang harus dipaksa. Diancam dengan neraka dulu baru meninggalkan keburukan. Diiming-imingi surga dahulu baru berbuat kebaikan. Maqam manusia seperti ini memang tidak akan bekerja, tidak akan taat, dan tidak akan sukses jika tidak dipaksa dan diancam. Manusia jenis ini manusia pamrih. Tergolong manusia yang rendah derajatnya. Tetapi selain itu Tuhan juga bicara tentang cinta, ikhlas dan takwa. Metode ini tidak lagi dengan ancaman dan iming-iming. Ini untuk manusia yang sudah mengenal eksistensinya untuk apa dia ada di permukaan bumi. Manusia yang seperti ini telah ada pada maqam terhormat di mata Tuhan. Mereka bekerja karena cinta kepada takdir yang telah ditetapkan Tuhan. Konteks kita hari ini, kita telah ada dalam takdir sebagai ASN. LEBIH KHUSUS LAGI, hari ini kita telah berada dalam takdir sebagi pejabat ASN dan Pejabat di IAIN Pontianak. MAKA PILIHLAH DERAJAT ANDA SENDIRI.

Kedua, Aplikasikan pola kepemimpinan yang situasional. Selesaikan diri sendiri dulu. Ubahlah diri sendiri untuk modal mengubah orang lain. Ubah derajat orang pamrih di atas menuju derajat orang yang bekerja karena cinta disebabkan takdir Tuhan kepadanya. Saat ini perubahan dunia telah sangat-sangat cepat. Kebutuhan untuk mengadaptasi diri terhadap perubahan itu sangat tinggi. Berbagai persoalan akibat perubahan yang sangat cepat itu sangat kompleks. Kini dunia telah ada di genggaman sekepal tangan. Maka potensi kerusakan setiap peribadi-pun juga bersumber dari dalam segenggam tangan itu. Konteksnya kali ini kita harus sangat perduli dengan kompleksitas persoalan yang dihadapi dan dialami serta dilakoni oleh anak didik kita. Maka kali ini kita sangat tidak boleh hanya sibuk memikirkan diri kita sendiri sebagai pejabat. Sangat tidak boleh. Sebagai pemimpin kita harus menyadiri kemampuan sebagai pemimpin, yaitu :

1* Mampu mengidentifikasi masalah di lingkungan. Lakukanlah identifikasi persoalan yang ada pada diri kita sindiri dan yang ada di lingkungan tusi kita.

2*Mampu mencari jalan keluar. Sebagai pemimpin kita tidak cukup mengenali dan menemukan masalah. Tetpi tampillah sebagai problem solver. Sebaliknya kita sebgai pemimpin di tusi kita masing-masing bukan malah mejadi sebagai problem creator. Kita ditunjuk pimpinan kita untuk mengatasi masalah bukan untuk memperbanyak dan memperbesar masalah di sektor tusi kita. Mari kita sadari itu.

3*Hadir sebagai pemecah masalah yang baik. Gali/cari dan gunakan metode yang tepat dalam memecahkan masalah.

4*Lakukan semua itu atas dasar cinta. Kita mengidentifkasi masalah di lingkungan kita karena kita CINTA IAIN Pontianak kita. Juga karena sayang kepada pengampu masalah. Bukan karena like and dislike. Apalagi karena motif yang lebih parah daripada itu. Lakukan pembinaan dulu. Jangan pernah berfikir apalagi merencanakan pembinasaan. Ingat point 9 pilar kita tentang “Aman dan damai itu kami saling menasehati, menghormati dan menghargai dan Aman dan damai itu kami saling melindungi dan menyelamatkan”.

5*Landasilah semua dengan semangat ibadah. Dalami, resapi, opinikan, dan amalkan dengan setulus-tulusnya “MOTO KERJA”kita.
Ketiga, Jadilah opinion leader untuk IAIN Pontianak. Tidak cukup hanya sebagai pemangku jabatan. Tidak cukup hanya menulis ilmiah. Jadilah speak -up/speak out untuk IAIN kita. Yang paling efektif materi speek out itu by integraty and attitude. Tunjukkan dengan kesalehan akhlakul karimah. Contoh: kita faham regulasi. Pikirkanlah cara terbaik supaya regulasi sampai dan dipedomani kepada dan oleh sebanyak-banyaknya orang yang menjadi obyek dan subyek regulasi itu. Maka pikirkanlah cara penyampaian yang baik dan efektif. Gunakanlah leadership psychology dan sosial psikologi. Demikin juga untuk kebutuhan tentang eksistensi iain.

Okey??? be a great leader for our great campus. Ask what I have done and don’t ask what I will get. Plant rice so the grass will grow.

Wassalamuálaikum wr.wb.

Singkawang, 31 Januari 2019
Ttd

Rektor,

Dr. Syarif, S.Ag.,MA.




Presiden Jokowi Ingatkan Kampus Harus Tanggap Persoalan Masyarakat, Ini Komentar Rektor IAIN Pontianak

JAKARTA (iainptk.ac.id)—Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin bersama seluruh Rektor PTKN dan Kakanwil Kemenag se-Indonesia melakukan silaturrahmi dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, Jum’at (25/1) malam usai penutupan Rakernas Kementerian Agama.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin melaporkan peningkatan indeks kepuasan jemaah haji di Indonesia kepada Presiden Jokowi.

“Indeks kepuasan jema’ah haji Indonesia meningkat menjadi 85,23. Di samping itu, Kementerian Agama juga berkomitmen untuk membumikan moderasi beragama di kehidupan berbangsa” kata Menteri Agama di hadapan Presiden Jokowi.

Dalam sambutannya Presiden Jokowi mengingatkan tentang perubahan lanscape sosial, politik, ekonomi yang sangat pesat. Perguruan tinggi keagamaan tidak boleh lamban menyikapi perubahan ini. Perguruan tinggi keagamaan harus tanggap dengan mengurus prodi dan fakultas baru misalnya” tegas presiden.

Rektor IAIN Pontianak, Dr. Syarif turut hadir dalam pertemuan tersebut memberikan komentarnya.

“Di era pemerintahan sekarang ini kehidupan keagamaan sangat terjamin bahkan mendapat perhatian memadai seperti yang sering diungkap oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Maka harapan saya kiranya ini berjalan terus bahkan bisa lebih ditingkatkan peran pemerintah” harap rektor.

