Sambutan Plt. Rektor IAIN Pontianak Pada Acara Peresmian IAIN Pontianak

Oleh: Drs. H. Rustam A., M.Pd.

plt rektor

Pertama-tama marilah kita bersyukur kepada Allah SWT, atas karunia-Nya, kita bersama-sama dapat menghadiri momentum yang bersejarah dan membahagiakan ini, yakni peresmian IAIN Pontianak yang telah lama dinanti-nantikan. Semoga kegiatan ini mendapatkan berkah kemuliaan dari Allah SWT. Shalawat dan salam kita haturkan kepada nabi Muhammad Saw, sahabat, keluarga dan pengikutnya yang setia. Mudah-mudahan kita dapat meneladani beliau dalam kehidupan sehari-hari. Aamiin!

 

Bapak Wakil Menteri Agama yang kami muliakan dan hadirin yang berbahagia.

Melalui kesempatan ini saya mewakili seluruh civitas akademika IAIN Pontianak, mengucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya atas kesediaan Bapak Wakil Menteri Agama, untuk meresmikan IAIN Pontianak. Kehadiran Bapak Wakil Menteri Agama merupakan sebuah kebanggaan bagi kami dan akan menjadi kenangan terindah bagi kami masyarakat kampus khususnya dan masyarakat Kalimantan Barat pada umumnya.

Terima kasih yang dalam juga perlu kami sampaikan kepada seluruh hadirin para undangan yang berkenan menghadiri dan menjadi saksi atas peresmian IAIN Pontianak ini.

 

Bapak Wakil Menteri Agama yang kami hormati dan hadirin yang berbahagia.

Masyarakat Kalimantan Barat sudah lama mendambakan alih status STAIN menjadi IAIN Pontianak. Kini mimpi tersebut telah terwujud dengan terbitnya Peraturan Presiden Republik Indonesia, Nomor 53 Tahun 2013, tanggal 30 Juli 2013 tentang Perubahan STAIN Pontianak menjadi IAIN Pontianak. Alhamdulillah rasa syukur dan kebahagiaan tersebut semakin bertambah dengan peresmian IAIN Pontianak oleh Bapak Wakil Menteri Agama pada hari ini, dirangkaikan dengan peresmian gedung Sport Center IAIN Pontianak, launching terjemahan al-Qur’an dalam bahasa Dayak Kanayatn kerjasama Puslitbang Lektur dan Khazanah Kementerian Agama RI dengan IAIN Pontianak dan launching buku karya dosen IAIN Pontianak.

Perjalanan STAIN Pontianak menjadi IAIN Pontianak begitu panjang. Dirintis tahun 1965 yang diketuai oleh A. Muin Sanusi sebagai Walikotamadia Pontianak dan dewan kurator yang diketuai Brigjend Ryacudu Pangdam XII Tanjungpura. Dilanjutkan oleh Gubernur Brigjen Kadarusno, terbentuklah Fakultas Tarbiyah Cabang IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 6 Agustus 1969.

Dua puluh delapan (28) tahun kemudian melalui Keputusan Presiden RI No. 11 tanggal 21 Maret 1997, Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta di Pontianak, bersama-sama 32 Fakultas jauh IAIN lainnya se-Indonesia, berubah menjadi STAIN. Sejak itu STAIN Pontianak memperoleh kesempatan untuk mandiri dan tidak lagi bergantung kepada IAIN induk.

Alih status STAIN menjadi IAIN Pontianak diperjuangkan hampir 10 tahun. Upaya tersebut sudah dimulai sejak kepemimpinan Dr. H. Moh. Haitami Salim, M.Ag sebagai Ketua STAIN Pontianak. Ketika itu, dukungan secara tertulis dari Gubernur Kalbar Usman Ja’far, seluruh Walikota/Bupati se-Kalbar, DPRD se-Kalbar dan seluruh stakeholders sepakat IAIN mesti segera diperjuang­kan dan diwujudkan. Alhamdulillah pada kepemimpinan Dr. H. Hamka Siregar, M.Ag, mimpi yang sudah lama itu dapat terwujud.

Adanya dukungan dari Walikota Pontianak, H. Sutarmidji, SH.M.Hum, yang memberikan bantuan penyediaan tanah untuk lahan kampus 2, visitasi dari Kementerian Agama hingga audiensi Forum Pimpinan PTAIN se-Indonesia dengan Presiden RI, pada tanggal 23 Juli 2013 di Istana Negara mempermudah jalan tersebut. Forum mendesak agar Presiden RI segera menyetujui peningkatan status PTAIN dari STAIN menjadi IAIN dan IAIN menjadi UIN. Seminggu berikutnya, Presiden RI menyetujui lima STAIN menjadi IAIN, yaitu IAIN Tulungagung, IAIN Palu, IAIN Padang Sidempuan, IAIN Pontianak, dan IAIN Ternate, dan perubahan IAIN Aceh dan IAIN Surabaya menjadi UIN.

Kami sadari, prestasi sejarah perubahan STAIN Pontianak menjadi IAIN Pontianak dapat terwujud berkat dukungan semua pihak; Presiden RI, Menteri Agama, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kota Pontianak, Pemerintah Kabupaten se-Kalbar, ulama, tokoh agama, tokoh masyarakat, tim visitasi Kementerian Agama, dan panitia alih status. Untuk itu melalui kesempatan ini, kami menyampaikan ucapan terima kasih atas dukungan dan kerjasama semua pihak yang telah berkontribusi mewujudkan mimpi dan harapan masyarakat Kalimantan Barat ini. Semoga semua yang telah kita lakukan mendapatkan nilai ibadah di sisi Allah SWT. Aamiin!




