Tiga Wujud Penyalahgunaan Wewenang dalam Hukum Administrasi

Oleh: Khairunas, SH. MH. (Kepala Biro AUAK IAIN Pontianak)

Terkait tindak pidana penyalahgunaan wewenang jabatan ini, dimuat dalam pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001, “Bahwa setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama dua puluh tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00.”

Pengertian mengenai penyalahgunaan kewenangan dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud, yaitu:

  1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
  2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya;
  3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.

Pada dasarnya, penyalahgunaan kewenangan mempunyai karakter atau ciri sebagai berikut:

  1. Menyimpang dari tujuan atau maksud dari suatu pemberian kewenangan.

Setiap pemberian kewenangan kepada suatu badan atau kepada pejabat administrasi negara selalu disertai dengan “tujuan dan maksud” atas diberikannya kewenangan tersebut, sehingga penerapan kewenangan tersebut harus sesuai dengan “tujuan dan maksud” diberikannya kewenangan tersebut. Dalam hal penggunaan kewenangan oleh suatu badan atau pejabat administrasi negara tersebut tidak sesuai dengan “tujuan dan maksud” dari pemberian kewenangan, maka pejabat administrasi Negara tersebut telah melakukan penyalahgunaan kewenangan.

  1. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas legalitas.

Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan  dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam sisitem hukum kontinental. Pada negara demokrasi tindakan pemerintah harus mendapatkan legitimasi dari rakyat yang secara formal tertuang dalam undang-undang.

  1. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Asas-Asas Umum penyelenggaraan negara dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme meliputi, a. Asas kepastian hukum; b. Asas tertib penyelenggaraan Negara; c. Asas kepentingan umum; d. Asas keterbukaan;  e. Asas proposionalitas; f. Asas profesionalitas; dan g. Asas akuntabilitas.

Penyalahgunaan kewenangan sangat erat kaitan dengan terdapatnya ketidaksahan (cacat hukum) dari suatu keputusan dan atau tindakan pemerintah/penyelenggara negara.  Cacat hukum keputusan dan atau tindakan pemerintah/penyelenggara negara pada umumnya menyangkut tiga unsur utama, yaitu unsur kewenangan, unsur prosedur dan unsur substansi, dengan demikian cacat hukum tindakan penyelenggara negara dapat diklasifikasikan dalam tiga macam, yakni: cacat wewenang, cacat prosedur dan cacat substansi. Ketiga hal tersebutlah yang menjadi hakekat timbulnya penyalahgunaan kewenangan.

Dasar pengujian ada atau tidaknya penyalahgunaan ini adalah peraturan dasar (legalitas) sebagai hukum positif tertulis yang melatar belakangi ada atau tidaknya kewenangan saat mengeluarkan suatu keputusan, artinya ukuran atau kriteria ada atau tidaknya unsur “menyalahgunakan kewenangan” haruslah berpijak pada peraturan dasar mengenai tugas, kedudukan, fungsi, susunan organisasi dan tata kerja.

Penyalahgunaan kewenangan yang diatur dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 bukanlah satu-satunya bentuk penyalahgunaan kewenangan. Selain penyalahgunaan kewenangan dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tersebut, terdapat tiga bentuk penyalahgunaan lainnya yaitu tindak pidana penyuapan kepada aparatur negara, tindak pidana gratifikasi kepada aparatur negara dan tindak pidana pemerasan oleh pejabat/aparatur negara. Ketiga bentuk tindak pidana korupsi tersebut masing-masing diatur dalam pasal tersendiri dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001.

Untuk tindak pidana korupsi suap ini, diatur dalam Pasal 5 dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah), baik terhadap pemberi suap maupun terhadap penerima suap.

Gratifikasi diatur dalam Pasal 12B, Gratifikasi yang nilainya Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi, sedangkan yang nilainya kurang dari Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut dilakukan oleh penuntut umum.

Ancaman pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pada hakekatnya, gratifikasi adalah pemberian kepada pegawai negeri/penyelenggara negara dan bukan merupakan suap. Gratifikasi merupakan suap apabila diberikan oleh si pemberi gratifikasi berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugas si penerima gratifikasi sebagai pegawai negeri.

Perbedaan prinsip antara ketiga bentuk penyalahgunaan kewenangan tersebut diatas dengan penyalahgunaan kewenangan dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 adalah bahwa terjadinya ketiga bentuk penyalahgunaan kewenangan tersebut tidak disyaratkan harus berimplikasi terhadap kerugian negara atau kerugian perekonomian negara, sedangkan terjadinya penyalahgunaan kewenangan pada Pasal 3, mensyaratkan harus terdapat implikasi kerugian negara atau kerugian perekonomian negara.

Jika dilihat pada penanganan kasus pejabat yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, hampir terjadi pada setiap Kementerian dan Lembaga, termasuk pada Kementerian Agama juga tidak luput dari adanya pejabat yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Upaya dari pemerintah untuk memerangi korupsi dan dalam rangka percepatan pemberantasan korupsi, Presiden melalui Inpres Nomor 5 Tahun 2004, telah menginstruksian kepada para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu agar melakukan langkah dan program kongkrit percepatan pemberantasan korupsi;  Kemudian Inpres Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.

Terakhir Inpres No 2 Tahun 2014 tanggal 21 Maret 2014 tentang Aksi Penceghan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2014. Semakin gencar upaya pemerintah untuk memberantas Korupsi ini, tetapi kenyataannya korupsi bukan berkurang, Korupsi makin menggeliat untuk meningkat. Bahkan realitas korupsi telah dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari “Lintas Kekuasaan”.

Bentuk-bentuk penyalahgunaan wewenang jabatan yang biasanya sering terjadi dalam tatanan birokrasi adalah pemberhentian pejabat struktural yang bertentangan dengan aturan perudang-undangan, dimana dalam hal pemberhentian pejabat struktural menurut Peraturan Pemerintah Nomor 100 tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2002 tentang perubahan PP Nomor 100 Tahun 2000 pasal 10 menyebutkan bahwa Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dari jabatan struktural karena :

  1. mengundurkan diri dari jabatan yang didudukinya;
  2. mencapai batas usia pensiunan;
  3. diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil;
  4. diangkat dalam jabatan struktural lain atau jabatan fungsional;
  5. cuti di luar tanggungan negara, kecuali cuti di luar tanggungan negara karena persalinan;
  6. tugas belajar lebih dari 6 (enam) bulan;
  7. adanya perampingan organisasi pemerintah;
  8. tidak memenuhi persyaratan kesehatan jasmani dan rohani; atau
  9. hal hal lain yang ditentukan dalam peraturan perundang undangan yang berlaku.

Namun kenyataannya sering terjadi, banyak pejabat struktural diberhentikan tidak memenuhi persyaratan dalam pasal 10 PP Nomor 100 tahun 2000 tersebut, dan prosedur pemberhentian dari jabatan manakala pejabat yang diberhentikan tersebut melakukan pelanggaran disiplin, juga tidak dilakukan sebagaimana ketentuan dalam PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS Pasal 24 ayat (1) “Sebelum PNS dijatuhi hukuman disiplin setiap atasan langsung wajib memeriksa terlebih dahulu PNS yang diduga melakukan pelanggaran disiplin”. Ayat (2) “Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertutup dan hasilnya dituangkan dalam bentuk berita acara pemeriksaan”.

Menurut hukum, bahwa manakala terjadi penyalahgunaan wewenang dalam bentuk pemberhentian dari jabatan tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku ini, maka sudah seharusnya Surat Keputusan pemberhentian dari jabatan tersebut adalah cacat hukum, sehingganya tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak sah menurut hukum. Atas tindakan dan kejadian seperti ini, maka pejabat yang diangkat untuk menggantikan pejabat yang diberhentikan juga tidak sah, karena pejabat yang resmi dan sah masih berhak atas jabatan tersebut dan begitu juga atas tunjangan jabatannya.

Bentuk penyalahgunaan wewenang jabatan yang masuk kategori tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001 adalah manakala pejabat yang diberi amanah telah melakukan tindakan korupsi karena penyalahgunaan kewenangan jabatannya seperti pengadaan barang dan jasa tanpa melalui proses sesuai prosedur pengadaan dalam Perpres Nomor 54 tahun 2010 yang berakibat terjadinya kerugian negara, maka perbuatan tersebut masuk dalam kategori penyalahgunaan wewenang jabatan  (abuse of power).

Contoh pada Kementerian Agama adalah keputusan Mahkamah Agung RI No. 1287 K/Pid.Sus/2013 tanggal 30 Juli 2013 atas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh oknum pejabat Kementerian Agama terkait jabatannya sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Barat. Dan Keputusan Mahkamah Agung No. 1709 K/Pid.Sus/2013 tanggal 13 Januari 2014 atas tindak pidana korupsi terkait jabatannya  sebagai Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri.

Keputusan lembaga penegak hukum tersebut atas dua contoh penyalahgunaan wewenang jabatan, sudah memiliki kekuatan hukum tetap (inkrach) dan sudah dilakukan eksekusi atas putusan tersebut. Namun terkait dengan penyalahgunaan wewenang jabatan yang membawa akibat pelanggaran administrasi seperti contoh kasus pembebasan jabatan diatas, itu belum ada tindakan hukum atas pejabat yang melakukan penyalahgunaan wewenang jabatan, disinilah peran Inspektorat Jenderal sesungguhnya untuk mengawal tegaknya hukum dan memberikan kepastian hukum bagi pejabat pada Kementerian Agama.

Pertanyaannya adalah sejauhmana independensi Inspektorat Jenderal dalam melakukan tugasnya terkait dengan kewenangan yang dimiliki dapat dilaksanakan? jawabannya kembali pada komitmen pimpinan untuk menegakkan aturan, demi adanya kepastian hukum dan perlakuan yang sama kepada setiap orang pada lembaga ini.

Mengingat masih banyaknya terjadi penyimpangan pada Kementerian Agama, dan itu merupakan penyalahgunaan wewenag jabatan, maka sudah sepatutnya aparat pengawasan internal Kementerian Agama untuk bekerja maksimal dan sungguh-sungguh. Tantangan Inspektorat Jenderal kedepan tidaklah ringan, karena lingkaran kekuasaan pada Kementerian Agama banyak dipengaruhi oleh  pihak eksternal Kementerian Agama, dimana sepanjang pimpinan tertinggi kementerian ini dipegang oleh pejabat partai politik, maka sulit untuk dihindari terjadinya  comflik of interes antara kepentingan organisasi kementerian dan organisasi partai politik.