“Dalam hal merespon perubahan sosial kemasyarakatan, IAIN Pontianak siap memangku mandatori khususnya dalam hal moderasi beragama. Karena negara kita sangat heterogen, maka instrumen agama harus menjadi penyanggah utama untuk kokohnya NKRI. Kita siap bersikap dalam bentuk program nyata. Kita sudah punya Rumah Moderasi. Kita juga akan wujudkan penanaman kepahaman yang mendalam kepada para mahasiswa kita tentang wawasan kebangsaan. Kita akan perkuat kepahaman ke-Islaman mahasiswa kita melalui standarisasi kurikulum untuk mengembalikan ruh nilai keagamaan yang positif dan kondusif” jelas rektor bersemangat.

Penulis: Aspari Ismail
Editor: Aspari Ismail




Moderasi Beragama Spirit Rakernas Kemenag 2019

UKHUWAH ILAHIYAH
(Konsep Persaudaraan Lintas Komunitas Ikhtiar Untuk Moderasi Beragama)
Oleh: S y a r i f

Pada setiap zaman manusia dicatat oleh sejarahnya sebagai komunitas yang tidak pernah tidak berkonflik. Hanya saja para ahli di kalangan manusia kebanyakan hanyut dalam perbincangan fakta konflik itu sendiri. Pada saat yang sama sangat jarang perbincangan tersebut tembus kepada akarnya atau ushulnya. Oleh karena itu tidak jarang solusi yang ditawarkan pun tidak reliable sehingga tidak membuahkan hasil yang optimal. Invalidasi pemetaan masalah membuat solusi yang digagas dan dilakukan jadi tidak tepat. Mengapa pemetaan masalah dan solusi yang dilakukan manusia tidak akurat? Hal itu disebabkan “manusia tidak mengenal dirinya”. Mengapa manusia tidak mengenal dirinya? Karena manusia merasa tahu dan tidak bertanya kepada yang menciptakan manusia. Kalau boleh saya ibaratkan, tidak mungkin sebuah mobil yang sedang bermasalah dapat menyembuhkan dirinya sendiri. Pastinya mobil tersebut memerlukan subyek dan panduan atau tuntunan tentang mobil tersebut. Ibarat ini pasti disanggah dengan “iya kan mobil tidak berakal”. Ok, lalu manusia berakal, bisakah menemukan solusi yang akurat untuk masalahnya sendiri?
Di balik sekelumit ulasan dan pertanyaan-pertanyaan ini saya ingin mengungkapkan tentang urgensi ajaran agama yang subyek utamanya adalah Tuhan. Bahwa manusia tidak bisa menemukan solusi tanpa bimbingan Tuhan. Itu sebabnya Tuhan mengutus para rasulnya yang disebut “para auliya-anbiya” ke permukaan bumi. Menurut versi hadis Abu Dzar bahwa utusan Tuhan itu berjumlah “seratu duapuluh empt ribu tigaratus tigabelas”. Yang menakjubkan bahwa di antara jumlah tersebut tidak termasuk di dalamnya Aristoteles, Plato, Descartes, dan lain-lainnya dari para ahli fikir. Keterangan ini sebenarnya untuk menjelaskan bahwa Tuhan punya cara sendiri untuk menyampaikan solusi atas persoalan manusia. Artinya Tuhan tidak meminta bantuan pemikiran manusia untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi di kalangan manusia. Hanya saja manusia kebanyakan merasa bisa untuk menyelesaikan persoalannya. Akhirnya manusia tidak jarang hanya terjebak pada saling menyalahkan. Yang satu kelompok melihat kesalahan kelompok lain sebagai penyebabnya, begitu pun sebaliknya.

Akhir-akhir ini sangat marak fakta konflik horizontal antar sesama manusia, baik kita saksikan di dalam negeri ini maupun dan terlebih di luar negeri. Yang mengerikan konflik tersebut disertai dengan pembantaian-pembantaian. Kita lihat misalnya Israel-Palestina, konflik di syuriah, konflik Rohngiya, dan masih banyak lagi. Kemudian yang sangat menyesakkan dada bahwa konflik-konflik itu dinisbatkan kepada kebenaran yang diajarkan agama. Bahkan konflik politik dibawa atau dicarikan argumen ke dalam dan dengan nash-nash agama sebagai alat mobiltasnya. Sebenarnya semua orang tahu bahwa tidak ada agama yang mengajarkan seperti itu. Lalu lisenci siapa yang mengizinkan konflik itu dilegalkan dengan nash-nash agama. Nah, di sini kita bisa masukkan bahwa peran pemahaman agama yang utuh dan benar menjadi sangat urgen dalam meminimalisir atau bahkan menghilangkan konflik. Apa itu mungkin? Saya pikir sangat mungkin. Saat Muhammad Saw dirasulkan dengan Tubuh kenabiannya, bangsa Arab penuh konflik bahkan nyaris tidak ada penghargaan kepada eksistensi sesama manusia. Saat itu yang kaya disanjung, yang kuat berkuasa, yang miskin diinjak, dan perempuan tiada harganya. Penuturan sejarah memaparkan bahwa dalam masa kurang-lebih 23 tahun konflik dan kebiadaban itu bisa terkikis menjadi sosok pribadi-pribadi dan kelompok yang damai dan saling meninggikan derajat, saling menghormati, dan saling menyayangi.
Dalam suatu diskusi, saat saya ungkap contoh seperti di atas, ada yang nyeletuk” itu kan Rasulullah, tidak bisa diikut, tidak bisa kita wujudkan”. Saya berkata di dalam hati, kalau bukan Rasulullah yang kita ikuti caranya, lalu cara siap yang mau kita contoh? Ada satu hal yang tidak kita telusuri di balik kesuksesan Rasulullah Saw itu. Yaitu materi dan cara Rasulullah Saw mempersaudarakan orang-orang dan kelompok-kelompok yang keras berkonflik, ganas bersyahwat saling bunuh menjadi kelompok yang bersaudara dan saling berkasih sayang. Dari semula saling mengutamakan dan mengunggulkan sukunya menjadi komunitas yang mengedepankan persaudaraan. Sebenarnya apa sih yang materi yang disampaikan Rasulullah?
Saudara-saudara, sebatas pengetahuan yang saya dapat, ternyata Beliau Rasulullah Saw mengenal SATU hal saja, yaitu Beliau mengenalkan bahwa di dalam wujud jasmaniyah yang berbeda warna dan berbeda kelompok dan bangsa (syu’uuban wa qabaailan) itu ada SATU WUJUD yang sama-sama datang dari Tuhan. Apa pun warna kulit jasmaniyahnya, apa pun nama suku-bangsanya, kepada mereka masing-masing DITIUPKAN SATU WUJUD RUH (Qs. Al-Sajadah/32:9) pada saat umur jasad atau jasmaniyah 4 bulan 10 hari (fii arba’ati asyhurin wa ‘asyraa) di dalam kandungan ibu. Ketika Ruh ditiupkan belum ada suku-bangsa dan agamanya (jika dikonfirm ke hukum fiqh ditemukan dalam bahasan hukum takliif. Satiap diri Ruh tidak pernah minta DILAHIRKAN di tubuh berwarna apa, pada kalangan suku-bangsa apa, dan pada komunitas agama apa. Artinya setiap diri Ruh menjalankan qadar atau ketetapan Tuhannya yang kemudian dikenal dengan sebutan “taqdirnya” dengan KEHENDAK Tuhannya.