Wujudkan Mimpi Masyarakat Kalimantan Barat

Peresmian IAIN Pontianak oleh Wakil Menteri Agama RI

Dr. Nasarudddin Umar

Masyarakat Kalimantan Barat (Kalbar) sudah lama mendambakan perubahan status Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak. Kini mimpi tersebut telah terwujud dengan terbitnya Peraturan Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, Nomor 53 Tahun 2013, tanggal 30 Juli 2013 tentang Perubahan STAIN Pontianak menjadi IAIN Pontianak.

Perjalanan STAIN Pontianak menjadi IAIN Pontianak begitu panjang. Adanya dukungan dari Walikota Pontianak, Sutarmidji, SH.M.Hum yang memberikan bantuan penyediaan tanah untuk kampus IAIN, visitasi dari Kementerian Agama hingga audiensi Forum Pimpinan PTAIN se-Indonesia dengan Presiden RI, 23 Juli 2013 di Istana Negara mempermudah jalan tersebut. Forum mendesak agar Presiden RI segera menyetujui peningkatan status PTAIN dari STAIN menjadi IAIN dan IAIN menjadi UIN. Seminggu berikutnya, Presiden RI menyetujui lima STAIN menjadi IAIN, yaitu IAIN Tulungagung, IAIN Palu, IAIN Padangsidempuan, IAIN Pontianak, dan IAIN Ternate.

Sejarah STAIN Pontianak bermula dengan dibentuknya Yayasan Sadar pada tahun 1965 yang diketui oleh A. Muin Sanusi, Walikotamadia Pontianak dimasa itu. Selain yayasan, dibentuk pula Dewan Kurator yang diketuai Brigjend Ryacudu, Pangdam XII Tanjungpura. Dalam yayasan dan dewan kurator itulah para ulama, aparatur pemerintah daerah dan masyarakat Kalbar merajut asa dan mewujudkan cita-cita agar daerah ini berdiri sebuah lembaga pendidikan tinggi agama Islam. Terbentuklah Fakultas Tarbiyah Cabang IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta berdasarkan SK Menteri Agama No. 26 tahun 1969, pada tanggal 6 Agustus 1969.

Delapan tahun kemudian berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI No.65 tahun 1982 istilah cabang dihilangkan menjadi Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Pontianak. Mulai saat itu, memiliki kewenangan untuk menghasilkan sarjana penuh, yang sebelumnya hanya diperkenankan melahirkan Sarjana Muda. Lima belas tahun kemudian, melalui Keputusan Presiden RI No. 11 tanggal 21 Maret 1997, Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta di Pontianak, bersama-sama 32 Fakultas Jauh IAIN lainnya se-Indonesia, berubah menjadi STAIN. Sejak itu STAIN Pontianak memperoleh kesempatan untuk mandiri dan tidak lagi bergantung kepada IAIN induk.

Ikhtiar perubahan STAIN Pontianak menjadi IAIN Pontianak sudah ditancapkan sejak kepemimpinan Dr. H. Moh. Haitami Salim, M.Ag sebagai Ketua STAIN Pontianak. Dukungan dari Gubernur Kalbar Usman Ja’far dan seluruh Walikota/Bupati se-Kalbar dan seluruh stakeholder sepakat IAIN mesti segera diperjuangkan dan diwujudkan. Ketika itu proposal usulan STAIN Pontianak menjadi IAIN “Khatulistiwa” Pontianak sudah diajukan   ke Departemen Agama sejak tahun 2005.

Estafet kepemimpinan Dr. H. Moh. Haitami Salim, M.Ag berakhir dan dilanjutkan Dr. H. Hamka Siregar, M.Ag. Saat dilantik menjadi Ketua STAIN Pontianak pada tanggal 12 Maret 2010 di Jakarta, Dr. H. Hamka Siregar, M.Ag bertekad untuk mewujudkan cita-cita kepemimpinan sebelumnya yang belum tercapai. Cita-cita tersebut yaitu; Pembukaan Program Pascasarjana, Pembangunan gedung asrama mahasiswa (Ma’had Ali) dan Perubahan STAIN Pontianak menjadi IAIN Pontianak. Berkat dukungan semua pihak, alhamdulillah ketiga mimpi besar tersebut terwujud di masa kepemimpinan Dr. H. Hamka Siregar, M.Ag. Peresmian IAIN Pontianak dilaksanakan hari Selasa, 1 April 2014 oleh Wakil Menteri Agama RI, Prof. Dr. Nasaruddin Umar di kampus IAIN Pontianak.




Remunerasi antara Harapan dan Kenyataan…?

suhaimi

Oleh : Suhaimi, S. Ag., M. Pd (Kepala Unit Perencanaan STAIN Pontianak)

Issue remunerasi di instansi pemerintah sampai saat ini masih menjadi berita yang hangat untuk dibicarakan khususnya dikalangan pegawai administrasi dan struktural, meskipun sebagian besar Kementerian/lembaga, telah diberlakukan remunerasi dengan passing grade yang bermacam-macam, akan tetapi lain halnya dengan Kementerian Agama yang sampai saat ini belum dapat diberlakukan remunerasi dengan berbagai macam alasan. Salah satu alasannya adalah hasil penilaian audit kinerja Kementerian Agama yang masih dibawah standar.

Sesungguhnya remunerasi bukanlah bagian utama dari Reformasi Birokrasi, karena tujuan dari Reformasi Birokrasi adalah perbaikan dan peningkatan mutu pelayanan instansi pemerintah serta perbaikan kinerja. Akan tetapi bagi para pegawai Negeri Sipil (baca : pegawai administrasi dan struktural) hal ini yang ditunggu-tunggu karena remunerasi merupakan salah satu program untuk memperbaiki kesejahteraan para PNS ini, setidaknya menghilangkan kesenjangan dengan tenaga fungsional (baca : Dosen, Guru dan Pengawas).