Upaya maksimal yang bisa dilakukan oleh Inspektorat Jenderal dan setiap PNS adalah mengunakan hak hukum Inspektorat Jenderal sebagai lembaga pemerintah untuk berkoordinasi dengan aparat penegak hukum manakala menemukan adanya pelanggaran hukum, sebagaimana diamanahkan dalam Inpres Nomor 5 tahun 2004 diktum ke delepan, yaitu berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bank Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ombudsman Republik Indonesia, Lembaga Perlindungan  Saksi dan Korban, serta Mahkamah Agung.

Sementara bagi PNS juga memiliki hak hukum yang diberikan oleh konstitusi yaitu, manakala mengetahui telah terjadi suatu tindak pidana, maka wajib segera untuk melaporkan kepada Penyelidik atau penyidik, sebagaimana diatur dalam pasal 108 ayat (3) KUHAP (UU Nomor 8 Tahun 1981). Selengkapnya pasal 108 ayat (3) KUHAP berbunyi “Setiap pegawai negeri dalam melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik”.

Walaupun setiap PNS diberikan hak hukum untuk melaporkan atas terjadinya suatu tindak pidana kepada penyelidik atau penyidik, namun sampai saat ini, belum ada PNS Kementerian Agama yang menggunakan hak hukumnya tersebut. Hal ini disebabkan karena ketidak tahuan atas hukum, juga karena rasa takut kalau diketahui telah melaporkan kepada aparat penegak hukum oleh pihak pejabat atau pegawai yang dilaporkan tersebut.

Kedepan semoga Inspektorat Jenderal bisa memberikan kepastian hukum atas pejabat dan pegawai Kementerian Agama yang diperlakukan secara melawan hukum dalam bentuk penyalahgunaan wewenang jabatan oleh pejabat yang memiliki kewenangan dan Inspektorat Jenderal menggunakan hak hukumnya untuk berkoordinasi dengan aparat penegak hukum dalam hal manakala terjadi korupsi pada Kementerian Agama. Begitu juga semoga setiap PNS yang memiliki hak hukum untuk melaporkan kepada penyelidik atau penyidik apabila mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana oleh pejabat Kementerian Agama.




Penyalahgunaan Wewenang Jabatan (Abuse Of Power)

khairunas#2

Oleh: Khairunas, SH. MH. (Kepala Biro AUAK IAIN Pontianak)

Abuse of power adalah tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan seorang pejabat untuk kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan diri sendiri, orang lain atau korporasi. Kalau tindakan itu dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai tindakan korupsi.

Ada adagium yang mengatakan bahwa, kekuasaan itu dekat dengan korupsi. Kekuasaan yang tidak terkontrol akan menjadi semakin besar, beralih menjadi sumber terjadinya berbagai penyimpangan. Makin besar kekuasaan itu, makin besar pula kemungkinan untuk melakukan korupsi.

Wewenang yang diberikan sebagai sarana untuk melaksanakan tugas, dipandang sebagai kekuasaan pribadi. Karena itu dapat dipakai untuk kepentingan pribadi. Akibatnya, pejabat yang menduduki posisi penting dalam sebuah lembaga negara merasa mempunyai hak untuk menggunakan wewenang yang diperuntukkan baginya secara bebas. Makin ting gi jabatannya, makin besar kewenangannya.

Tindakan hukum terhadap orang-orang tersebut dipandang sebagai tindakan yang tidak wajar. Kondisi demikian merupakan sebuah kesesatan publik yang dapat merugikan organisasi secara menyeluruh. Dalam keadaan di mana masyarakat lemah karena miskin, buta hukum, buta administrasi, korupsi berjalan seperti angin lewat.

Pemerintah pada suatu negara merupakan salah satu unsur atau komponen dalam pembentukan negara yang baik.Terwujudnya pemerintahan yang baik adalah manakala terdapat sebuah sinergi antara swasta, rakyat dan pemerintah sebagai fasilitator, yang dilaksanakan secara transparan, partisipatif, akuntabel dan demokratis.

Proses pencapaian negara dengan pemerintahan yang baik memerlukan alat dalam membawa komponen kebijakan-kebijakan atau peraturan-peraturan pemerintah guna terealisasinya tujuan nasional. Alat pemerintahan tersebut adalah aparatur pemerintah yang dalam hal ini Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan sekarang disebut dengan Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagaimana ditetapkan dalam UU Nomor 5 Tahun 2014.

Pembentukan disiplin, etika dan moral ditingkat pejabat pengambil keputusan, sangat diperlukan untuk menangkal kebijakan yang diambil penuh dengan nuansa kepentingan pribadi dan golongan/kelompok. Kalau itu yang terjadi, tanpa disadari bahwa itu merupakan penyalahgunaan wewenang jabatan, yang disebut abuse of power. Perwujudan tindakan  penyalahgunaan wewenang jabatan tersebut sebagian besar berdampak pada terjadinya Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN).

Adakalanya tindakan  penyalahgunaan wewenang jabatan tersebut disebabkan karena kebijakan publik yang hanya dipandang sebagai kesalahan prosedur dan administratif, akan tetapi apabila dilakukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang berakibat pada kerugian perekonomian dan keuangan negara, maka sesungguhnya itu adalah tindak pidana.

Persolan korupsi yang terjadi dari penyalahgunaan jabatan, terkait dengan kompleksitas masalah moral atau sikap mental, masalah pola hidup, kebutuhan serta kebudayaan dan lingkungan sosial. Masalah kebutuhan atau tuntutan ekonomi dan kesejahteraan sosial ekonomi, masalah struktur atau sistem ekonomi, masalah sistem atau budaya politik, masalah mekanisme pembangunan dan lemahnya birokrasi atau prosedur administrasi (termasuk sistem pengawasan) di bidang keuangan dan pelayanan publik.

Dengan demikian, kasus tindak pidana korupsi dengan modus penyalahgunaan wewenang jabatan bersifat multidimensi dan kompleks. Sekalipun tindak pidana korupsi bersifat multidimensi dan kompleks, akan tetapi ada satu hal yang merupakan penyebab utama terjadinya tindak pidana korupsi khususnya dalam birokrasi, yaitu kesempatan dan jabatan  atau kekuasaan. Seseorang akan cenderung menyalahgunakan jabatan atau kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, apabila mempunyai kesempatan.

Penyalahgunaan jabatan atau kekuasaan ini merupakan sebagai salah satu unsur penting dari tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Unsur penting yang dimaksudkan adalah “penyalahgunaan wewenang, yang dapat menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian negara”. Penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan khususnya dalam pengelolaan dan peruntukkan keuangan negara oleh aparatur negara, sesungguhnya itu merupakan tindak pidana korupsi oleh karena sifatnya merugikan perekonomian negara dan keuangan negara.

Artinya bahwa sekalipun itu dipandang hanya sebagai kebijakan publik yang sifatnya administratif, akan tetapi apabila sudah berakibat pada merugikan perekonomian negara dan keuangan negara, maka sesusngguhnya itu adalah merupakan tindak pidana.

Mencermati apa yang dikemukakan di atas, maka penyalahgunaan kewenangan dalam kekuasaan atau jabatan dapat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum. Hal ini dimaksudkan karena perbuatan penyalahgunaan wewenang merupakan perbuatan yang tercela, oleh karena orang cenderung melaksanakan sesuatu tidak sesuai dengan tugas, pokok dan fungsi yang seharusnya dilaksanakan.

Akan tetapi malahan sebaliknya, yaitu memanfaatkan kesempatan yang ada dengan kewenangan atau kekuasaan yang dimiliki untuk melakukan tindak pidana korupsi. Dalam ketentuan perundang-undangan mengatur tentang bagaimana perbuatan atau tindakan penyalahgunaan kewenangan itu harus bersifat merugikan keuangan negara, maka tindakan ini rentan dan seringkali ditemui di kalangan aparatur negara atau pegawai negeri sipil.

Mengingat peranan dan kedudukan pegawai negeri adalah aparatur negara yang juga memegang kekuasaan, maka tidaklah berlebihan bahwa dalam diri pegawai negeri terdapat potensi untuk menyalahgunakan kedudukan, kewenangan atau kekuasaannya.

Artikel ini versi lengkapnya dapat dibaca  di situs:

www.khairunas.iainptk.ac.id




Lailial Muhtifah: Guru Professional adalah Guru yang Memiliki Kemampuan Mumpuni dalam Melaksanakan Tugas

Bu Laili

Dekan Fakultas Tarbiyah dan ilmu Keguruan (FTIK), Dr. Hj. Lailial Muhtifah, M.Pd., mengatakan Pada hari ini Selasa, 2 Juni 2015 peserta yudisium patut bersyukur kepada Allah SWT, karena FTIK kembali melakukan yudisium bagi putra putri kita yang telah menamatkan studinya.

FTIK meyudisium sebanyak 194 orang mahasiswa, yang terdiri dari 181 lulusan pada Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) dan 13 lulusan pada Jurusan Pendidikan Bahasa Arab. Meskipun FTIK telah memiliki 4 Jurusan, namun 2 Jurusan merupakan Jurusan baru yang belum melahirkan lulusan.

Dari waktu ke waktu lulusan dari FTIK terus bertambah terutama dari segi jumlah lulusannya.  Dekan FTIK berharap, penambahan jumlah ini hendaknya berjalan seiring dengan peningkatan kualitas lulusan dari FTIK.

Kami terus menerus berupaya, ujarnya dalam pidato yudisium, memperbaiki dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan layanan Pendidikan dan Pengajaran di Lingkungan FTIK, agar lulusan yang dihasil dari lembaga pendidikan ini dapat mencapai setidaknya 4 standar minimal sebagai seorang pendidik yaitu kompetensi pedagogis, kompetensi profesional, kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian.

Menurut Lailial yang akrab disapa Laili, guru yang profesional memiliki kriteria: Pertama, kompetensi pedagogik merupakan kompetensi khas, yang akan membedakan guru dengan profesi lainnya. Kompetensi ini dapat dilihat dari kemampuan guru dalam mengikuti perkembangan ilmu terkini karena perkembangan ilmu selalu dinamis.

Kedua, kompetensi profesional yang harus terus dikembangkan guru dengan belajar dan tindakan reflektif. Kompetensi profesional merupakan kemampuan guru dalam menguasai materi pembelajaran secara luas dan mendalam.

Ketiga, kompetensi sosial bisa dilihat apakah seorang guru bisa bermasyarakat dan bekerja sama dengan peserta didik serta guru-guru lainnya dan civitas akademika di kampusnya untuk mengembangkan kampusnya.