Di sini, dapat kita jadikan materi penyejuk atau bahkan penahan terhadap sikap keras dan perilaku caci maki. Bukankah Ruh itu menjalankan takdirnya hinggap di sebuah tubuh? Mengapa Ruh itu yang disalahkan dan dicaci-maki. Mengapa tidak menyalahkan Allah atau bahkan mungkin mencaci-Nya karena telah meniupkan Ruh ke dalam komunitas TUBUH yang kebetulan dipandang sebagai kelompok yang tidak beriman kepada Allah. Kesadaran inilah yang dipupuk oleh Rasulullah Saw.
Selanjutnya disebut Beliau selama 13 tahun di Makkah mengajarkan iman. Sesungguhnya beliau mengajarkan iman bukan mengajarkan dengan menyuruh orang Arab menghafal definisi iman seperti yang kita lakukan di kampus-kampus. Tetapi Beliau mengenalkan SOSOK atau WUJUD iman itu apa. Kata “ايمان” adalah bantuk ism mashdar. Jika ia ism maka itu artinya “kata benda”. Jika ia kata benda, maka ia harus ada bendanya atau wujudnya. Jadi Beliau mengajarkan iman bukan mengajarkan definisi karena Beliau bukan epistemolog. Bahkan Beliau dengan tubuh kenabiannya dikenal dengan sosok yang tidak kenal baca tulis (Qs. Al-‘Ankabuut/29:48). Lalu apa bentuk pengajaran Beliau tentang iman itu?
ايمان itu artinya kepercayaan. Ia bukan wujud abstrak kalau difahami dengan wujudnya atau adanya. Tetapi îmâm akan menjadi abstark jika difahami dengan definisi secara epistemic. Bagaimana memahami îmân dengan mengenal wujudnya? Saya sampaikan dulu ibarat atau umpama. Misalnya seorang staf khusus Menteri itu adalah orang kepercayaan Menteri. Orang kepercayaan itu adalah sosok yang sipercaya oleh Menteri untuk mengurus urusan tertentu. Jadi kata “kepercayaan” di sini bukan adalah menunjuk sosok seseorang yang dieprcaya atau seseorang yang mengemban tugas yang dipercayakan kepadanya.

Sesungguhnya îmân dalam hal ini adalah sosok atau wujud yang dipercaya oleh Allah. Atau ia adalah wujud sosok yang dipercaya oleh Allah untuk mengemban tugas dipermukaan bumi ini. Maka îmân itu ialah sosok yang aktif. Sesungguhnya ia adalah sosok atau wujud yang dari Tuhan.
Untuk mengenal diri yang datang dari Tunan ini kita harus mengenal unsur apa saja yang ada pada kita ini. Tanpa memerlukan referensi yang jelimet sebenarnya kita dapat mengenal ada unsur jasmaniyah dan ruhaniyah. Unsur jasmaniyah ini kita temukan istilahnya dalam Alquran sebagai jasad. Alquran bercerita bahwa unsur jasad ini dijadikan dari saripati tanah yang tersaring (Qs. Al-Mu’minun/23:12), menjadi saripti air yang hina (Qs. Al-Sajadah/32:8), yang dikeluarkan daei tulang sulbi dan tulang dada (Qs. Al-Thariq/86:5-7). Bahan ini dijadikan di dalam rahim (Qs. Ali Imran/3:6). Jadi berdasar info Alquran ini jasad manusia tidak dinadikan dari tanah. Yang dari tanah itu adalah awal mula Allah menjadikan manusia dari tanah (Qs. Al-Sajad/32:7), itu tubuh Adam. Sedang anak cucu atau keturunannya (naslahuu) dari saripati air yang hina tadi.

Setelah mengenal unsur-unsur jasadiyah di atas Alquran memberitakan ada unsur ruhiyah. Yaitu “untuk menyempurnakan kejadian manusia Allah meniupkan ruh di dalamnya… (Qs. Al-Sajadah/32:9)”. Bagaimana membedakan dan meyakinkan adanya dua unsur ini? Menurut Qs. Al-Sajadah/32:9 ini bahwa yang melihat, mendengar, dan yang merasa itu adalah Ruh, karena kepada Ruh ini dianugerahkan pendengaran, penglihatan, dan rasa. Maka disebutlah Ruh ini yang aktif atau yang subyek mengamtifkan organ-organ pda tubuh. Bagaimana untuk membuktikan bahwa Run inilah yang subyek atau yang aktif? Kita perhatikan Qs. Al-Zumar/39:42, bahwa Allah mewafat/menggenggam/menahan diri atau Ruh saat kematian atau saat tidur. Artinya pada saat kematian atau pada saat tidur Ruh itu tidak ada pada tubuh karena ditahan oleh Allah. Lalu? Nah perhatikan tubuh yang ditinggalkan Ruh baik karena kematian atau karena tidur. Pada tubuh tersebut ada telinga dan mata tapi tidak bisa mendengar dan melihat. Juga ada sekijur tubuh tapi tidak bisa merasa. Mengapa? Karena Ruh yang kepadanya dianugerahkan kepada pendengar (bukan telinga), penglihatan (bukan mata), dan rasa sedang tidak ada di tubuh.
Nah, sesungguhnya Ruh itulah wujud yang datang dari Tuhan, dan Ruh itulah yang sosok yang dioercaya oleh Tuhan untuk mengaktifkn tubuh. Ruh itulah yang dipercaya Tuhan untuk menikmati segala apa yang ada di peemukaan bumi ini (Qs. Al-Baqarah/2:29). Ruh itulah sesungguhnya wujud atau sosok sang îmân atau sang kepercayaan atau yang dipercaya Tuhan itu.