Program Remunerasi PNS ini sudah dimulai sejak tahun 2007 dimana Kementerian Keuangan menjadi Instansi pertama yang menikmati remunerasi dengan passing grade 100%, dan menjadi Pilot Project.  Pemberlakuan remunerasi terhadap Kementerian Keuangan ini, justru menimbulkan reaksi negatif bagi kementerian lain yang belum mendapatkan remunerasi, sebagai sesama abdi negara semestinya mendapatkan perlakukan yang sama. Oleh karena itu hal ini semacam ini perlu mendapatkan penjelasan secara lebih detail, sehingga tidak menimbulkan persepsi yang berlebihan.

Untuk memperoleh gambaran Progres Reformasi Birokrasi Kementerian/Lembaga yang diusulkan menerima tunjangan kinerja Tahun 2013-2014 maupun K/L yang belum, perlu diuraikan secara kronologis. Sebelumnya penting dimengerti proses pengajuan usulan reformasi birokrasi untuk mengetahui sejauh mana usulan tersebut disetujui:

  1. Kementerian/Lembaga mengajukan Dokumen Usulan dan road map Reformasi Birokrasi Kepada Kemenpan dan RB.
  2. Kemenpan RB melakukan penilaian kesiapan program Reformasi Birokrasi :
  3. Penilaian dokumen usulan K/L
  4. Penilaian dokumen Road Map dan Quick Wins
  5. Pengecekan kelengkapan lampiran dokumen usulan dan road map, dan
  6. Verifikasi lapangan

Ada 3 (tiga) aspek pertama penilaian dilakukan dengan Desk Analysis pada kelengkapan dan kualitas isi, baru kemudian dilakukan langkah selanjutnya yaitu verikasi lapangan.

Verifikasi lapangan bisa dilakukan jika penilaian dokuman maupun kelengkapan sudah memenuhi syarat. Pelaksanaan verifikasi lapangan melalui metode wawancara dan observasi dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana implementasi dan pemahaman reformasi birokrasi  di K/L tersebut.

Tahun 2012 hampir semua K/L sudah mengajukan usulan reformasi birokrasi tepatnya ada tambahan 22 K/L yang sedang diproses. Ke-22 K/L tersebut adalah:

Kemenag, KemenSDM, BSN, Badan Informasi Geospasial, Kemensos, Basarnas, Setjen Ombudsman, Setjen DPD, Setjen KY, BNPB, BPN, Kemenkominfo, BMKG, Bakorkamla, BNP2TKI, Kemen PDT, Perpusnas, BIN, Setjen DPR, Kemenkop UKM, Setjen MPR, dan Setjen Komnas Ham

Selama tahun 2012 Kemenpan melakukan penilaian terhadap semua usulan reformasi birokrasi berdasarkan syarat dan parameter yang sudah ditentukan. Terhadap usulan RB yang sudah lengkap, periode pelaksanaan verifikasi lapangan dilakukan bulan Agustus – Oktober 2012.

Hasil penilaian kemudian diajukan kepada Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional (KPRBN), berikut hasilnya:aftar 10 K/L Lolos Passing Grade Diusulkan Menerima Tunjangan Kinerja tahun 2014:Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, Badan Standarisasi Nasional, Badan Informasi Geospasial, Kementerian Sosial, Badan SAR Nasional, Setjen Ombudsman, Setjen DPD, Setjen KY, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Daftar nama-nama Kementerian diatas hasil penilaian yang dilakukan oleh Kementerian PAN pada tanggal 21 Juni 2013 yang lalu, tentu saja kita berharap ada upaya perbaikan yang dilakukan Kementerian Agama untuk supaya remunerasi dapat dilakukan pada tahun 2014. Sebagai ilustrasi berikut hasil perhitungan remunerasi STAIN Pontianak dengan passing grade 60%.

PROYEKSI GRADING
27. STAIN PONTIANAK
No Peringkat Es I Es II Es III Es IV JFT JFU Jumlah Tarif 60% 60%

(1 Bulan) 117——-27.577.500-216——-24.405.000-315——-18.075.000-414——-15.997.500-513——-14.160.000-612–1—19.277.5009.277.500711——-7.770.000-810——-7.020.000-99—2–25.197.50010.395.000108——-4.522.500-117—–443.930.00015.720.000126—–54543.277.500176.985.000135—–17172.482.50042.202.500144——-2.107.500-153——-1.740.000-162——-1.365.000-171——-1.172.250-  –12-7578150.077.250254.580.000        SETAHUN  3.054.960.000

Harapan untuk terealisasinya remunerasi sangat besar. Oleh karena itu harapan untuk terjadi perbaikan kinerja dengan ukuran penilaian yaitu disiplin, tugas (Job Discription) dan hasil pekerjaan yang dapat diukur juga menjadi tuntutan yang harus dipenuhi ketika remunerasi diberlakukan. Sudah siapkah kita…? Allahu a’lam bi shawab…




IAIN Pontianak Menatap Masa Depan

Tanya Jawab bersama Dr. H. Hamka Siregar, M.Ag
(Ketua STAIN Pontianak)

 

Apa yang menginspirasi Bapak untuk mewujudkan alih status IAIN Pontianak?

Sejak diamanahkan sebagai Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak dilantik oleh Menteri Agama Republik Indonesia, Suryadharma Ali pada 12 Maret 2010 di Jakarta, saya punya mimpi-mimpi besar tentang STAIN Pontianak. Meskipun disebut mimpi, sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru sama sekali. Mimpi-mimpi tersebut telah dirintis sejak era kepemimpinan terdahulu, yaitu Bapak Moh. Haitami Salim. Pertama, keinginan untuk memiliki Program Pascasarjana; kedua; mempunyai Ma’had Ali/Rusunawa; dan ketiga, alih status STAIN Pontianak menjadi IAIN. Alhamdulillah, berkat kerja keras, doa dan dukungan dari seluruh civitas akademika serta masyarakat Kalimantan Barat, ketiga mimpi besar tersebut tercapai.