Keempat, kompetensi kepribadian. Kompetensi ini terkait dengan guru sebagai teladan, beberapa aspek kompetensi ini misalnya: (1) dewasa, (2) stabil, (3) arif dan bijaksana, (4) berwibawa, (5) mantap, (6) berakhlak mulia, (7) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, (8) mengevaluasi kinerja sendiri, (9) mengembangkan diri secara berkelanjutan, dan (10) mampu berpikir secara strategis dan mengembangkan strategi-strategi yang efektif untuk mewujudkan visi dan misi hidup anda.

Kami berharap ijazah kesarjanaan yang diterima nantinya terpatri dalam raga sarjana FTIK menjadi  soft-skills untuk mengokohkan dan menguatkan kepribadian Saudara-Saudara dalam bingkai Akhlak Al-Karimah dan Kepribadian “Mukmin Ulul Albab” dalam lingkup visi FTIK IAIN Pontianak.

“Menjadi pusat pengembangan pendidikan dan pengajaran yang ulung, terkemuka dan terbuka dalam riset keagamaan, keilmuan dan kebudayaan borneo”, di tengah era revolusi mental dan persaingan yang sangat ketat di era global ini. Revolusi Mental adalah perubahan cepat dan kerja cepat, dan memiliki komitmen yang tinggi bekerja keras.

Laili berpendapat, Revolusi Mental ini “meniru” cara apa yang telah dilakukan Rasulullah Nabi Muhammad SAW pada jaman jahiliyah dahulu di negeri Arab. Mengapa Revolusi Mental ini sangat penting? Ternyata Mental/Akhlak ini mempunyai kedudukan tertinggi.

Berikut, urai Laili, beberapa hadits Nabi tentang akhlak; (1) “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia”; (2) “Sesungguhnya orang yang terbaik dari kalian adalah orang yang terbaik akhlaknya”; (3) “Kaum Mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya (di antara mereka)”; (4) “Pergaulilah manusia dengan akhlak yang mulia”; (5) “Tidak ada sesuatu yang lebih berat timbangannya (di Hari Kiamat) dibanding Akhlak mulia”; (6) “Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat tempatnya denganku pada hari kiamat adalah yang paling mulia akhlaknya”.

 Guru yang professional adalah guru yang memiliki kemampuan mumpuni dalam melaksanakan tugas jabatan guru. Laili menyadari betul, di era globalisasi seperti sekarang ini, standar Sumber Daya Manusia (SDM) yang diperlukan sangat tinggi.

Tuntutan persaingan antara berbagai lulusan Perguruan Tinggi yang ada juga sangat tinggi.  Sementara di sisi lain ketersediaan lapangan pekerjaan semakin kompetitif, paparnya. Oleh karenanya, dia terus menerus berbenah dan meningkatkan standar mutu yang ada, mulai dari standar kurikulum, standar proses, standar mutu dosen dan tenaga kependidikannya, standar sarana prasarana hingga standar kelulusan.

Laili menyebut, ini semua merupakan agenda besar, bukan pekerjaan seperti membalik telapak tangan.  Diperlukan kerja keras, kerja cerdas dan kolaborasi semua pihak.  Termasuk dukungan dan partisipasi dari orang tua mahasiswa.  Oleh karenanya, kami senantiasa mendorong kerjasama dari semua elemen yang ada, baik dosen, karyawan, mahasiswa, orang tua dan termasuk pemerintah daerah untuk mendorong peningkatan mutu layanan pendidikan di FTIK.




Zaenuddin: Menggapai Dunia Melalui Prestasi

 Zaenuddin

Pembawaanya ­ramah, tak akan mem­­­buat orang se­­gan untuk mendekatinya sekadar bersalaman atau mengobrol panjang. Berbagai pengalaman prestasi akademik yang pernah diraih, ia bagikan kepada siapa saja. Tak heran apabila mahasiswa sangat dekat dengan sosok ini. Pada masa jabatannya sebagai Ketua Prodi Manajemen Dakwah, ia bersama-sama mahasiswanya melakukan observasi lapangan di Tayan. Ia membimbing mahasiswa mendalami dunia karya tulis ilmiah. Ia menunjukan apresiasi yang tinggi apabila mahasiswa mau berkarya, hal tersebut terbukti dengan pengantarnya sebagai ketua prodi MD dalam buku Seperti Aliran Sungai Kapuas, Tahun Baru di Ibukota: Kumpulan Cerita Pendek Mahasiswa MD.

Zaenuddin#2
Dr. Zaenuddin, MA.,MA (Warek III IAIN Pontianak)

Komunikasi yang terjalin dengan mahasiswa membuatnya tidak sulit untuk melakukan berbagai diskusi. Melalui Dewan Mahasiswa (DEMA) IAIN Pontianak, infomasi berkenaan dengan kemahasiswaan pun diperolehnya, kegiatan Coffe Morning dan Coffe Aftenoon merupakan satu di antara kegiatan rutin yang dilakukan bersama mahasiswa. Ketika ia menambah Klub Akademik di lingkungan IAIN Pontianak, ia mengajak mahasiswa bersama-sama merancang klub tersebut yakni Klub Riset, Seni, dan Desain.

Berdasarkan Keputusan Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak, Nomor: 01 Tahun 2014 tanggal 23 Mei 2014 Dr. Zaenuddin, MA. MA., diangkat menjadi Wakil Rektor di bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama. Sejak dilantik oleh Rektor IAIN Pontianak, Dr. H. Hamka Siregar, M.Ag pada tanggal 26 Mei 2014,  ia resmi memangku amanah tersebut hingga tahun 2018 mendatang. Program kerja untuk memajukan IAIN Pontianak telah disiapkan.

Meningkatkan prestasi akademik dan non akademik menjadi bagian terpenting dalam program kerjanya di bidang kemahasiswaan. Menurut Zaenuddin selama ini prestasi mahasiswa masih terfokus pada prestasi non akademik. Sedangkan prestasi akademik belum tergarap keseluruhan. Dosen yang aktif menulis di Jurnal ini berpendapat bah wa ruh dari mahasiswa adalah karya tulis, karenanya ia ingin mahasiswa dapat meningkatkan prestasi akademiknya dalam artikel jurnal dan penelitian mahasiswa.

“Prestasi mahasiswa ini, harus prestasi akademik dan non akademik. Kita dorong mahasiswa IAIN Pontianak menerbitkan artikelnya di jurnal IAIN Pontianak, jurnal terakreditasi nasional maupun internasional” jelas pengasuh Jurnal Al-Albab, Borneo Journal of Religious Studies ini.

Menyemangati mahasiswa dalam meningkatkan prestasi, penerima beasiswa Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) dan Fulbright ini pun menyiapkan prorgam Student Achievement Award yakni program penghargaan untuk mahasiswa yang berprestasi. Mahasiswa yang berprestasi secara akademik maupun non akademik dapat berkompetensi secara fair.

“Nanti kita buat kritera-kriteria untuk prestasi. Misalnya dalam bidang artikel jurnal siapa yang artikel jurnalnya terbit di internasional, reward-nya sekian. Apabila non akademik, siapa yang juara silat juara provinsi rewardnya sekian, kita lihat lah nanti menyesuaikan kemampuan kita. Penghargaannya tidak dalam bentuk uang tunai, tentunya beasiswa”, tambahnya.

Home Coming merupakan satu di antara program unggulan Zaenuddin di bidang alumni. Acara ini memberikan peluang kepada alumni untuk ingat kampus-pulang ke kampus. Alumni yang telah menyebar dan bekerja di berbagai daerah diyakini Zae dapat serta mempromosikan IAIN Pontianak karenanya Zae ingin memaksimalkan kontribusi alumni melalui acara pulang kampus tersebut. Tak hanya untuk kampus, lulusan Magister dan Doktor di Universitas Gajahmada Jogjakarta ini percaya ketika alumni berkumpul akan ada inovasi-inovasi yang dibentuk oleh Alumni. Membuat bisnis sesama alumni menjadi kemungkinan besar yang dapat terjadi sebagaimana ia bersama Keluarga Besar Alumni Gajahmada.

“Tidak menutup kemungkinan saat berkumpul nanti, alumni membuat inovasi-inovasi yang me­reka perlukan. Saya dengan adanya kartu Kagama dapat merasakan banyak manfaat. Mau naik pesawat, dapat diskon. Kagama mempunyai banyak program sehingga alumninya dapat merasakan berbagai fasilitas. Saya berharap alumni kita juga seperti itu”, cerita Zae sambil menunjukan kartunya.

Sejarah pengalaman Zaenuddin di dunia internasional membuat dirinya mempunyai ba­nyak kenalan. Melalui link yang ada ia membangun kerjasama dengan berbagai universitas luar negeri. Pada Maret lalu, Zae bersama Kepala Biro AUAK, Dekan dan Wadek I Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, Dekan  Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah, serta mahasiswa penerima beasiswa Mandiri dan Bidikmisi melakukan kunjungan ke Universitas Malaysia (Unimas) dan Hikmah , lembaga Keagamaan Malaysia. Bentuk kerjasama dengan negara tetangga tersebut ialah Konferensi Internasional, Penelitian Bersama dan Exchange Faculty yakni pertukaran dosen serta KKL Internasional di Hikmah.

“Tahun ini kita diminta untuk menambah jumlah peserta KKL, tahun sebelumnya hanya 25 mahasiswa sekarang ditambah menjadi 60 mahasiswa”. Jelas Zae yang pernah merasakan magang di kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) semasa kuliah Magister keduanya di Amerika.

Kerjasama dalam bentuk Exchange Student juga dilakukan di negara Gajah Putih, yakni Walailak Universty, Thailand. Selanjutnya Visiting Professor bekerjasama dengan Emory University, Amerika. Nantinya kerjasama tersebut tak hanya mendatangkan dosen dan mahasiswa dalam bentuk kunjungan melainkan tinggal untuk mengajar dan belajar di IAIN Pontianak.

Menyoal kerjasama Internasional tak lantas membuat kerjasama di tingkat lokal tertinggal. Zaenuddin berani melangkah ke luar karena kerjasama antar Perguruan Tinggi di Kalimantan Barat diakuinya telah terjalin.  Pembina Sekolah Tinggi Al-Iqra Kapuas Hulu ini menuturkan, kerjasama yang dilakukan antar kampus di Kalimantan Barat berupa pertukaran dosen, pembinaan dosen, dan mahasiswa.

“Untuk lokal kita sudah kerjasama. Di perguruan tinggi di Kalbar lah. Polnep, Al-Iqra Kapuas Hulu, STAI Mempawah. Kapuas Hulu saya memberikan pembinaan pengelolaan kegiatan mahasiswa”, tutup ayah dari Daud Aydin Anza ini.