Apa hubungan semu uraian ini dengan ukhuwah ilahiyah? Ukhuwah ilahiyah yang saya maksud adalah persaudaraan wujud yang sama-sama datang dari Tuhan. Di atas telah saya utaikan tentang wujud yang datang dari Tuhan, yaitu Ruh. Ia didatangkan ke dalam tubuh belum mengenal suku-bangsa dan agama. Bahkan Ruh itu tidak minta didatangkan kepada tubuh siapa ia ditiupkan. Juga Ruh tidak minta ke komunitas agama dan suku-bangsa apa ia ditugaskam. Kehendak Tuhanlah yang menetapkan kapan, di mana, dan kepada tubuh yang mana sang Ruh itu ditiupkan dan silahirkan. Para Ruh itu satu jenisnya yaitu cahaya (Qs. Al-Syûrâ/42:52). Para Ruh itu adalah satu asalnya atau sumbernya Tuhan. Maka para Ruh inilah yang beesaudara seasal yaitu Tuhan. Atau Ruh ini wujud se-Tuhan atau se-satu Tuhan. Inilah yang saya maksud dengan ukhuwah ilâhiyah atau persaudaraan se-Tuhan.

Materi inilah yang diajarkan oleh Rasulullah Saw, Bahwa Ruh itu bersaudara. Konsep Ruh bersaudara ini yang dapat mengabaikan eksiatensi warna kulit, suku-bangsa, dan agama. Seperti yang kita ketahui bersama, misalnya di Indonesia begitu beragamnya suku dan agama. Menurut saya dengan konsep persaudaraan seperti ini bangsa Indonesia pasti sangat kuat. Krena dengan konsep seperti ini seseorang akan merasa bersaudara walaupun eksistensinya berbeda warna kulit, suku-bangsa, dan agama. Sebab keberadaannya di warna kulit yang dihuninya, di komununitas suku-bangsa dan agamanya tidak pernah dipesan. Dengan konsep ini kita dengan mudah memahami mengapa Allah mengajarkan bahwa “membunuh satu orang same dengan membunuh manusia seluruhnya…Qs. Al-Maidah/5:32)”.

Sebenarnya inilah yang dimaksud oleh Qs. Al-Hukurat/49:10, bahwa sesungguhnya mukmin itu bersaudara. Dalam kajian sifistik hikmah, mukmin itu nama Ruh. Teks ayat ini menunjuk kepada persaudaraan se-Tuhan atau sesama Ruh yang sama-sama datang atau ditiupkan dari Tuhan—ukhuwwah ilâhiyah Sedangkan saudara dalam satu agama atau saudara se-agama disebut ikhwânu fi al-dîn (Qs. Al-Taubah/9:11). Sebenarnya Alquran tidak menyediakan terminologi tentang ukhuwah basyariah, juga ukhuwah insâniyah.
Jadi, saya berpendapat bahwa penanaman pemahaman persaudaraan se-Tuhan ini dapat menangkal faham terorisme yang kemudian bisa mereduksi tindakan teror. Tetapi awas, konsep persaudaraan yang uraikan di atas sama sekali tidak sama dengan menyama-ratakan gama, atau menyamakan agama, tidak. Tetapi kita tidak menemukan setitik argumentasi pun bahwa karena berbeda agama lalu kita harus saling membenci apalagi saling membunuh. Muhammad Rasulullah Saw sukses bukan karena ajaran kebencian. Kalo bicara perbedaan agama dan teror pada zaman Rasulullah Saw sangat tajam. Sejarah menuturkan bagaimana pihak yang tidak setuju dangan agama yang diajarkan Muhammas Saw mengintimidasi Beliau. Tetapi Beliau tidak membalasnya dengan kebencian dan teror. Beliau konsisten mengajarkan persaudaraan mukmin atau ruh. Akhirnya Beliau berhasil mempersaudarakan antar suku yang semula sangat keras. Bahkan Beliau berhasil mepersaudarakan antar penduduk Madinah yang berbeda agama. Juga Beliau berhasil mempersaudarakan antar bangsa. Inilah inti dari satu-satunya misi Beliau “innamâ bu’itstu limakârimi al-akhlâq”.




Bangkitnya Konseling Berbasis Agama: Jalan untuk Menapaki Perwujudan Generasi Emas 2045

 orasi ilmiah

Oleh: Dr. M. Edi Kurnanto, M.Pd

Orasi Ilmiah, Disampaikan pada Acara Yudisium Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK)

Edi Kurnanto
Dr. M. Edi Kurnanto, M.Pd

2 Juni 2015, Mengawali orasi ilmiah saya ini, saya mengucapkan selamat kepada para calon wisudawan dan wisudawati Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Pontianak tahun 2014/2015, yang hari ini mengikuti acara Yudisium sebagai tanda telah menyelesaikan Program Pendidikan Strata Satu (S1) di Fakultas ini. Sebagai generasi penerus bangsa, sekaligus calon-calon pemimpin masa depan, kami semua berharap kiranya ilmu pengetahuan yang didapat selama menempuh pendidikan di IAIN ini, dapat menjadi bekal dan sumber inspirasi serta motivasi dalam mendarmabhaktikan diri pada keluarga, masyarakat, bangsa, negara dan agama.

Selanjutnya, saya mengucapkan terima kasih kepada Panitia Yudisium dan seluruh Civitas Akademika FTIK IAIN Pontianak, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menyampaikan Orasi Ilmiah dalam acara ini. Adapun tema Orasi saya kali ini adalah: BANGKITNYA KONSELING BERBASIS AGAMA: Jalan untuk Menapaki Perwujudan Generasi Emas 2045.