Pertama, Program Pascasarjana dapat terwujud dengan diterbitkannya Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor: Dj.I/806/2010 tentang Izin Penyelenggaraan Program Studi Strata Dua Pendidikan Agama Islam pada STAIN Pontianak pada tanggal 22 Nopember 2010. Sekarang, Pasca STAIN Pontianak sudah mewisuda beberapa orang. Ini pembuktian bahwa kita mampu menyelenggarakan proses pendidikan dengan baik apabila kita diberi kepercayaan yang, selama ini, seolah-olah kita tidak atau dipandang belum layak.

Kedua, mimpi memiliki Rusunawa. Saat ini Rusunawa sudah berdiri berkat bantuan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan dukungan semua pihak. Rusunawa ini akan kita jadikan sebagai Ma’had Ali untuk menempa skill berbahasa Arab dan Inggris dan Pembinaan Keagamaan bagi mahasiswa baru. Semoga mulai tahun ini, asrama mahasiswa tersebut dapat difungsikan.

Ketiga, mimpi perubahan STAIN Pontianak menjadi IAIN juga sudah terwujud dengan terbitnya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2013 tentang Perubahan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pontianak menjadi Institut Agama Islam Negeri Pontianak. Pada tanggal 30 Juli 2013 dan diundangkan di Jakarta pada tanggal     6 Agustus 2013 pada Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2013 nomor 123. Sekarang, kita menunggu proses berikutnya yaitu menunggu Peraturan Menteri Agama RI tentang Organisasi dan Tata Kerja IAIN Pontianak. Sembari menunggu Ortaker yang baru, kita sedang menggodok draf Statuta IAIN Pontianak. Mudah-mudahan diakhir tahun ini semuanya bisa selesai.

Bisakah Bapak bercerita sedikit tentang momen atau pencapaian yang berkesan selama proses menuju alih status IAIN Pontianak?

Sekadar informasi, sebelum dikeluarkannya Peraturan Presiden tersebut, ada proses panjang yang harus dilalui dan tidak mudah. Saya sebagai Sekretaris Forum Rektor/Ketua PTAIN se-Indonesia, berusaha mengakslerasi agar proses alih status ini tidak jalan di tempat. Dengan jabatan tersebut, saya dan kawan-kawan mendorong Forum Rektor untuk beraudiensi dengan Presiden RI yang pada waktu itu kelihatannya ada peluang. Masalah kebangsaan yang sedang menjadi sorotan publik memudahkan untuk bertemu dengan presiden. Puncaknya, Rektor/Ketua PTAIN diterima oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara pada 23 Juli 2013, yang ketika itu dihadiri oleh Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Sekretaris Kabinet dan beberapa menteri lainnya. Di kesempatan yang baru pertama kalinya dalam sejarah tersebut, Forum mendesak presiden untuk meningkatkan status STAIN menjadi IAIN. Dan, alhamdulillah tak lama berselang, Peraturan Presiden tentang perubahan status tersebut terbit.

Di samping capaian-capaian disebut di atas, kita juga telah membuka tiga program studi baru, yaitu Program Studi Perbankan Syari’ah, Program studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir serta Program studi Manajemen Dakwah. Saat ini masih dalam proses pengajuan proposal pembukaan beberapa program studi baru lainnya. Kita berharap dengan dibukanya beberapa program studi baru ini dapat mendorong perkembangan IAIN Pontianak kedepannya. Dengan alih status dan pembukaan program studi baru, animo anak-anak bangsa di daerah ini untuk menimba ilmu di kampus IAIN Pontianak kelihatan bergerak naik. Sekarang, jumlah pendaftar PCMB STAIN Pontianak dari tahun ke tahun semakin meningkat. Artinya, masyarakat menaruh harapan yang besar terhadap IAIN sebagai satu-satunya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri di Kalimantan Barat ini.

Selanjutnya, sesuatu yang pantas juga untuk dibanggakan adalah gedung olahraga yang ada di kampus ini. Gedung ini juga hanya dimiliki oleh segelintir PTAIN di Indonesia. Kelihatannya, keberadaan gedung olahraga ini cukup mendongkrak minat dan talenta mahasiswa di bidang olahraga. Terbukti, pada Pekan Ilmiah Olahraga Seni dan Riset (PIONIR) ke-VII di IAIN Banten bulan Agustus lalu, STAIN Pontianak menempati posisi ke-8 dari 53 PTAIN Se-Indonesia. STAIN Pontianak merupakan satu-satunya PTAIN luar Jawa yang masuk 10 besar event bergengsi tersebut. Selain di bidang olahraga, kita juga membentuk club akademik; club al-Qur’an, club bahasa Arab, club bahasa Inggris dan club menulis. Untuk club terakhir (baca: club menulis) juga membanggakan karena dalam tempo kurang dari empat tahun sejak dibentuk, telah melahirkan karya 80-an buku hasil tulisan para mahasiswa yang tergabung dalam club ini.

Kemudian sesuatu yang patut kita syukuri adalah adanya peningkatan jumlah beasiswa bagi mahasiswa IAIN Pontianak. Beasiswa Bidik Misi 2013 berjumlah 29 orang; Beasiswa dari Bank Indonesia 40 orang sebesar 3.000.000/tahun. Beasiswa Mandiri Prestasi 20 orang sebesar 12.000.000/tahun; Beasiswa Mandiri Miskin 10 orang sebesar 6.000.000/tahun; Beasiswa Kemenag untuk Madrasah Aliyah ke PTAIN 12 orang sebesar 6.000.000/tahun; Beasiswa Baznas 13 orang sebesar 1.500.000/orang; Beasiswa Supersemar 9 orang sebesar 2.400.000/tahun; Beasiswa DIPA 2013 sebanyak 631 orang sebesar 2.000.000/tahun totalnya 1.262.000.000. Jadi total jumlah mahasiswa yang mendapat beasiswa di IAIN Pontianak pada tahun 2013 ini 764 orang.