Bangkitnya Konseling Berbasis Agama: Jalan untuk Menapaki Perwujudan Generasi Emas 2045

 orasi ilmiah

Oleh: Dr. M. Edi Kurnanto, M.Pd

Orasi Ilmiah, Disampaikan pada Acara Yudisium Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK)

Edi Kurnanto
Dr. M. Edi Kurnanto, M.Pd

2 Juni 2015, Mengawali orasi ilmiah saya ini, saya mengucapkan selamat kepada para calon wisudawan dan wisudawati Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Pontianak tahun 2014/2015, yang hari ini mengikuti acara Yudisium sebagai tanda telah menyelesaikan Program Pendidikan Strata Satu (S1) di Fakultas ini. Sebagai generasi penerus bangsa, sekaligus calon-calon pemimpin masa depan, kami semua berharap kiranya ilmu pengetahuan yang didapat selama menempuh pendidikan di IAIN ini, dapat menjadi bekal dan sumber inspirasi serta motivasi dalam mendarmabhaktikan diri pada keluarga, masyarakat, bangsa, negara dan agama.

Selanjutnya, saya mengucapkan terima kasih kepada Panitia Yudisium dan seluruh Civitas Akademika FTIK IAIN Pontianak, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menyampaikan Orasi Ilmiah dalam acara ini. Adapun tema Orasi saya kali ini adalah: BANGKITNYA KONSELING BERBASIS AGAMA: Jalan untuk Menapaki Perwujudan Generasi Emas 2045.

Saat ini, perkembangan ilmu pengetahuan di bidang pendidikan berjalan begitu cepatnya, termasuk di dalamnya adalah ilmu bimbingan dan konseling, sebagai salah satu cabang ilmu pendidikan, karena bimbingan dan konseling adalah layanan psikopedagogik, yaitu layanan psikologis dalam suasana pedagogis (Kartadinata, 2010: 157). Sebagai wujud dari perkembangan tersebut, dewasa ini konstruk ilmu Bimbingan dan Konseling telah mengalami kemajuan yang pesat, yaitu mulai dari masa awal berkembangnya aliran bimbingan dan konseling psikodinamika, dilanjutkan oleh aliran behaviorisme, diperbaharuhi oleh aliran humanisme dan multikultural, dan puncaknya akhir-akhir ini, tengah berkembang bimbingan dan konseling spiritual sebagai kekuatan kelima. Salah satu bentuk perwujudan layanan bimbingan dan konseling spiritual ini adalah berkembangnya bimbingan dan konseling religius, suatu era baru tentang pemahaman terhadap individu dan bagaimana membuka misteri tentang penyembuhan psikologis melalui keimanan, imajinasi dan ritual, selain melalui penjelasan secara rasional.

Selama ini telah menjadi keyakinan, bahwa tujuan bimbingan dan konseling adalah untuk memfasilitasi individu mencapai perkembangan optimal (Muro dan Kottman, 1995, ABKIN, 2008). Bila dikaitkan dengan Sistem Pendidikan Nasional Indonesia, tujuan tersebut mengacu kepada tujuan pendidikan nasional (UU Sisdiknas, 2003). Berdasarkan tujuan tersebut, para pakar mengembangkan model-model bimbingan dan konseling dengan landasan filosofis tertentu (Corey, 2005). Akan tetapi, model-model tersebut memiliki sejumlah keterbatasan sehingga hasil bimbingannya hanya bersifat “kulit luar saja” (Sutoyo, 2009: 4).

Aliran Psikodinamik terlalu pesimistik, deterministik, dan reduksionis dalam memandang manusia (Corey, 1985: 15; Dahlan, 1988: 15); Behaviorisme terlalu berani dalam menganalogikan manusia dengan binatang, terlalu menekankan aspek lingkungan dan kurang menghargai potensi manusia (Dahlan, 1988: 16). Humanisme terlalu optimistik, terlalu mendewakan manusia (Dahlan, 1988: 22). Sementara, pendekatan multikultural terlalu mengagungkan peran budaya dalam membingkai kehidupan manusia (Ridwan, 2014).

Berangkat dari fenomena dan penilaian di atas, kini timbul pertanyaan: model manusia bagaimana yang diinginkan setelah konseli mampu menyelesaikan masalah-nya? Pertanyaan tersebut sangat penting, karena model manusia yang diinginkan menjadi rujukan semua upaya bimbingan dan konseling, baik di lingkungan sekolah maupun konseling dalam setting kemasyarakatan. Bisa jadi pula, dengan tidak adanya pegangan, lahirlah orang-orang pintar tapi tak benar: pintar karena mengutamakan akal, tak benar karena menyingkirkan hati (Frager, 2002: 62; Ridwan, 2014: 4). Bila hati disingkirkan, pintu untuk mengenal Tuhan jadi tertutup (al-Ghazali, 2002b: 225; Hawwa, 1995: 112; Shihab, 2011: 151). Padahal, kurikulum pendidikan 2013 (walaupun saat ini ditunda penerapannya), telah mengamanatkan bahwa tahun 2045, tepat seratus tahun kemerdekaan negera kita yang tercinta ini, kita harus mampu mewujudkan generasi emas, yaitu generasi yang dibentuk dengan berlandaskan pada tujuan utuh pendidikan nasional (Kartadinata, 2013). Oleh para pakar, tujuan utuh tersebut dituangkan ke dalam empat gugus utama, yakni sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan dan keterampilan (Supriatna, 2014a), sehingga generasi emas yang dimaksud bercirikan: produktif, kreatif, inovatif dan afektif (Supriatna, 2014b). Sementara itu, kekhawatirannya adalah, bahwa pada  sikap spiritual dan ranah afektif bangsa kita pada umumnya, dan generasi muda pada khususnya sedang mengalami masalah serius, yaitu merajalelanya dekadensi moral (Ridwan, 2014).

Pemerintah dan Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia sebenarnya telah melakukan perbaikan-perbaikan. Kelemahan pendekatan klinis dalam empat kekuatan aliran bimbingan dan konseling diperbaiki dengan konsep bimbingan dan konseling berbasis tugas-tugas perkembang-an, atau yang lebih dikenal dengan bimbingan dan konseling komprehensif (Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 194). Dikatakan bahwa, bimbingan dan konseling komprehensif didasarkan pada upaya pencapaian tugas perkembangan, pengembangan potensi dan pengentasan masalah. Bila konsep ini dianalisis lebih jauh, menurut Ridwan, (2014: 5) model manusia yang dikehendaki adalah manusia multikultur. Karena, bila tugas-tugas perkembangan dikaitkan dengan bangsa Indonesia yang religius, maka model ini akan mengadopsi tugas-tugas perkembangan individu dalam Islam, dalam Katholik, Kristen, Hindu, Budha dan seterusnya. Model  ini adalah model manusia berbasis ilmu pengetahuan yang dikaitkan dengan agama, yakni dari ilmu pengetahuan dibawa ke dalam agama.

Dengan mengadopsi cara berfikir: bahwa manusia yang paripurna adalah manusia yang Islami (al-insān al-kamīl), sepuluh tahun terakhir ini, telah lahir beberapa model bimbingan dan konseling berbasis agama Islam.

  1. Anwar Sutoyo (2006) menghasilkan model konseling Qur’anik untuk mewujudkan manusia kãffah (utuh) pada mahasiswa. Model yang dihasilkan dari riset disertasi ini, telah terbukti mampu meningkatkan kualitas “manusia kaffah” pada mahasiswa di Universitas Negeri Semarang yang menjadi obyek treatmen model ini.
  2. Uman Suherman AS (2006) menghasilkan Pendekatan Konseling Qur’ani untuk Mengembangkan Keterampil-an Hubungan Sosial. Penelitian ini menghasilkan sebuah Model Konseling Qur’ani yang dapat digunakan dalam upaya pengembangan keterampilan hubungan sosial pada kalangan santri di Pesantren Persatuan Islam 99 Rancabango Kabupaten Garut.
  3. Ahmad Waki (2013) mengembangkan Model Bimbingan Berdasarkan Teori Transformasi Ruhani Ibn Qayyim Al-Jauziah untuk Meningkatkan Karakter Muthmainah pada Penelitian ini menghasilkan model bimbingan yang telah teruji secara empirik, efektif untuk meningkatkan karakter muthmainah pada kalangan mahasiswa di Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
  4. Ridwan (2014) mengembangkan Model Bimbingan Berlandaskan Neo-Sufisme untuk Mengembangkan Perilaku Arif pada Mahasiswa. Model yang dikembangkan dengan Pemaduan Pendekatan Idiografik dan Nomotetik ini telah diujicobakan pada mahasiswa di STAI Hamzawadi, Lombok Tomur, Nusa Tenggara Barat.

Melanjutkan empat temuan penelitian di atas, juga sebagai upaya untuk ikut andil dalam pengembangan generasi emas 2045, sebagaimana diamanatkan dalam kurikulum 2013, saya telah mengembangkan sebuah Model Bimbingan dan Konseling Berbasis Surah Al-Fātiḥah untuk Meningkatkan Religusitas Siswa (Model BBSA). Model ini saya kembangkan dalam rangka penyelesian Program Doktor saya di Program Studi Bimbingan dan Konseling, Sekolah Pascasarjana Uiversitas Pendidikan Indonesia Bandung.

Model Bimbingan Berbasis Surat Al-Fātiḥah untuk Meningkatkan Religiusitas Siswa dimaknai sebagai suatu pola atau acuan bimbingan yang digunakan untuk meningkatkan religiusitas siswa yang diturunkan dari teori religiusitas dalam Islam (Ancok dqn Suroso, 2011) dan kontekastualisasi ayat demi ayat dalam surat Al-Fātiḥah. Asumsi dasar model ini meyakini bahwa keberagamaan atau religiusitas siswa merupakan kondisi yang dapat naik dan turun. Karena itu, harus ada upaya bimbingan agar siswa tetap berada dalam kondisi religiusitas yang baik.

Karena dikembangkan dari surat Al-Fātiḥah, semua unsur layanan, mulai dari landaan filosofis, tujuan bimbingan, materi bimbingan, prosedur bimbingan, kompetensi konselor dan evaluasi serta indikator keberhasilan layanan, semuanya diekstraksi dan hasil kontekstualisasi dari surat Al-Fātiḥah, dalam hal ini saya menggunakan istilah B5KB dalam The Seven Islamic Daily Habits-nya Dr. Harjani Hefni, MA.