Saat ini, perkembangan ilmu pengetahuan di bidang pendidikan berjalan begitu cepatnya, termasuk di dalamnya adalah ilmu bimbingan dan konseling, sebagai salah satu cabang ilmu pendidikan, karena bimbingan dan konseling adalah layanan psikopedagogik, yaitu layanan psikologis dalam suasana pedagogis (Kartadinata, 2010: 157). Sebagai wujud dari perkembangan tersebut, dewasa ini konstruk ilmu Bimbingan dan Konseling telah mengalami kemajuan yang pesat, yaitu mulai dari masa awal berkembangnya aliran bimbingan dan konseling psikodinamika, dilanjutkan oleh aliran behaviorisme, diperbaharuhi oleh aliran humanisme dan multikultural, dan puncaknya akhir-akhir ini, tengah berkembang bimbingan dan konseling spiritual sebagai kekuatan kelima. Salah satu bentuk perwujudan layanan bimbingan dan konseling spiritual ini adalah berkembangnya bimbingan dan konseling religius, suatu era baru tentang pemahaman terhadap individu dan bagaimana membuka misteri tentang penyembuhan psikologis melalui keimanan, imajinasi dan ritual, selain melalui penjelasan secara rasional.

Selama ini telah menjadi keyakinan, bahwa tujuan bimbingan dan konseling adalah untuk memfasilitasi individu mencapai perkembangan optimal (Muro dan Kottman, 1995, ABKIN, 2008). Bila dikaitkan dengan Sistem Pendidikan Nasional Indonesia, tujuan tersebut mengacu kepada tujuan pendidikan nasional (UU Sisdiknas, 2003). Berdasarkan tujuan tersebut, para pakar mengembangkan model-model bimbingan dan konseling dengan landasan filosofis tertentu (Corey, 2005). Akan tetapi, model-model tersebut memiliki sejumlah keterbatasan sehingga hasil bimbingannya hanya bersifat “kulit luar saja” (Sutoyo, 2009: 4).

Aliran Psikodinamik terlalu pesimistik, deterministik, dan reduksionis dalam memandang manusia (Corey, 1985: 15; Dahlan, 1988: 15); Behaviorisme terlalu berani dalam menganalogikan manusia dengan binatang, terlalu menekankan aspek lingkungan dan kurang menghargai potensi manusia (Dahlan, 1988: 16). Humanisme terlalu optimistik, terlalu mendewakan manusia (Dahlan, 1988: 22). Sementara, pendekatan multikultural terlalu mengagungkan peran budaya dalam membingkai kehidupan manusia (Ridwan, 2014).

Berangkat dari fenomena dan penilaian di atas, kini timbul pertanyaan: model manusia bagaimana yang diinginkan setelah konseli mampu menyelesaikan masalah-nya? Pertanyaan tersebut sangat penting, karena model manusia yang diinginkan menjadi rujukan semua upaya bimbingan dan konseling, baik di lingkungan sekolah maupun konseling dalam setting kemasyarakatan. Bisa jadi pula, dengan tidak adanya pegangan, lahirlah orang-orang pintar tapi tak benar: pintar karena mengutamakan akal, tak benar karena menyingkirkan hati (Frager, 2002: 62; Ridwan, 2014: 4). Bila hati disingkirkan, pintu untuk mengenal Tuhan jadi tertutup (al-Ghazali, 2002b: 225; Hawwa, 1995: 112; Shihab, 2011: 151). Padahal, kurikulum pendidikan 2013 (walaupun saat ini ditunda penerapannya), telah mengamanatkan bahwa tahun 2045, tepat seratus tahun kemerdekaan negera kita yang tercinta ini, kita harus mampu mewujudkan generasi emas, yaitu generasi yang dibentuk dengan berlandaskan pada tujuan utuh pendidikan nasional (Kartadinata, 2013). Oleh para pakar, tujuan utuh tersebut dituangkan ke dalam empat gugus utama, yakni sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan dan keterampilan (Supriatna, 2014a), sehingga generasi emas yang dimaksud bercirikan: produktif, kreatif, inovatif dan afektif (Supriatna, 2014b). Sementara itu, kekhawatirannya adalah, bahwa pada  sikap spiritual dan ranah afektif bangsa kita pada umumnya, dan generasi muda pada khususnya sedang mengalami masalah serius, yaitu merajalelanya dekadensi moral (Ridwan, 2014).

Pemerintah dan Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia sebenarnya telah melakukan perbaikan-perbaikan. Kelemahan pendekatan klinis dalam empat kekuatan aliran bimbingan dan konseling diperbaiki dengan konsep bimbingan dan konseling berbasis tugas-tugas perkembang-an, atau yang lebih dikenal dengan bimbingan dan konseling komprehensif (Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 194). Dikatakan bahwa, bimbingan dan konseling komprehensif didasarkan pada upaya pencapaian tugas perkembangan, pengembangan potensi dan pengentasan masalah. Bila konsep ini dianalisis lebih jauh, menurut Ridwan, (2014: 5) model manusia yang dikehendaki adalah manusia multikultur. Karena, bila tugas-tugas perkembangan dikaitkan dengan bangsa Indonesia yang religius, maka model ini akan mengadopsi tugas-tugas perkembangan individu dalam Islam, dalam Katholik, Kristen, Hindu, Budha dan seterusnya. Model  ini adalah model manusia berbasis ilmu pengetahuan yang dikaitkan dengan agama, yakni dari ilmu pengetahuan dibawa ke dalam agama.

Dengan mengadopsi cara berfikir: bahwa manusia yang paripurna adalah manusia yang Islami (al-insān al-kamīl), sepuluh tahun terakhir ini, telah lahir beberapa model bimbingan dan konseling berbasis agama Islam.

  1. Anwar Sutoyo (2006) menghasilkan model konseling Qur’anik untuk mewujudkan manusia kãffah (utuh) pada mahasiswa. Model yang dihasilkan dari riset disertasi ini, telah terbukti mampu meningkatkan kualitas “manusia kaffah” pada mahasiswa di Universitas Negeri Semarang yang menjadi obyek treatmen model ini.
  2. Uman Suherman AS (2006) menghasilkan Pendekatan Konseling Qur’ani untuk Mengembangkan Keterampil-an Hubungan Sosial. Penelitian ini menghasilkan sebuah Model Konseling Qur’ani yang dapat digunakan dalam upaya pengembangan keterampilan hubungan sosial pada kalangan santri di Pesantren Persatuan Islam 99 Rancabango Kabupaten Garut.
  3. Ahmad Waki (2013) mengembangkan Model Bimbingan Berdasarkan Teori Transformasi Ruhani Ibn Qayyim Al-Jauziah untuk Meningkatkan Karakter Muthmainah pada Penelitian ini menghasilkan model bimbingan yang telah teruji secara empirik, efektif untuk meningkatkan karakter muthmainah pada kalangan mahasiswa di Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
  4. Ridwan (2014) mengembangkan Model Bimbingan Berlandaskan Neo-Sufisme untuk Mengembangkan Perilaku Arif pada Mahasiswa. Model yang dikembangkan dengan Pemaduan Pendekatan Idiografik dan Nomotetik ini telah diujicobakan pada mahasiswa di STAI Hamzawadi, Lombok Tomur, Nusa Tenggara Barat.