Apa harapan Bapak terhadap IAIN Pontianak dimasa mendatang?

Ke depan, masih banyak agenda yang tidak kalah pentingnya untuk segera dituntaskan. Proses hibah tanah yang diberikan oleh Walikota Pontianak, Bapak H. Sutarmidji, M.Hum berdasarkan surat nomor: 591/876/TU UMUM pada tanggal 13 Desember 2012. Insyaallah, lahan ini akan kita jadikan untuk Kampus II IAIN Pontianak. Kemudian sekarang ini kita sedang dalam tahap pembangunan gedung Auditorium sekaligus masjid yang dapat menampung keperluan agenda-agenda besar IAIN ke depannya.

saya sadar betul bahwa apapun prestasi yang telah diraih tak mungkin terwujud tanpa bantuan, dukungan dan doa seluruh civitas akademika IAIN Pontianak. Keberhasilan ini adalah keberhasilan kita bersama. Semoga semua kerja-kerja yang kita lakukan untuk kebajikan apapun bentuknya menjadi amal jariyah sebagai bekal kita menuju kehidupan di akhirat kelak. Aamiin.




Alih Status Momentum Transformasi

PPMP#3

Oleh: Eka Hendry, Ar. M.Si

Keberadaan STAIN Pontianak harus dilihat dalam 2 kerangka, yaitu sebagai institusi pendidikan tinggi formal berbasis keagamaan dan juga harus dilihat sebagai asset atau kekayaan yang dimiliki oleh Kalimantan Barat. Kekayaan, tidak semata bagi umat Islam, akan tetapi juga asset bagi daerah. Tentu kekayaan yang dimaksud adalah secara substansial bahwa, kampus ini harus terus-menerus men-create generasi-generasi terdidik dan tercerahkan (setidaknya) bagi daerah ini. Generasi-generasi terdidik dan tercerahkan dibutuhkan untuk meneruskan dan mengembangkan daerah ini di masa depan. Kemudian dari kampus ini juga harus terus menerus dihasilkan karya-karya ilmu pengetahuan yang berguna bagi masyarakat dan kemanusiaan. Inilah sesungguhnya dari makna kampus ini sebagai aset atau kekayaan umat dan daerah.

Menyadari bahwa, institusi ini merupakan kekayaan, maka perlu ada kesadaran baru atau pembaharuan tekad (renewal of obsession) dari para civitas akademika STAIN Pontianak untuk menata ulang cara berpikir, berstrategi, bersikap dan bertindak untuk kemajuan lembaga. Mengelola lembaga ini tidak bisa lagi dengan cara biasa (conventional ways) akan tetapi membutuhkan lompatan-lompatan besar untuk keluar dari kotak kebiasaan (out of box). Tentu saja lompatan secara rasional, kontekstual, berani dengan segala resiko (risk taking calculation) dan cermat serta cepat dalam memanfaatkan capaian-capaian ilmu IPTEK (leafroging advantages).

Insyallah, sekiranya ijin perubahan bentuk menjadi IAIN terwujud tahun ini (2013) maka ini akan menjadi milestone dan sekaligus momentum bagi civitas akademika STAIN Pontianak untuk melakukan tranformasi. Karena sejatinya, perubahan bentuk bukan sekedar transformasi institusional saja, akan tetapi tuntutan sesungguhnya dari negara dan masyarakat adalah transformasi kualitas penyelenggaraan Tri Dharma. Sekiranya momentum alih status ini tidak dikelola secara benar, bisa-bisa mengalami “sindrom reformasi”, yaitu semua energi dihabiskan untuk mencapai alih status, tapi manakala alih status telah tercapai, kita mengalami diorientasi alias bingung harus berbuat apa lagi.

Harus kita sadari sedari awal, kelak alih status akan banyak menghadirkan “kejutan-kejutan”, seperti anggaran DIPA yang jauh lebih besar ketimbang Sekolah Tinggi, jabatan-jabatan yang harus diisi dengan konsekwensi logis penambahan pendapatan dan kejutan-kejutan lainnya. Namun di sisi lain, materi yang jauh lebih “melimpah” terkadang malah “menumpulkan” kreatifitas dan kecerdasan melihat peluang perubahan ke arah yang lebih baik.   Dugaan penulis, 3 hingga 5 tahun pertama, kita semua akan dihinggapi euphoria perubahan bentuk, tentu saja dengan ekspresi yang beragam.   Buntutnya adalah perubahan bentuk hanya akan menjadi perubahan yang berderajat peripheral (atau simbolik) yang tidak menyentuh substansial (atau hal-hal yang fundamental). Warning ini perlu penulis kemukakan, agar menjadi bahan pemikiran dan perenungan kita bersama.

Oleh karenanya, maka memperbaharui obsesi dan cita-cita harus kita lakukan dan kita harus membuat lompatan-lompatan besar di masa depan. Menurut hemat penulis setidaknya ada 3 pilar yang harus dikokohkan di masa depan, yaitu:

Pertama, pilar universitas yang memproduksi pengetahuan (Knowledge Production University). Kampus ini sudah selayaknya bukan sekedar menjadi kampus penyambung lidah para ilmuan klasik dengan ilmuan kontemporer (terutama dalam bidang keagamaan). Akan tetapi sudah saatnya kita berpikir untuk menjadi kampus yang memproduksi pemikiran, gagasan dan model-model baru yang lebih up to date dalam bidang sosial dan keagamaan (sebagai nomenklatur keilmuan Sekolah Tinggi atau Institut Keagamaan). Manifestasinya, dosen dan mahasiswa harus didorong untuk “mencipta” atau memproduksi gagasan-gagasan dan model-model baru dalam hal pembelajaran, pengajaran maupun interpretasi praktis ajaran-ajaran keagamaan dalam konteks sosial kemasyarakatan. Mind set pengajaran di kampus ini harus diorientasikan pada semangat pembacaan kritis terhadap khazanah ilmu pengetahuan klasik dan kontemporer serta semangat eksplorasi dan penemuan (exploration and invention) hal-hal baru yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Ini memang sebuah proyek besar, membutuhkan banyak energi, modal dan couriosity yang kuat serta dalam waktu yang tidak singkat.