Hal yang menjadi alasan mengapa saya mengangkat Al-Fātiḥah sebagai landasan pengembangan Model BBSA, adalah  dengan alasan keluasan cakupan surah al-Fātiḥah yang melingkupi seluruh isi al-Qur’ān (Shihab, 2010: 8; Ibn Katsir (Ar-Riva’I (2011) yang karenanya juga mencakup tiga dimensi religiusitas Islam (akidah, ibadah dan akhlak). Penggunaan Al-Fātiḥah sebagai landasan dasar pengembang-an model ini juga karena keagungan surah al-Fātiḥah (Shihab: 2010: 4; Hefni: 2013: xxxiii-xxxiv; Azis, 2012: 7). Selain itu, al-Fātiḥah selalu menawarkan nilai yang akan selalu segar dalam pribadi setiap muslim, karena menurut Hefni (2013: xxxv) al-Fātiḥah secara otomatis memberikan layanan isi ulang nilai (value auto recharging). Layanan isi ulang nilai ini dilakukan minimal 17 kali sehari semalam dengan format 2+4+4+3+4, yaitu di setiap raka’at shalat wajib yang kita lakukan.

Pada kesempatan ini saya bukan bermaksud untuk menjelaskan keseluruhan dari model yang saya kembangkan. Saya ingin mengatakan, bahwa peluang dan tantangan saat ini telah menanti di hadapan kita. Kita punya peluang karena, mainstream ilmu psikologi dan bimbingan konseling saat ini sedang “bergelayut” menuju ke arah dunia kita, yaitu spiritual keagamaan. Bukankah Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional kita, UU No. 20 tahun 2003 telah mengamanatkan bahwa Pendidikan harus diarahkan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampil-an yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Menurut hemat saya, rasanya mustahil kita mampu mengarahkan peserta didik kita untuk mencapai tujuan tersebut, khususnya yang terkait dengan pengembangan kompetensi spiritual keagamaan dan akhlak mulia, manakala cara yang kita gunakan bukan merupakan jalan spiritual keagamaan dan tatanan yang menopang akhlak karimah. Untuk itu, kita harus segera menyambut amanat itu dengan aksi yang menjadi kewenangan kita, yaitu menyelenggarakan pendidikan tinggi. Yang saya maksudkan adalah, kita harus segera mewujudkan pendirian program studi Bimbingan dan Konseling (Pendidikan) Islam di Fakultas ini, karena sejatinya, secara yuridis formal, konselor itu adalah pendidik. Hal ini sebagaimana tertuang dalam bab 1 pasal 1 ayat 6 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, yang menyebutkan: “Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggara-kan pendidikan. Sedangkan sebutan konselor sebagaimana dijelaskan dalam Permendiknas No. 27 tahun 2008 tentang Standar Kompetensi Konselor Indonesia: “Konselor adalah tenaga pendidik profesional yang telah menyelesaikan pendidikan akademik strata satu (S-1) program studi Bimbingan dan Konseling dan program Pendidikan Profesi Konselor dari perguruan tinggi penyelenggara program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi”. Dengan mengacu pada aturan tersebut, jelas bahwa konselor adalah pendidik profesional, sementara pendidik adalah tenaga kependidikan yang dihasilkan oleh perguruan tinggi penyelenggara program pengadaan tenaga kependidikan, dalam hal ini adalah fakultas, jurusan atau program studi yang membidangi ilmu pendidikan.

Perkembangan terbaru terkait dengan layanan bimbingan konseling di sekolah, bahwa pemerintah telah menerbitkan Permendiknas No. 111 tahun 2014 tentang Bimbingan dan Konseling di Sekolah, di mana di dalamnya menyebutkan bahwa sekarang sudah terjadi perluasan layanan bimbingan dan konseling, yaitu yang dulunya hanya mencakup jenjang pendidikan SMP/MTs dan SMA/MA, berdasarkan Permendikbud ini layanan konseling sudah diwajibkan pada jenjang pendidikan dasar (SD/MI). Dengan demikian, semakin terbuka lebar peluang kerja bagi alumni program studi atau Jurusan Bimbingan dan Konseling (Pendidikan) Islam.

Saat ini Fakultas kita sudah meyelenggaran empat jurusan, yaitu Pendidikan Agama Islam (PAI), Pendidikan Bahasan Arab (PBA), Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyyah (PGMI) dan Pendidikan Guru Raudhatul Athfal (PGRA). Saya yakin bahwa semua jurusan tersebut, akan menjadi jalan buat kita untuk mendukung terbentuknya Generasi Emas 2045 sebagaimana menjadi amanat KURTILAS. Karena semua jurusan yang kita selenggarakan, semuanya memberikan bekal ilmu keagamaan yang representatif untuk menjadikan para alumni kita menjadi agen pembelajaran penyokong perwujudan cita-cita generasi emas 2045. Akan tetapi, penyelenggaraan pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang tidak saja dilakukan oleh guru sebagai agen pembelajaran yang mendidik, akan tetapi juga ada wilayah kerja bimbingan dan konseling yang memandirikan. Dan semuanya itu, menurut hemat saya, harus dilakukan dalam kerangka dan berbasis pada nilai-nilai dan ajaran agama Islam. Dan itu, semakin lengkap jika kita memiliki Jurusan Bimbingan dan Konseling (Pendidikan) Islam.

Bapak Rektor, Ibu Dekan dan civitas akademika FITIK serta para tamu undangan dan calon wisudawan yang berbahagia. Demikian yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang mulia ini. terima kasih atas segala perhatian, dan mohon maaf jika ada hal-hal yang tidak berkenan.

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.

Pontianak, 2 Juni 2015

 

 DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, A.H.M. (2002b). “Kompas Pengembaraan Spiritual.” Dalam Samudera Pemikiran al-Gazali. Alih bahasa Kamran As’ad Irsyadi. Yogyakarta: Pustaka Sufi

Al-Jauziyyah, I.Q. (2003). Penawar Hati yang Sakit (Al-Jawabul kafi Liman Saala’Anid Dawaaisy-Syafi). Penerjemah Ahmad Turmudzi. Jakarta: Gema Insani

Al-Jauziyyah, I.Q. (1999). Madarijus Salikin (Pendakian Menuju Allah). Penerjemah Kathur Suhardi. Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar

Al-Jauziyyah, I.Q. (2005). Manajemen Qalbu Melumpuhkan Senjata Setan. Penerjemah Ainul Haris Umar Arifin Thayyib. Jakarta: Darul Falah

Al-Kalabadzi, A.B.M. (2007). Ajaran-ajaran Sufi. Penerjemah Nasir Yusuf. Bandung: Pustaka

 Al-Khumaini, I.R.M. (2006). Shalat Ahli Makrifat. Penerjemah Irwan Kuniawan. Bandung: Pustaka Hidayah

Ancok, D. dan Suroso. (2011). Psikologi Islami, Solusi Islam atas Problem-problem psikologi. Cet. VIII. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dahlan, M.D. (1988). Posisi Bimbingan dan Penyuluhan Pendidikan dalam Kerangka Ilmu Pendidikan. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Bandung. Ikip Bandung. 9 April 1988

Dahlan, M.D. (2003), Presfektif Filosofis-Religius dalam Pengembangan Profesi Bimbingan dan Konseling. Dalam kumpulan makalah utama Konvensi Nasional XIII Bimbingan dan Konseling.

Frager, R. (2002). Hati, Diri dan Jiwa, Psikologi Sufi untuk Transformasi. Penerjemah Hasmiyah Rauf. Jakarta: Serambi

Hawwa, S. (1995). Jalan Ruhani Bimbingan Tasawuf untuk Para Aktivis Islam. Penerjemah Khairul Rafie M., dan Ibnu Thaha Ali. Bandung: Penerbit Mizan

Hefni, H. (2013). The 7 Islamic Daily Habits. Jakarta: Pustaka Ikadi.

Ibnu Katsir, A.F.I. (2000). Tafsir Ibn Katsir, Juz I A, Al-Fātiḥah dan Al-Baqarah. Cet.I. Terjm. Bahrun Abu Bakar, dkk. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Kartadinata, S. (2010) Isu-Isu Pendidikan, antara Harapan dan Kenyataan. Bandung: UPI Press

Kartadinata, S. (2011). Menguak Tabir Bimbingan dan Konseling sebagai Upaya Pedagogis. Kiat Mendidik sebagai Landasan Profesional Tindakan Konselor. Bandung: Penerbit UPI Press.

Kartadinata, S. (2013). Kerangka Pikir Pemberdayaan Bimbingan dan Konseling dalam Implementasi Kurikulum 2013: Sebuah Proposal Kebijakan. PPT Bahan Seminar Implementasi Bimbingan dan Konseling dalam Kurikulum 2013. UPI Bandung.

Kartadinata, S. (2014). Politik Jati Diri Bangsa, Telaah Filosofis dan Praksis Pendidikan bagi Penguatan Jati Diri Bangsa. Bandung: UPI Press.

Kemendikbud. (2013). Panduan Pelayanan Bimbingan dan Konseling Arah Peminatan Siswa. Sumer: Shoftcopy dari Prof. Sunaryo Kartadinata.

Kemendikbud. (2013). Kurikulum 2013 dan Tantangan Zaman Generasi Emas. Bahan Diskusi Publik Kurikulum 2013 Fraksi Golkar DPR RI.

Kurnanto, M.E. (2010). Bimbingan dan Konseling Islami, Mengangkat Nilai-nilai Bimbingan dan Konseling dalam Al-Quran. Pontianak: STAIN Pontianak Press.

Shihab, M.Q. (1998). Wawasan AI-Qur`an. Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.

Shihab, M.Q. (2010). Tafsir al-Mishbāh. Volume ke-1. Cet. III. Jakarta: Lentera Hati.

Suherman, U. (2006). Pendekatan Konseling Qur’ani untuk Mengembangkan Keterampilan Hubungan Sosial. Disertasi. Sekolah Pascasarjana UPI Bandung, tidak diterbitkan.

Supriatna, M. (2010). Model Konseling Aktualisasi Diri untuk Mengembangkan Kecakapan Pribadi Mahasiswa. Disertasi. Sekolah Pascasarjana UPI Bandung, tidak diterbitkan.

Supriatna, M. (2014a). “Sinergi Arah Peminatan pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (Ikhtiar Implementasi Kurikulum 2013 dalam Bimbingan dan Konseling)”. Makalah. Disajikan dalam Forum Seminar ABKIN dan MGBK  Kabupaten Kuningan dan Wilayah Tiga Cirebon, 4 Maret 2014

Supriatna, M. (2014b). “Problematika Bimbingan dan Konseling sebagai Praktik Pendidikan di Sekolah (Sebuah Telaah Kurikulum 2013)”. Makalah. Disajikan dalam Forum Seminar Nasional Pendidikan Bimbingan dan Konseling Universitas Nahdlatul Ulama Cirebon, 16 Januari 2014

Sutoyo, A. (2006). Pengembangan Model Konseling Qurani untuk Mewujudkan Manusia Kaffah. Disertasi. Sekolah Pascasarjana UPI Bandung, tidak diterbitkan.