Melanjutkan empat temuan penelitian di atas, juga sebagai upaya untuk ikut andil dalam pengembangan generasi emas 2045, sebagaimana diamanatkan dalam kurikulum 2013, saya telah mengembangkan sebuah Model Bimbingan dan Konseling Berbasis Surah Al-Fātiḥah untuk Meningkatkan Religusitas Siswa (Model BBSA). Model ini saya kembangkan dalam rangka penyelesian Program Doktor saya di Program Studi Bimbingan dan Konseling, Sekolah Pascasarjana Uiversitas Pendidikan Indonesia Bandung.

Model Bimbingan Berbasis Surat Al-Fātiḥah untuk Meningkatkan Religiusitas Siswa dimaknai sebagai suatu pola atau acuan bimbingan yang digunakan untuk meningkatkan religiusitas siswa yang diturunkan dari teori religiusitas dalam Islam (Ancok dqn Suroso, 2011) dan kontekastualisasi ayat demi ayat dalam surat Al-Fātiḥah. Asumsi dasar model ini meyakini bahwa keberagamaan atau religiusitas siswa merupakan kondisi yang dapat naik dan turun. Karena itu, harus ada upaya bimbingan agar siswa tetap berada dalam kondisi religiusitas yang baik.

Karena dikembangkan dari surat Al-Fātiḥah, semua unsur layanan, mulai dari landaan filosofis, tujuan bimbingan, materi bimbingan, prosedur bimbingan, kompetensi konselor dan evaluasi serta indikator keberhasilan layanan, semuanya diekstraksi dan hasil kontekstualisasi dari surat Al-Fātiḥah, dalam hal ini saya menggunakan istilah B5KB dalam The Seven Islamic Daily Habits-nya Dr. Harjani Hefni, MA.

Hal yang menjadi alasan mengapa saya mengangkat Al-Fātiḥah sebagai landasan pengembangan Model BBSA, adalah  dengan alasan keluasan cakupan surah al-Fātiḥah yang melingkupi seluruh isi al-Qur’ān (Shihab, 2010: 8; Ibn Katsir (Ar-Riva’I (2011) yang karenanya juga mencakup tiga dimensi religiusitas Islam (akidah, ibadah dan akhlak). Penggunaan Al-Fātiḥah sebagai landasan dasar pengembang-an model ini juga karena keagungan surah al-Fātiḥah (Shihab: 2010: 4; Hefni: 2013: xxxiii-xxxiv; Azis, 2012: 7). Selain itu, al-Fātiḥah selalu menawarkan nilai yang akan selalu segar dalam pribadi setiap muslim, karena menurut Hefni (2013: xxxv) al-Fātiḥah secara otomatis memberikan layanan isi ulang nilai (value auto recharging). Layanan isi ulang nilai ini dilakukan minimal 17 kali sehari semalam dengan format 2+4+4+3+4, yaitu di setiap raka’at shalat wajib yang kita lakukan.

Pada kesempatan ini saya bukan bermaksud untuk menjelaskan keseluruhan dari model yang saya kembangkan. Saya ingin mengatakan, bahwa peluang dan tantangan saat ini telah menanti di hadapan kita. Kita punya peluang karena, mainstream ilmu psikologi dan bimbingan konseling saat ini sedang “bergelayut” menuju ke arah dunia kita, yaitu spiritual keagamaan. Bukankah Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional kita, UU No. 20 tahun 2003 telah mengamanatkan bahwa Pendidikan harus diarahkan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampil-an yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Menurut hemat saya, rasanya mustahil kita mampu mengarahkan peserta didik kita untuk mencapai tujuan tersebut, khususnya yang terkait dengan pengembangan kompetensi spiritual keagamaan dan akhlak mulia, manakala cara yang kita gunakan bukan merupakan jalan spiritual keagamaan dan tatanan yang menopang akhlak karimah. Untuk itu, kita harus segera menyambut amanat itu dengan aksi yang menjadi kewenangan kita, yaitu menyelenggarakan pendidikan tinggi. Yang saya maksudkan adalah, kita harus segera mewujudkan pendirian program studi Bimbingan dan Konseling (Pendidikan) Islam di Fakultas ini, karena sejatinya, secara yuridis formal, konselor itu adalah pendidik. Hal ini sebagaimana tertuang dalam bab 1 pasal 1 ayat 6 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, yang menyebutkan: “Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggara-kan pendidikan. Sedangkan sebutan konselor sebagaimana dijelaskan dalam Permendiknas No. 27 tahun 2008 tentang Standar Kompetensi Konselor Indonesia: “Konselor adalah tenaga pendidik profesional yang telah menyelesaikan pendidikan akademik strata satu (S-1) program studi Bimbingan dan Konseling dan program Pendidikan Profesi Konselor dari perguruan tinggi penyelenggara program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi”. Dengan mengacu pada aturan tersebut, jelas bahwa konselor adalah pendidik profesional, sementara pendidik adalah tenaga kependidikan yang dihasilkan oleh perguruan tinggi penyelenggara program pengadaan tenaga kependidikan, dalam hal ini adalah fakultas, jurusan atau program studi yang membidangi ilmu pendidikan.

Perkembangan terbaru terkait dengan layanan bimbingan konseling di sekolah, bahwa pemerintah telah menerbitkan Permendiknas No. 111 tahun 2014 tentang Bimbingan dan Konseling di Sekolah, di mana di dalamnya menyebutkan bahwa sekarang sudah terjadi perluasan layanan bimbingan dan konseling, yaitu yang dulunya hanya mencakup jenjang pendidikan SMP/MTs dan SMA/MA, berdasarkan Permendikbud ini layanan konseling sudah diwajibkan pada jenjang pendidikan dasar (SD/MI). Dengan demikian, semakin terbuka lebar peluang kerja bagi alumni program studi atau Jurusan Bimbingan dan Konseling (Pendidikan) Islam.