Kedua, Pilar Kampus Riset. Untuk menopang terwujudnya spirit produksi pengetahuan maka harus ada kebijakan yang bersifat serius dari pimpinan untuk mendorong penguatan pada bidang riset, baik di kalangan dosen maupun mahasiswa. Manifestasi penguatan tersebut berupa dukungan budgeting yang memadai, penguatan kapasitas para dosen dalam bidang penelitian, affirmative action untuk mendorong kompetisi dalam bidang penelitian, diversifikasi bidang dan masalah penelitian, publikasi ilmiah hasil-hasil penelitian sehingga dapat diakses oleh masyarakat secara luas. Budget “sarung pendek” dalam bidang penelitian dipastikan tidak akan menghasilkan penelitian yang berkualitas dan mendalam, maka wajar saja penelitian-penelitian yang ada masih jauh dari harapan.   Penguatan riset ini sangat strategis dalam rangka meningkatkan nilai kompetitif dari lembaga pendidikan serta sebagai ujung tombak dalam menterjemahkan visi dan misi STAIN/IAIN, menjadi pusat studi dan pengembangan budaya Islam lokal. Sejauh ini, visi ini masih mengawang-awang antara langit dan bumi, belum terbumikan secara konkrit dalam bentuk produk-produk keilmuannya. Obsesi kita bagaimana menjadikan STAIN/IAIN Pontianak nantinya dapat menjadi salah satu “kiblat” ilmu pengetahuan sosial keagamaan di Kalimantan (khususnya) maupun di Indonesia (pada umumnya).

Ketiga, Pilar Jaringan Kerjasama. Pilar ketiga yang harus diperkuat dalam rangka menyangga lembaga yang akan memproduksi pengetahuan adalah memperluas dan mengintensifkan jaringan kerjasama dengan pihak-pihak luar, baik dalam dan luar negeri. Karena ini konteksnya penguatan produksi pengetahuan, maka jaringan kerjasama yang harus diperkuat adalah kerjasama dalam bidang pengembangan keilmuan dan riset. Tentu saja sasaran dari kerjasamanya adalah Perguruan Tinggi-Perguruan Tinggi, baik dalam dan luar negeri. Untuk PT luar negeri, jika 5 hingga 10 tahun yang lalu mungkin ini baru sekedar mimpi, namun tidak untuk hari ini. Dengan semakin banyak para dosen yang lulusan luar negeri, maka hal tersebut tidak sulit lagi untuk diwujudkan. Inter-relasi ini dimaksudkan untuk “membuka selubung kabut” yang membatasi cakrawala wawasan civitas akademika STAIN Pontianak, agar tidak lagi berjalan di tempat (involutive) dan sempit (narrow minded). Wujud kerjasamanya bisa dalam bentuk dosen tamu, chair lecture, pertukaran mahasiswa, akses jurnal ilmiah, dan jika suatu saat nanti sudah memungkinkan bisa kita kembangkan kerjasama riset.

Ketiga pilar ini setidaknya dapat menjadi starting point bagi kita untuk memulai transformasi secara substantif. Untuk mewujudkan hal tersebut, sudah saatnya mulai mendesign masa depan lembaga ini, melalui perangkat-perangkat yang fundamental seperti meredesign rencana strategis (renstra) untuk 5 hingga 20 tahun ke depan, menyusun sistem penjaminan mutu pendidikan sehingga semuanya menjadi terencana, terstandard dan dapat terukur progresnya. Kemudian yang tidak kalah penting, setiap komponen atau unit yang ada di STAIN/IAIN Pontianak harus melakukan pembacaan ulang terhadap “tubuh dan muatan” kita masing-masing, bahkan kalau perlu melakukan reformulasi paradigmatik (untuk tidak menyebut revolusi paradigmatik) pengelolaan lembaga. Komponen-komponen seperti Jurusan/Fakultas dan Program Studi harus mengevaluasi kembali keberadaannya, mengkritisi lagi visi, misi dan kurikulumnya serta membuat kebijakan-kebijakan yang lebih kreatif dan berani. Kalau tidak, kita akan menjadi lembaga pendidikan yang “biasa-biasa” saja, bukan kampus yang “luar biasa”.




Restorasi Karakter Bangsa di Arus Global

Syahrin Harahap

Oleh: Prof. Dr. Syahrin Harahap, MA (Guru Besar IAIN Sumatera Utara)

Tidak dapat dipungkiri bahwa informasi global yang melanda dunia saat ini kebanyakan merupakan produk negara-nagara maju. Informasi yang datang dan sampai ke kamar-kamar tidur kita (tv tabel, internet, koran, majalah, buku, facebook, twiter, dan sebagainya) berasal dari negeri-negeri second wave (masyarakat industri) atau third wave (masyarakat informatika). Sementara penerimanya masih kebanyakan berada pada tahap first wave (masyaraakat agraris), bahkan masih banyak warga kita yang hidup dalam budaya agraris.

Untuk melihat peluang perguruan tinggi dalam restorasi karakter bangsa tersebut kiranya perlu lebih dahulu dilakukan survey singkat mengenai pergaulan global, efek negatif yang ditimbulkannya serta pada posisi mana karakter bangsa kita berada.