Sutoyo, A. (2010). Bimbingan dan Konseling Islami, Teori dan Praktik. Semarang: Widya Karya.

Waki, A. (2013). Model Bimbingan Berdasarkan Teori Transformasi Ibn Qayyim untuk Meningkatkan Karakter Muthmainah Mahasiswa. Disertasi. Sekolah Pascasarjana UPI Bandung, tidak diterbitkan.

RIWAYAT HIDUP PENULIS

MUHAMMAD EDI KURNANTO, Lahir tanggal 5 September 1973 di Desa Gegeran Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo Jawa Timur. Anak kelima dari enam bersaudara pasangan Bapak Kartubi bin Tukijan (alm) dan Ibu Bibit binti Sonokarso. Sejak kecil diasuh oleh pamannya, Bapak Sakat bin Tukijan dan Ibu Katiyem bintI Sodikromo. Sejak tahun 1982 hijrah ke Kalimantan Barat bersama orangtua (Paman) yang mengikuti Program Transmigrasi di SP. II Kecamatan Mukok Kabupaten Sanggau. Karena di tempat yang baru belum ada sekolah, hingga terpaksa harus berhenti sekolah selama satu tahun.

Keluarga: Dari hasil perkawinannya dengan Mawar, S.Ag, kini telah dikaruniai dua orang putri: Karima Nada Medina (2000, Kelas IX, MTsN 1 Pontianak) dan Zhafira Azka Medina (2003, Kelas VI MIS Al-Ikhwah Pontianak).

Pendidikan yang pernah dilalui: (1) Sekolah Dasar Negeri 2 Gegeran, Kec. Sukorejo, Kab. Ponorogo Jawa Timur (Kelas 1-2); SDN Transmigrasi SP II Kecamatan Mukok Kab. Sanggau Kalimantan Barat, tamat tahun 1987. (2) Melanjutkan sekolah di SMP Negeri Kedukul (sekarang SMP Negeri I Mukok) tamat tahun 1990. (3) SMA Negeri 4 Pontianak tamat tahun 1993. (4) Menamatkan S1 pada Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Jurusan Tarbiyah, STAIN Pontianak pada tahun 1998 (kini IAIN Pontianak). (5) Menyelesaikan studi Magister Pendidikan (M.Pd) Program Studi Bimbingan dan Konseling dengan Konsentrasi Pendidikan Anak Usia Dini di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung yang ditempuhnya dalam waktu 1 tahun 10 bulan dengan yudisium Cumlaude tahun 2006. (6) Memperoleh Gelar Doktor pada Program Studi Bimbingan dan Konseling, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung Januari 2015.

Pengalaman Kerja: Sejak tamat S1 tahun 1998 mengabdikan diri mengajar di almamaternya. Tahun 2000 diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil dan ditempatkan di Jurusan Tarbiyah dengan mengajar Ilmu Kalam. Tahun 2007, setelah menamatkan pendidikan Magister Bidang Bimbingan dan Konseling, dipindahkan ke Juruan Dakwah, Program Studi Bimbingan dan Konseling Islam (BKI). Tahun 2014 ditarik kembali menjadi Dosen FTIK IAIN Pontianak, pada Jurusan PGRA.

Penelitian yang pernah dilakukan: (1) Pengembangan Program Bimbingan untuk Mengembangkan Multiple Intelligences Anak TK melalui Kegiatan Bermain (2006), (2) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Dosen STAIN Pontianak (2007), (3) Penerapan Pembelajaran Berbasis Minat untuk Meningkatkan Kecerdasan Jamak (Multiple Intelligences) Anak Taman Kanak-kanak: Studi pada Taman Kanak-kanak (TK) Negeri Pembina Kota Pontianak (2007), (4) Penerapan Teknologi Informasi dalam Layanan Konseling di STAIN Pontianak (2008), (5) Bimbingan dan Konseling dalam Perspektif Al-Quran: Studi Kepustakaan atas Kandungan Ayat-ayat Al-Quran yang Terkait dengan Bimbingan dan Konseling (2009), (6). Peningkatan Religiusitas Siswa dengan Model Bimbingan Berbasis Surah Al-Fātiḥah (Disertasi, 2015), (7) Prokrastinasi pada Mhasiswa FTIK IAIN Pontianak (2015, dalam proses penelitian).

Karya tulis yang telah diterbitkan: (1) Serba Serbi Keber-Islaman di Indonesia (2001, penulis dan editor, Penerbit: Romeo Grafika Pontianak), (2) Hidup Tumbuh Subur Bersama Rakyat (2002, kontributor, Penerbit: PMII Kalbar), (3) Menjadi Cerdas di Usia Dini (2007, Penerbit STAIN Pontianak Press), (4) Bimbingan dan Konseling (2007, Penerbit: STAIN Pontianak Press), (5) Play Therapy (2009, Penerbit: STAIN Pontianak Press), (6) Bimbingan dan Konseling Anak Usia Dini (2009, Penerbit: STAIN Pontianak Press), (7) Bimbingan dan Konseling Islam (2010, Penerbit: STAIN Pontianak Press), (8) Konseling Kelompok (2013, Penerbit: Alfabeta Bandung), (9) Konseling Keluarga (2013, Penerbit: STAIN Pontianak Press) dan beberapa artikel yang dimuat di berbagai jurnal.

AlamatRumah: Jl. Ujung Pandang, Perumahan Permata Permai No. A. 10, RT. 06/RW.01. Kelurahan Sei Jawi, Kecamatan Pontianak Kota, Kota Pontianak, Kalimantan Barat.

Alamat Kantor: Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak. Jl. Lenjen. Soeprato No. 19 Pontianak, Kalimantan Barat.

E-mail: kurnantoedi@yaho.co.id




Dr. H. Hamka Siregar, M.Ag: IAIN Pontianak Mesti Punya Peran dalam Perkembangan Masyarakat Internasional

IAIN Pontianak tidak boleh berhenti berbenah. Kita semua paham, bahwa era globalisasi menuntut adanya kesiapan untuk menghadapi tantangan dan persaingan yang semakin kompetitif, termasuk di bidang pendidikan dan dakwah Islam.

Dalam moment wisuda II IAIN Pontianak, Rabu, 3 Juni 2015, Dr. H. Hamka Siregar, M.Ag, dalam pidato rektor, menyampaikan pandangan ke depan bertekad menjadikan perguruan tinggi ini kelas dunia (world class university) dan perguruan tinggi percontohan (model university) dengan tata kelola yang baik (proper management), beridentitas kerakyatan (populy identity) serta berakar pada sosio-kultur Indonesia (Indonesian sociocultural based).

Menurut Hamka, IAIN Pontianak mesti punya peran secara signifikan dalam perkembangan masyarakat internasional, sehingga diupayakan agar terus meningkatkan kualitas pada semua bidang dan mengarahkannya untuk mencapai posisi strategis.

Saat ini, terangnya, telah dibangun hubungan dan kerjasama luar negeri, IAIN Pontianak sudah mengirimkan mahasiswa untuk kuliah dan kerja lapangan di luar negeri. Tahun ini adalah tahun kedua mengirimkan mahasiswa untuk KKL di Sarawak Malayasia berjumlah 30 orang, sebelumnya pada tahun lalu telah mengirimkan 20 mahasiswa.

Ke depan, Hamka, berencana, akan jajaki Thaiand dan Brunei Darussalam untuk kuliah dan kerja lapangan bagi mahasiswa. Berbagai program ini tidak lantas menampik ciri khas keIslaman dan lokalitas.

Kepada wisudawan, Rektor IAIN Pontianak, mengucapkan selamat. Kita semua sependapat bahwa ilmu yang diperoleh, adalah alat, akan sangat tergantung pada, dan untuk apa, serta bagaimana ilmu tersebut digunakan. Nilai universal dari pemanfaatan ilmu, adalah untuk kemashlahatan umat dan bangsa secara keseluruhan.

Dalam acara tersebut, sebanyak 300 orang yang di wisuda, terdiri dari wisudawan pascasarjana sejumlah 32 orang. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) Jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN Pontianak 179 orang. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) Jurusan Pendidikan bahasa Arab IAIN Pontianak 13 orang.

Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam (FSEI) Jurusan Ekonomi Islam 47 orang. Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam (FSEI) Jurusan Muamalah 7 orang. Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah (FUAD) jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam sejumlah 8 orang. Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah (FUAD) jurusan Bimbingan dan Konseling Islam sejumlah 14 orang.

“Sekaranglah saatnya saudara-saudara mengamalkan ilmu tersebut di masyarakat. Buktikanlah bahwa gelar yang diperoleh menunjukkan kompetensi yang dimiliki. Bentuknya adalah karya nyata”, jelas dia.

Ilmu yang didapat selama dibangku perkuliahan, ringkasnya, hendaklah dimanfaatkan secara positif dan kreatif. Jadilah tokoh-tokoh pembaharu di masyarakat. Berbuatlah yang terbaik untuk umat dan bangsa di manapun kelak saudara/i bekerja.

Para Sarjana IAIN Pontianak adalah duta kampus. Oleh karena itu, dia menitipkan nama kampus ini. Ketika terjun ke masyarakat, maka nama baik IAIN Pontianak akan terbawa. Sebaliknya dari itu, apabila saudara gagal dan terlibat dalam kasus-kasus yang merugikan Negara, nama IAIN Pontianak akan terbawa-bawa pula.

Karena itu para lulusan ingat dan peganglah kuat nilai-nilai agama, nilai-nilai kejujuran, kebenaran dan keadilan. Sebagai pencerminan dari keluhuran budi, kejujuran, kebenaran, dan keadilan apabila digabung dengan kemampuan ilmu pengetahuan serta semangat pengabdian, sebagai wujud nilai kepahlawanan pada masa kekinian, insya Allah akan menjadi amunisi yang besar untuk membangun Indonesia yang lebih baik lagi.

Selain daripada itu, apa yang saudara capai pada hari ini, tidak lepas dari jerih payah kedua orang tua. Setelah wisuda ini, segeralah bersimpuh untuk mengucapkan terimakasih. Jadilah anak yang berbakti pada orangtua, tutup Hamka.