Saat ini Fakultas kita sudah meyelenggaran empat jurusan, yaitu Pendidikan Agama Islam (PAI), Pendidikan Bahasan Arab (PBA), Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyyah (PGMI) dan Pendidikan Guru Raudhatul Athfal (PGRA). Saya yakin bahwa semua jurusan tersebut, akan menjadi jalan buat kita untuk mendukung terbentuknya Generasi Emas 2045 sebagaimana menjadi amanat KURTILAS. Karena semua jurusan yang kita selenggarakan, semuanya memberikan bekal ilmu keagamaan yang representatif untuk menjadikan para alumni kita menjadi agen pembelajaran penyokong perwujudan cita-cita generasi emas 2045. Akan tetapi, penyelenggaraan pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang tidak saja dilakukan oleh guru sebagai agen pembelajaran yang mendidik, akan tetapi juga ada wilayah kerja bimbingan dan konseling yang memandirikan. Dan semuanya itu, menurut hemat saya, harus dilakukan dalam kerangka dan berbasis pada nilai-nilai dan ajaran agama Islam. Dan itu, semakin lengkap jika kita memiliki Jurusan Bimbingan dan Konseling (Pendidikan) Islam.

Bapak Rektor, Ibu Dekan dan civitas akademika FITIK serta para tamu undangan dan calon wisudawan yang berbahagia. Demikian yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang mulia ini. terima kasih atas segala perhatian, dan mohon maaf jika ada hal-hal yang tidak berkenan.

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.

Pontianak, 2 Juni 2015

 

 DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, A.H.M. (2002b). “Kompas Pengembaraan Spiritual.” Dalam Samudera Pemikiran al-Gazali. Alih bahasa Kamran As’ad Irsyadi. Yogyakarta: Pustaka Sufi

Al-Jauziyyah, I.Q. (2003). Penawar Hati yang Sakit (Al-Jawabul kafi Liman Saala’Anid Dawaaisy-Syafi). Penerjemah Ahmad Turmudzi. Jakarta: Gema Insani

Al-Jauziyyah, I.Q. (1999). Madarijus Salikin (Pendakian Menuju Allah). Penerjemah Kathur Suhardi. Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar

Al-Jauziyyah, I.Q. (2005). Manajemen Qalbu Melumpuhkan Senjata Setan. Penerjemah Ainul Haris Umar Arifin Thayyib. Jakarta: Darul Falah

Al-Kalabadzi, A.B.M. (2007). Ajaran-ajaran Sufi. Penerjemah Nasir Yusuf. Bandung: Pustaka

 Al-Khumaini, I.R.M. (2006). Shalat Ahli Makrifat. Penerjemah Irwan Kuniawan. Bandung: Pustaka Hidayah

Ancok, D. dan Suroso. (2011). Psikologi Islami, Solusi Islam atas Problem-problem psikologi. Cet. VIII. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dahlan, M.D. (1988). Posisi Bimbingan dan Penyuluhan Pendidikan dalam Kerangka Ilmu Pendidikan. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Bandung. Ikip Bandung. 9 April 1988

Dahlan, M.D. (2003), Presfektif Filosofis-Religius dalam Pengembangan Profesi Bimbingan dan Konseling. Dalam kumpulan makalah utama Konvensi Nasional XIII Bimbingan dan Konseling.

Frager, R. (2002). Hati, Diri dan Jiwa, Psikologi Sufi untuk Transformasi. Penerjemah Hasmiyah Rauf. Jakarta: Serambi

Hawwa, S. (1995). Jalan Ruhani Bimbingan Tasawuf untuk Para Aktivis Islam. Penerjemah Khairul Rafie M., dan Ibnu Thaha Ali. Bandung: Penerbit Mizan

Hefni, H. (2013). The 7 Islamic Daily Habits. Jakarta: Pustaka Ikadi.

Ibnu Katsir, A.F.I. (2000). Tafsir Ibn Katsir, Juz I A, Al-Fātiḥah dan Al-Baqarah. Cet.I. Terjm. Bahrun Abu Bakar, dkk. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Kartadinata, S. (2010) Isu-Isu Pendidikan, antara Harapan dan Kenyataan. Bandung: UPI Press

Kartadinata, S. (2011). Menguak Tabir Bimbingan dan Konseling sebagai Upaya Pedagogis. Kiat Mendidik sebagai Landasan Profesional Tindakan Konselor. Bandung: Penerbit UPI Press.

Kartadinata, S. (2013). Kerangka Pikir Pemberdayaan Bimbingan dan Konseling dalam Implementasi Kurikulum 2013: Sebuah Proposal Kebijakan. PPT Bahan Seminar Implementasi Bimbingan dan Konseling dalam Kurikulum 2013. UPI Bandung.

Kartadinata, S. (2014). Politik Jati Diri Bangsa, Telaah Filosofis dan Praksis Pendidikan bagi Penguatan Jati Diri Bangsa. Bandung: UPI Press.

Kemendikbud. (2013). Panduan Pelayanan Bimbingan dan Konseling Arah Peminatan Siswa. Sumer: Shoftcopy dari Prof. Sunaryo Kartadinata.

Kemendikbud. (2013). Kurikulum 2013 dan Tantangan Zaman Generasi Emas. Bahan Diskusi Publik Kurikulum 2013 Fraksi Golkar DPR RI.

Kurnanto, M.E. (2010). Bimbingan dan Konseling Islami, Mengangkat Nilai-nilai Bimbingan dan Konseling dalam Al-Quran. Pontianak: STAIN Pontianak Press.

Shihab, M.Q. (1998). Wawasan AI-Qur`an. Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.

Shihab, M.Q. (2010). Tafsir al-Mishbāh. Volume ke-1. Cet. III. Jakarta: Lentera Hati.

Suherman, U. (2006). Pendekatan Konseling Qur’ani untuk Mengembangkan Keterampilan Hubungan Sosial. Disertasi. Sekolah Pascasarjana UPI Bandung, tidak diterbitkan.

Supriatna, M. (2010). Model Konseling Aktualisasi Diri untuk Mengembangkan Kecakapan Pribadi Mahasiswa. Disertasi. Sekolah Pascasarjana UPI Bandung, tidak diterbitkan.