Namun perlu disadari bahwa perkembangan global itu bukanlah milik negeri-negeri tertentu atau orang-orang tertentu saja melainkan milik kita semua. Sebab seluruh umat manusia, terutama umat Islam, memiliki peran penting dalam men-support timbulnya abad modern dan kemodernan dunia.

Pergaulan Global

Globalisasi dunia saat ini bagai pisau bermata dua, pada satu sisi menuju arah yang positif dan pada sisi lain bisa menuju ke arah yang negatif, tergantung siapa yang paling banyak “menginstal” teori-teori, konsep-konsep, pemikiran-pemikiran, dan penerapan teknologi, budaya, dan nilai ke dalamnya. Dalam kondisi yang demikianlah kita berbicara mengenai restorasi karakter bangsa di arus global dan pada saat yang sama kita juga ingin melihat peran perguruan tinggi di dalamnya.

Ada tiga komponen yang mengendalikan globalisasi dunia saat ini; pertama, adalah pendidikan/perguruan tinggi; karna dari perguruan tinggilah lahirnya produk teori, dan penerapan teori itu akan melahirkan indoktri dan selanjutnya dari indokri akan melahirkan barang-barang yang dipakai dan dikonsumsi oleh masyarakat kita; kedua pabrikasi dan manufaktur, pabrik-pabriklah yang mengubah peta ekonomi; dan ketiga perbankan, dunia perbankan yang mengendalikan ekonomi dan wajah dunia saat ini.

Secara umum globalisasi dunia yang terjadi saat ini atau yang akan datang, dapat dilihat dari lima ciri: Pertama, terjadi pergeseran dari konflik ideologi dan politik kearah persaingan perdagangan, investasi, dan informasi, Kedua, Hubungan antar negara/bangsa secara struktural berubah dari sifat ketergantungan (devendency) kearah saling ketergantungan (interdevendency); Ketiga, batas-batas geografi hampir kehilangan arti operasionalnya. Keempat, Persaingan antar negara sangat diwarnai oleh perang penguasaan teknologi tinggi. Kelima, Terciptanya budaya dunia yang cenderung mekanistik dan efisien, tidak menghargai nilai dan norma yang secara ekonomi dianggap tidak efisien.

Pergaulan global dengan cirinya yang demikian itu telah berimplikasi pada kehidupan hampir seluruh umat manusia, termasuk masyarakat Indonesia baik dalam bentuknya yang positif maupun yang negatif. Namun aspek kemanfaatan itu tidak harus melalaikannya dari dampak negatif yang ditimbulkannya agar anak-anak negeri ini dapat mengikuti perkembangan yang demikian cepat, dengan tetap berada di atas jati dirinya.

Peran Pendidkan Tinggi

Kehidupan yang semakin mengglobal tidak dapat dan tidak perlu dihindari karena Islam sendiri adalah agama global (rahmatan li al-‘âlamîn). Komunikasi dan penganutnya telah lebih dahulu melakoni kehidupan global seperti terlihat pada zaman keemasan (golden age)-nya. Dengan begitu maka abad 21 tidak dapat memandang rendah Islam, karena Islam tetap merupakan suatu kekuatan tersendiri. Sebaliknya Islam pun harus menerima abad 21 karena abad itu dengan seluruh kenyataan yang terjadi di dalamnya adalah suatu kenyataan. Sikap menolak bukanlah jalan keluar yang tepat. Dengan kata lain Islam harus ‘akrab’ dengan abad 21 dengan cara itu Islam pun akan memperoleh keharmonisan dalam tubuhnya sendiri dan dapat mengarahkan dunia secara teleologis kearah yang lebih bak.

Perguruan Tinggi, khususnya perguruan tinggi Islam, sebagai basis pergerakan dan perubahan zaman serta antisipasi masyarakat terhadap perkembangan, perlu memainkan perannya yang teramat penting dalam restorasi karakter bangsa di arus gobal.

Pentingnya untuk memperlihatkan peran akademisi dalam restorasi karakter bangsa. Sebab para akademisi menjadi penggerak kemampuan dan kekuatan pribadi peserta didik dan masyarakat untuk mengantisipasi perkembangan zaaman yang terus berkembang.

Perubahan (modifikasi) isi dan inovasi dalam proses belajar mengajar sudah barang tentu menyebabkan perubahan dalam peranan akademisi dan peningkatan tanggung jawabnya kepada peserta didik dan masyarakat serta meningkatkan keteladanan mereka dalam kehidupan.

Sehubungan dengan pengayaan dan perubahan isi program pendidikan, peran akademisi menjadi lebih luas dan lebih kompleks. Peran akademisi tersebut semakin memperkokoh posisi pendidikan sebagai usaha pengembanagan asset bangsa: asset bahasa, asset persatuan, asset konstitusional, dan asset keberhasilan ekonomi.

Dengan demikian Islam memandang peran akademisi sangat strategis, sebab ia bertanggung jawab mengarahkan peserta didik dan bahkan masyarakat dalam hal penguasaan ilmu dan konkritisasinya serta penegakan identitas dan karakter dalam kehidupan mereka.




Banyak Revisi, Visioner?

Oleh: Noviansyah, S.Pd.I

nopi

“Implementasi kegiatan tanpa revisi POK dan DIPA, hal yang mustahil”. Pandangan atas statement ini tentu saja akan memunculkan dua argumentasi dari kubu yang berbeda yakni pesimistik dan optimistik. Dianggap pesimistik karena sebagian besar unit kerja Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pontianak (sekarang IAIN Pontianak, Perpres 53 Tanggal 30 Juli Tahun 2013) menganggap bahwa setiap kegiatan, anggaran dan akun belanja yang tertuang dalam dokumen Petunjuk Operasional Kegiatan yang populer dikenal “POK” atau Rencana Kerja Anggaran (baca: Modul RKA-KL 2014) belum memiliki ke-ajegan (konsistensi) yang pasti, sehingga apapun perubahan akun belanja yang diinginkan dapat disesuaikan dengan “selera” kita melalui revisi POK bahkan jika perlu “berani mati” untuk melakukan revisi DIPA. Sedangkan pandangan optimistik mengasumsikan bahwa, implementasi anggaran dapat dilakukan sesuai dengan rencana yang tertuang dalam POK tanpa harus merevisi, karena perencanaan telah dilakukan secara akurat, proporsional dan bijak, namun ironisnya sangat sedikit yang berpijak menurut pandangan ini.