Lailial Muhtifah: Guru yang Professional adalah Guru yang Memiliki Kemampuan Mumpuni dalam Melaksanakan Tugas Jabatan Guru

Dekan Fakultas Tarbiyah dan ilmu Keguruan (FTIK), Dr. Hj. Lailial Muhtifah, M.Pd., mengatakan Pada hari ini Selasa, 2 Juni 2015 peserta yudisium patut bersyukur kepada Allah SWT, karena FTIK kembali melakukan yudisium bagi putra putri kita yang telah menamatkan studinya.

FTIK meyudisium sebanyak 194 orang mahasiswa, yang terdiri dari 181 lulusan pada Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) dan 13 lulusan pada Jurusan Pendidikan Bahasa Arab. Meskipun FTIK telah memiliki 4 Jurusan, namun 2 Jurusan merupakan Jurusan baru yang belum melahirkan lulusan.

Dari waktu ke waktu lulusan dari FTIK terus bertambah terutama dari segi jumlah lulusannya.  Dekan FTIK berharap, penambahan jumlah ini berjalan seiring dengan peningkatan kualitas lulusan dari FTIK.

Kami terus menerus berupaya, ujarnya dalam pidato yudisium, memperbaiki dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan dan pelayanan Pendidikan dan Pengajaran di Lingkungan FTIK, agar lulusan yang dihasil dari lembaga pendidikan ini dapat mencapai setidaknya 4 standar minimal sebagai seorang pendidik yaitu kompetensi pedagogis, kompetensi profesional, kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian.

Menurut Lailial yang akrab disapa Laili, guru yang profesional memiliki kriteria:

Pertama, komtensi pedagogik merupakan kompetensi khas, yang akan membedakan guru dengan profesi lainnya. Kompetensi ini dapat dilihat dari kemampuan guru dalam mengikuti perkembangan ilmu terkini karena perkembangan ilmu selalu dinamis.

Kedua, kompetensi profesional yang harus terus dikembangkan guru dengan belajar dan tindakan reflektif. Kompetensi profesional merupakan kemampuan guru dalam menguasai materi pembelajaran secara luas dan mendalam.

Ketiga, kompetensi sosial bisa dilihat apakah seorang guru bisa bermasyarakat dan bekerja sama dengan peserta didik serta guru-guru lainnya dan civitas akademika di kampusnya untuk mengembangkan kampusnya.

Keempat, kompetensi kepribadian. Kompetensi ini terkait dengan guru sebagai teladan, beberapa aspek kompetensi ini misalnya: (1) dewasa, (2) stabil, (3) arif dan bijaksana, (4) berwibawa, (5) mantap, (6) berakhlak mulia, (7) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, (8) mengevaluasi kinerja sendiri, (9) mengembangkan diri secara berkelanjutan, dan (10) mampu berpikir secara strategis dan mengembangkan strategi-strategi yang efektif untuk mewujudkan visi dan misi hidup anda.

Kami berharap ijazah kesarjanaan yang diterima nantinya terpatri dalam raga sarjana FTIK menjadi  soft-skills untuk mengokohkan dan menguatkan kepribadian Saudara-Saudara dalam bingkai Akhlak Al-Karimah dan Kepribadian “Mukmin Ulul Albab” dalam lingkup visi FTIK IAIN Pontianak.

“Menjadi pusat pengembangan pendidikan dan pengajaran yang ulung, terkemuka dan terbuka dalam riset keagamaan, keilmuan dan kebudayaan borneo”, di tengah era revolusi mental dan persaingan yang sangat ketat di era global ini. Revolusi Mental adalah perubahan cepat dan kerja cepat, dan memiliki komitmen yang tinggi bekerja keras.

Laili berpendapat, Revolusi Mental ini “meniru” cara apa yang telah dilakukan Rasulullah Nabi Muhammad SAW pada jaman jahiliyah dahulu di negeri Arab. Mengapa Revolusi Mental ini sangat penting? Ternyata Mental/Akhlak ini mempunyai kedudukan tertinggi.

Berikut, urai Laili, beberapa hadits Nabi tentang akhlak; (1) “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia”; (2) “Sesungguhnya orang yang terbaik dari kalian adalah orang yang terbaik akhlakny”; (3) “Kaum Mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya (di antara mereka)”; (4) “Pergaulilah manusia dengan akhlak yang mulia”; (5) “Tidak ada sesuatu yang lebih berat timbangannya (di Hari Kiamat) dibanding Akhlak mulia”; (6) “Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat tempatnya denganku pada hari kiamat adalah yang paling mulia akhlaknya”.

Guru yang professional adalah guru yang memiliki kemampuan mumpuni dalam melaksanakan tugas jabatan guru. Laili menyadari betul, di era globalisasi seperti sekarang ini, standar Sumber Daya Manusia (SDM) yang diperlukan sangat tinggi.

Tuntutan persaingan antara berbagai lulusan Perguruan Tinggi yang ada juga sangat tinggi.  Sementara di sisi lain ketersediaan lapangan pekerjaan semakin kompetitif, paparnya. Oleh karenanya, dia terus menerus berbenah dan meningkatkan standar mutu yang ada, mulai dari standar kurikulum, standar proses, standar mutu dosen dan tenaga kependidikannya, standar sarana prasarana hingga standar kelulusan.

Laili menyebut, ini semua merupakan agenda besar, bukan pekerjaan seperti membalik telapak tangan.  Diperlukan kerja keras, kerja cerdas dan kolaborasi semua pihak.  Termasuk dukungan dan partisipasi dari orang tua mahasiswa.  Oleh karenanya, kami senantiasa mendorong kerjasama dari semua elemen yang ada, baik dosen, karyawan, mahasiswa, orang tua dan termasuk pemerintah daerah untuk mendorong peningkatan mutu layanan pendidikan di FTIK.




Syarif: Sejahtera Bersama IAIN Pontianak

Wakil Rektor II IAIN Pontianak bidang Administrasi, Perencanaan, dan Keuangan, Dr. Syarif, MA, mengungkapkan awalnya ia hanya berniat membantu tugas rektor saat pertama kali ditunjuk sebagai wakil rektor. Namun setelah masuk dan bekerja di awal-awal periodenya, pria kelahiran Ketapang, 24 Mei 1971 tersebut ingin mengabdi di IAIN Pontianak dengan visi dan misi yang jelas sebagai pembantu tugas rektor.

“Dari awal saya sudah bicara dengan rektor sejak ditunjuk sebagai Warek II bahwa saya siap membantu dan menerjemahkan visi misi Rektor menjadi program kerja. Visi saya sederhana saja yaitu, sejahtera, tertib, unggul, maju, dan berprestasi. Sejahtera bukan semata-mata urusan financial, tapi sejahtera secara lahir batin”, ucap Syarif.

Kedepan, dia berencana membangun sebuah klinik kesehatan di IAIN Pontianak. Selain klinik kesehatan, ia memaparkan bahwa hal pertama yang ingin dibenahinya sejak menjabat sebagai Warek II adalah bagian keuangan.

Selain kesejahteraan secara fisik, Syarif berupaya untuk para pegawai di IAIN Pontianak juga sejahtera secara ekonomi. Oleh karena itu, hal pertama yang saya lakukan dengan jabatan ini adalah mengefektifkan tata kelola keuangan yang baik.

Segala sesuatunya harus terencana dan terinci dengan baik sehingga setiap pekerjaan bisa dibayarkan tepat pada waktunya. Dia memberi contoh, pengurusan kenaikan pangkat, pembayaran sertifikasi dosen, pembayaran tunjangan, akurasi pembayaran setiap kegiatan.

Jadi, terang Syarif, pertama secara teknis yang saya dilakukannya adalah membenahi tenaga keuangan. Dia sudah mengusahakan jumlah formasi tenaga keuangan untuk CPNS sesuai dengan kebutuhan, namun disayangkan yang disetujui oleh Kemenpan RB hanya dua orang.

Kemudian langkah selanjutnya, untuk meningkatkan kesejahteraan para pegawai, dia akan menaikkan gaji pegawai kontrak minimal kenaikan Rp. 500.000 per orang tahun 2015 mendatang. Namun, hal terpenting dari aspek kesejahteraan ini adalah pembinaan para pegawai baik yang PNS maupun honorer.

Baginya, selain untuk mensejahterakan PNS dan tenaga kontrak, satu hal yang menjadi tantangan dalam pekerjaannya adalah mewujudkan ketertiban dan kebersihan di lingkungan IAIN Pontianak.

Doktor di bidang tafsir yang juga menjabat sebagai Direktur Institut for Indonesian Quranic Studies (IIQS) ini memandang ketertiban dalam segala hal seperti tertib kehadiran, berpakaian, kebersihan, parkir, dan keamanan adalah sangat penting.

Khusus kebersihan gedung dan taman, dia punya rencana untuk melakukan outsourcing dan merekrut orang-orang yang profesional dengan peralatan yang profesional juga. Sehingga kebersihan di lingkungan IAIN Pontianak ini bisa terjaga dengan baik.

Untuk mewujudkan dua hal tersebut, dia berpendapat, perlu ada upaya untuk menumbuhkan kesadaran dalam menjaga kampus yang kita cintai ini secara baik, meskipun belum keluar kebijakan kampus secara tertulis.

Setelah berbicara tentang kesejahteraan dan ketertiban, pria yang menamatkan program magister dan doktoral di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini berkeinginan menjadikan IAIN Pontianak sebagai kampus yang unggul, maju, dan berprestasi.

Dia berpendapat, apabila kesejahteraan dan ketertiban telah terwujud di kampus ini, barulah kita bisa berbicara tentang unggul, maju, dan berprestasi. Unggul dari segi sarana prasarana, dan kepribadian.

“Apabila terwujud tahun depan insyaallah akan dibangun gedung perkuliahan 5 lantai. Kementerian Agama Pusat juga sudah menyetujui dan akan membantu proses pembangunan tersebut. Rencananya gedung 5 lantai tersebut akan jadi pilot project kelas modern yang dilengkapi pendingin ruangan dan LCD Proyektor”, jelas Syarif.

Sedangkan unggul dari sisi kepribadian menurutnya, pegawai kontrak maupun PNS yang berada di bawah naungan Warek II bisa bekerja dengan baik. Kepribadian disini mencakup kejujuran dan keikhlasan dalam bekerja.

Apabila kesemua aspek mulai dari sejahtera, tertib, maju, dan unggul bisa terpatri dalam diri masing-masing pegawai IAIN Pontianak, bukan tidak mungkin kedepan IAIN Pontianak bisa menjadi perguruan tinggi yang berprestasi dan “besar” di Kalimantan Barat.