Supriatna, M. (2014a). “Sinergi Arah Peminatan pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (Ikhtiar Implementasi Kurikulum 2013 dalam Bimbingan dan Konseling)”. Makalah. Disajikan dalam Forum Seminar ABKIN dan MGBK  Kabupaten Kuningan dan Wilayah Tiga Cirebon, 4 Maret 2014

Supriatna, M. (2014b). “Problematika Bimbingan dan Konseling sebagai Praktik Pendidikan di Sekolah (Sebuah Telaah Kurikulum 2013)”. Makalah. Disajikan dalam Forum Seminar Nasional Pendidikan Bimbingan dan Konseling Universitas Nahdlatul Ulama Cirebon, 16 Januari 2014

Sutoyo, A. (2006). Pengembangan Model Konseling Qurani untuk Mewujudkan Manusia Kaffah. Disertasi. Sekolah Pascasarjana UPI Bandung, tidak diterbitkan.

Sutoyo, A. (2010). Bimbingan dan Konseling Islami, Teori dan Praktik. Semarang: Widya Karya.

Waki, A. (2013). Model Bimbingan Berdasarkan Teori Transformasi Ibn Qayyim untuk Meningkatkan Karakter Muthmainah Mahasiswa. Disertasi. Sekolah Pascasarjana UPI Bandung, tidak diterbitkan.

RIWAYAT HIDUP PENULIS

MUHAMMAD EDI KURNANTO, Lahir tanggal 5 September 1973 di Desa Gegeran Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo Jawa Timur. Anak kelima dari enam bersaudara pasangan Bapak Kartubi bin Tukijan (alm) dan Ibu Bibit binti Sonokarso. Sejak kecil diasuh oleh pamannya, Bapak Sakat bin Tukijan dan Ibu Katiyem bintI Sodikromo. Sejak tahun 1982 hijrah ke Kalimantan Barat bersama orangtua (Paman) yang mengikuti Program Transmigrasi di SP. II Kecamatan Mukok Kabupaten Sanggau. Karena di tempat yang baru belum ada sekolah, hingga terpaksa harus berhenti sekolah selama satu tahun.

Keluarga: Dari hasil perkawinannya dengan Mawar, S.Ag, kini telah dikaruniai dua orang putri: Karima Nada Medina (2000, Kelas IX, MTsN 1 Pontianak) dan Zhafira Azka Medina (2003, Kelas VI MIS Al-Ikhwah Pontianak).

Pendidikan yang pernah dilalui: (1) Sekolah Dasar Negeri 2 Gegeran, Kec. Sukorejo, Kab. Ponorogo Jawa Timur (Kelas 1-2); SDN Transmigrasi SP II Kecamatan Mukok Kab. Sanggau Kalimantan Barat, tamat tahun 1987. (2) Melanjutkan sekolah di SMP Negeri Kedukul (sekarang SMP Negeri I Mukok) tamat tahun 1990. (3) SMA Negeri 4 Pontianak tamat tahun 1993. (4) Menamatkan S1 pada Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Jurusan Tarbiyah, STAIN Pontianak pada tahun 1998 (kini IAIN Pontianak). (5) Menyelesaikan studi Magister Pendidikan (M.Pd) Program Studi Bimbingan dan Konseling dengan Konsentrasi Pendidikan Anak Usia Dini di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung yang ditempuhnya dalam waktu 1 tahun 10 bulan dengan yudisium Cumlaude tahun 2006. (6) Memperoleh Gelar Doktor pada Program Studi Bimbingan dan Konseling, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung Januari 2015.

Pengalaman Kerja: Sejak tamat S1 tahun 1998 mengabdikan diri mengajar di almamaternya. Tahun 2000 diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil dan ditempatkan di Jurusan Tarbiyah dengan mengajar Ilmu Kalam. Tahun 2007, setelah menamatkan pendidikan Magister Bidang Bimbingan dan Konseling, dipindahkan ke Juruan Dakwah, Program Studi Bimbingan dan Konseling Islam (BKI). Tahun 2014 ditarik kembali menjadi Dosen FTIK IAIN Pontianak, pada Jurusan PGRA.

Penelitian yang pernah dilakukan: (1) Pengembangan Program Bimbingan untuk Mengembangkan Multiple Intelligences Anak TK melalui Kegiatan Bermain (2006), (2) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Dosen STAIN Pontianak (2007), (3) Penerapan Pembelajaran Berbasis Minat untuk Meningkatkan Kecerdasan Jamak (Multiple Intelligences) Anak Taman Kanak-kanak: Studi pada Taman Kanak-kanak (TK) Negeri Pembina Kota Pontianak (2007), (4) Penerapan Teknologi Informasi dalam Layanan Konseling di STAIN Pontianak (2008), (5) Bimbingan dan Konseling dalam Perspektif Al-Quran: Studi Kepustakaan atas Kandungan Ayat-ayat Al-Quran yang Terkait dengan Bimbingan dan Konseling (2009), (6). Peningkatan Religiusitas Siswa dengan Model Bimbingan Berbasis Surah Al-Fātiḥah (Disertasi, 2015), (7) Prokrastinasi pada Mhasiswa FTIK IAIN Pontianak (2015, dalam proses penelitian).

Karya tulis yang telah diterbitkan: (1) Serba Serbi Keber-Islaman di Indonesia (2001, penulis dan editor, Penerbit: Romeo Grafika Pontianak), (2) Hidup Tumbuh Subur Bersama Rakyat (2002, kontributor, Penerbit: PMII Kalbar), (3) Menjadi Cerdas di Usia Dini (2007, Penerbit STAIN Pontianak Press), (4) Bimbingan dan Konseling (2007, Penerbit: STAIN Pontianak Press), (5) Play Therapy (2009, Penerbit: STAIN Pontianak Press), (6) Bimbingan dan Konseling Anak Usia Dini (2009, Penerbit: STAIN Pontianak Press), (7) Bimbingan dan Konseling Islam (2010, Penerbit: STAIN Pontianak Press), (8) Konseling Kelompok (2013, Penerbit: Alfabeta Bandung), (9) Konseling Keluarga (2013, Penerbit: STAIN Pontianak Press) dan beberapa artikel yang dimuat di berbagai jurnal.

AlamatRumah: Jl. Ujung Pandang, Perumahan Permata Permai No. A. 10, RT. 06/RW.01. Kelurahan Sei Jawi, Kecamatan Pontianak Kota, Kota Pontianak, Kalimantan Barat.

Alamat Kantor: Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak. Jl. Lenjen. Soeprato No. 19 Pontianak, Kalimantan Barat.

E-mail: kurnantoedi@yaho.co.id