Arah Kebijakan Wakil Rektor I Bidang Akademik Dan Pengembangan Lembaga IAIN Pontianak 2014-2018

warek 2

Oleh: Dr. H. Hermansyah, M.Ag

Latar Belakang

Perubahan bentuk Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak yang menjadi harapan masyarakat Kalimantan Barat sudah terwujud. Perubahan bentuk itu secara hukum ditandai dengan dikeluarkanya Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2013. Perubahan tersebut tentu disambut gembira oleh masyarakat Kalimantan Barat, terlebih bagi keluarga besar IAIN Pontianak. Kegembiraan menyambut alih status tentu saja tidak boleh berhenti pada sekedar kebanggaan memiliki nama yang besar sejalan dengan semakin luasnya kewenangan itu. Banyak pekerjaan besar baik itu menyangkut kewajiban-kewajiban formal maupun pekerjaan yang berada di wilayah kreativitas dan inovasi.

Menurut hemat penulis, sebuah perguruan tinggi keagamaan khususnya yang bercirikan keislaman di Indonesia setidaknya memiliki misi mendukung pencapaian tujuan pendidikan nasional berbasis nilai keilmuan, keislaman dan keindonesiaan. Nilai keilmuan sudah sewajarnya menjadi basis pengembangan sebuah perguruan tinggi. Dari sini pola pembelajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarkat harus bertumpu. Nilai keislaman menjadi ciri pembeda antara perguruan tinggi keagamaan (Islam) dengan perguruan tinggi non-keagamaan. Perguruan tinggi Islam di Indonesia selain menjadi tempat mempelajari dan mentransformasikan nilai-nilai Islam universal tentu harus membumikan Islam dengan nuansa keindonesaan.

IAIN Pontianak berkeinginan untuk membawa misi tersebut menjadi ruh setiap langkah dan kiprah lembaga ini. Untuk sampai ke sana, IAIN bersama-sama seluruh kekuatannya dan dukungan dari berbagai pihak menyusun program dan langkah-langkah untuk mencapainya. IAIN Pontianak telah merumuskan profil lulusan yang diharapkan seperti menguasai ilmu-ilmu warisan keislaman klasik dan kontemporer, memiliki bekal kemampuan dan keterampilan sebagai seorang Muslim, serta kemampuan beradaptasi dan menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilannya dalam konteks kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Program Kerja

Penulis yang mendapat amanah untuk mengawal arah institusi ini di bidang akademik akan bekerja dengan arah kebijakan prioritas. Secara umum kebijakan prioritas adalah penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat berbasis akreditasi. Arah kebijakan tersebut diturunkan dalam program-program kerja prioritas seperti standarisasi penyelenggaraan perkuliahan minimal standar BAN-PT, standarisasi penyelenggaraan praktikum, layanan akademik, penyelenggaraan penelitian mahasiswa dan dosen, perluasan akses pengabdian bagi setiap dosen, perintisan Kopertais, dan lain sebagainya.

Selain itu, dalam rangka pengembangan lembaga, IAIN memastikan mengawal izin seluruh jurusan/program studi dan akreditasi. Untuk jurusan-jurusan yang potensial didorong untuk segera meningkatkan akreditasinya. Dalam waktu tidak lebih dari 15 tahun yang akan datang, IAIN Pontianak sudah harus berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Oleh karenanya, pembukaan jurusan/prodi baru sudah diarahkan untuk usaha tersebut. Misalnya sesuai dengan kewenangan IAIN yang dapat membuka prodi dari beberapa rumpun ilmu, maka sudah saatnya untuk merintis prodi-prodi umum dan eksak yang merupakan syarat untuk perubahan bentuk IAIN menjadi UIN. Tentu saja dengan harus tetap memperkuat core business IAIN dalam mengelola prodi-prodi agama.

Program Penguatan

Dalam berbagai kesempatan pertemuan dengan orang tua mahasiswa, pengguna alumni IAIN, dan pihak-pihak yang memiliki kepedulian kepada lembaga ini—selain penulis mendengar apresiasi terhadap berbagai prestasi yang sudah dicapai juga ada sejumlah kritik. Diantara kritikan tersebut yang paling mengena adalah kapasitas lulusan IAIN Pontianak sebagai seorang sarjana agama. Sejatinya lembaga yang baik adalah lembaga yang dapat memproses input yang kurang baik menjadi out put yang berkualitas. Oleh karena itu, harus ada rencana dan program untuk mengatasinya. Maka mulai tahun akademik 2014/2015, diadakan program penguatan yang berupa standarisasi kemampuan baca tulis al-Quran. Pelaksanaan program itu diserahkan kepada masing-masing fakultas. Untuk mendukung program tersebut diharapkan semua dosen dapat mendukung dengan sebelum memulai materi perkuliahan jam pertama dengan mengajak mahasiswa untuk membaca al-Quran selama kurang lebih 20 menit.

Penutup

Semua rencana dan program kerja yang banyak di atas hanya mungkin terwujud jika seluruh warga IAIN, berfikir dan bekerja untuk itu. Semua sumber daya dan kegiatan harus dirancang untuk mewujudkan harapan dan cita-cita tersebut. Jika tidak semuanya hanya tinggal cita-cita. Namun demikian, sumber daya yang terbatas maka program kerja di atas akan dilaksanakan secara bertahap.

Versi tulisan lengkap artikel ini dapat dibaca kolom artikel di www.hermansyah.iainptk.ac.id




Perguruan Tinggi Agama Islam yang Berkemajuan dan Berkarakter Di Era Global

H Hamka Siregar

Oleh: Dr. H. Hamka Siregar, M.Ag

H Hamka Siregar#2Mendiskusikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) hari ini sebagai sebuah lembaga pendidikan cukup menarik. Melihat dan menyikapi perkembangan PTAI saat ini tentulah ada semacam kebanggaan atau apresiasi. Awalnya, sebagaimana jamak dipersepsikan oleh orang awam, PTAI adalah perguruan tinggi yang kurang berkualitas. Sering dipercakapkan bahwa PTAI adalah Perguruan Tinggi kelas dua. Sudah barang tentu, mahasiswanya pun adalah orang-orang yang berasal dari kalangan dan segmen tertentu. Tetapi, saat ini, persepsi seperti itu, sudah harus diralat karena sudah tidak sesuai dengan faktanya. Sekarang PTAI telah berkembang sedemikian rupa yang, dalam ukuran tertentu, melampaui harapan. Cukup banyak dari PTAI sekarang ini yang kualitasnya tidak kalah dengan perguruan tinggi lainnya di tanah air.

Sisi kualitas ini, sebagaimana disebutkan di atas, berkembang seiring dengan perubahan waktu. Perubahan ini tentu menggembirakan dan membanggakan kita semua, khususnya umat Islam Indonesia. Pandangan atau persepsi masyarakat, sebagaimana dikemukan di atas, secara perlahan juga mengalami pergeseran. Bahkan, beberapa di antara PTAI saat ini, menjadi perguruan tinggi favorit yang banyak diminati oleh mahasiswa-mahasiswa baru. Sebut saja seperti Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, UIN Yogyakarta, UIN Malang, –dulu masih berstatus IAIN dan STAIN—merupakan kampus idola baru. Tidak mengherankan jika kampus-kampus ini juga saat ini menjadi pilihan banyak mahasiswa dari berbagai negara, khususnya dari negara-negara Islam.

Satu hal yang perlu digarisbawahi bahwa perkembangan PTAI di Indonesia hari ini, tidak terlepas dari perubahan kelembagaan. Perubahan yang dimaksud adalah perguruan tinggi agama, dulunya semata-mata menekuni ilmu-ilmu keagamaan, menjadi perguruan tinggi yang juga menekuni ilmu-ilmu umum. Universitas-universitas Islam di bawah payung PTAI telah membuka fakultas-fakultas umum, seperti kedokteran, komunikasi dan cabang ilmu-ilmu sains lainnya. Pembukaan fakultas-fakultas tersebut menjadi momentum, berakhirnya dikotomi keilmuan yang selama ini menjadi hambatan dan sering diperdebatkan.

Dalam perspektif Islam, Muhammad Ali berpendapat bahwa integrasi ini setidaknya memuat dua hal penting: Pertama, secara akademik perlu dikembangkan sikap saling memahami atau mutual understanding untuk memperkuat tukar menukar informasi yang substantif dan relevan antara sains dan agama. Pertukaran informasi dimaksud untuk menghasilkan bangunan atau kontruksi filosofis tentang konsepsi-konsepsi rasionalitas dan terhadap arah bagi keputusan-keputusan praktis. Kedua, tidak hanya sekedar perbincangan akademik tetapi juga diharapkan secara kultural bahwa integrasi ini menjadi kesadaran bersama. Dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama sudah tidak relevan untuk dipraktekkan sebagaimana pernah terjadi pada lembaga pendidikan Islam (PTAI).

Perubahan kelembagaan ini, otomatis mendorong PTAI melakukan perubahan, baik pada sisi fisik–sarana dan prasarana pendidikan—maupun sisi manajemen. Dengan demikian, orientasi PTAI pun mengalami pergeseran. Tetapi, pergeseran tersebut, bukan berarti PTAI meninggalkan ciri khasnya sebagai perguruan tinggi keagamaan. Justru, PTAI harus tetap setia pada fitrahnya sebagai perguruan tinggi agama, meskipun mendalami sains.

Momentum perkembangan PTAI saat ini harus dimanfaatkan secara maksimal. PTAI tidak boleh berhenti berbenah. Era globalisasi adalah era yang menghadirkan berbagai tantangan. Oleh karena itu, harus disadari bahwa era globalisasi menuntut adanya kesiapan untuk menghadapi tantangan dan persaingan yang semakin kompetitif. Sejatinya, era globalisasi telah merubah peta ruang dan waktu. Sejalan dengan itu, PTAI harus terus meningkatkan kualitas diri agar dapat melahirkan lulusan-lulusan yang berkualitas. Mengutip pendapat Hujair AH. Sanaky yang menyebutkan bahwa tujuan pendidikan sebagai sistem dan cara untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspek kehidupan.

Selain itu, PTAI idealnya tidak hanya unggul dalam penguasaan sains-sains modern, tetapi juga dapat melahirkan pribadi-pribadi yang berkarakter. Hal ini relevan dengan tujuan Pendidikan Nasional. Pasal I Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 yang memuat bahwa tujuan pendidikan nasioanl adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk mempunyai kecerdasan, kepribadian, dan akhlak yang mulia. Untuk tujuan ini, hal yang penting dikerjakan dalam konteks ini adalah: pertama, merumuskan kembali tujuan pendidikan ke arah pendidikan karakter; kedua, menyusun kurikulum PTAI yang berbasis pendidikan karakter; dan ketiga, menerapkan model pembelajaran yang berkarakter.