 Wow, Klimaks selama 11 Bulan

Kronologis disahkannya DIPA Satuan Kerja (Satker) STAIN Pontianak saat ini, bahkan seluruh Satker secara nasional tentunya melalui mekanisme yang sama, pola bottom up. Kebutuhan anggaran senantiasa berawal dari Unit Kerja (Sub Bagian, unit pelaksana teknis, Jurusan, Program Studi dan yang linear), karena logikanya hanya Unit-Unit Kerja itu sendiri yang memahami basic needs (kebutuhan dasar) anggaran kegiatan yang dianggap sinergis dengan visi & misi STAIN Pontianak kedepan (Renstra). Dengan demikian, sebenarnya perencanaan telah dimulai ketika kebutuhan anggaran kegiatan diusulkan oleh unit kerja masing-masing.

Perencanaan yang dilakukan tentu saja tidak secara spontan atau dadakan. Ada range (rentang/jarak) waktu yang sangat panjang diberikan bagi unit kerja untuk menyusun usulan kegiatan berupa Term of Reference/Kerangka Acuan Kerja (TOR/KAK) dan Rencana Anggaran Biaya (RAB). Idealnya langkah penyusunan TOR dan RAB telah dilakukan sebelum masa Rapat Kerja (Raker) di bulan Januari/Februari, hingga menjelang penyusunan Pagu Definitif (finalisasi pengesahan anggaran mencapai 99 %) di awal bulan November.

Tentu saja, waktu 11 bulan bukan waktu singkat jika kita ingin melakukan pembenahan postur anggaran kegiatan atau revisi, bahkan ketika harus merubah, memunculkan akun belanja baru sekalipun, inilah klimaks yang tepat, setelah “ketok palu” pengesahan DIPA maka menjadi anti-klimaks buat revisi. Jadi ketika DIPA Satker telah di-legitimate per-tanggal 19/20 Desember kelak, berarti secara otomatis POK benar-benar akan menjadi petunjuk operasional kegiatan untuk dilaksanakan.

 Hindari, Walau Revisi tak seharam Khamar  

Eh, ternyata revisi boleh ya?! Tentu saja boleh/sah karena di-legitimate Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor   32/PMK.02/2013 Tentang Tata Cara Revisi Anggaran Tahun 2013 (setiap tahun anggaran akan diterbitan PMK terbaru). Namun, menurut PMK tersebut, BAB II Ruang Lingkup dan Batasan Revisi Anggaran Pasal 3, bahwa revisi anggaran dilakukan hanya ketika dalam kondisi ; Perubahan/ Penambahan Anggaran APBN tahun berjalan (populer dikenal APBN-P atau Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan), adanya pengehamatan (berdampak pada pemotongan seluruh atau sebagian anggaran kegiatan) atau kebijakan prioritas pemerintah lainnya.

Point yang patut menjadi “police line” dalam revisi adalah bahwa dampak revisi tidak mengurangi Anggaran Kegiatan/Paket Pekerjaan on going (berjalan) sehingga menyebabkan pagu menjadi minus, tidak mengurangi biaya operasional Satker, tidak mengurangi tunjangan profesi guru/dosen/guru besar.

Jika revisi POK tidak menyentuh point tersebut di atas, so what gitu lo …??

Namun dalam kondisi tertentu, revisi POK meski tidak menyentuh point tersebut namun sedapat mungkin di-eleminir guna menghindari disorientasi upaya pemenuhan “will” (kepentingan) tertentu yang menyebabkan persepsi yang kurang logis dan tak proporsional. Sebagai ilustrasi misalnya:

Ilustrasi kegiatan sosialiasi, peserta 30 orang tanggal 31 Nopember 2014

No

Akun Belanja

Semula (Rp)

Menjadi (Rp)

1

521211 Belanja Barang Operasional

Belanja bahan ATK peserta

5.000.000

12.000.000

2

522151 Belanja Jasa Profesi

10.000.000

3.000.000

  Jumlah

15.000.000,-

15.000.000,-

 

Secara logis revisi anggaran kegiatan yang dilaksanakan 1 (satu) hari dengan kebutuhan Bahan ATK peserta yang sangat besar maka bersiaplah kita secara sengaja mengundang perhatian auditor untuk melakukan pendalaman dalam pemeriksaan. Tentunya ini akan menjadi nightmare (mimpi buruk) yang sangat panjang.

Dari segi waktu saja, revisi POK membutuhkan waktu minimal 5 (lima) hari kerja , meski ini kewenangan Satker STAIN Pontianak namun diwajibkan tetap harus melaporkan berupa ; Surat Pertanggung Jawaban Mutlak (SPTJM), Matrik Perubahan Semula-Menjadi, dan ADK (Alat Data Komputer) dalam bentuk soft copy ke Kantor Direktorat Jenderal Perbendaharaan (Kanwil DJPB) Provinsi Kalimantan Barat. Kanwil DJPB akan melaporkan ADK ke eselon I Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan. Sebagai feedback Kanwil DJPB akan mendapatkan digital stamp secara online (itupun jika tidak ada masalah dalam sistem aplikasi). Selanjutnya, barulah STAIN Pontianak mendapat konfirmasi pengesahan revisi tersebut. Kompleks, rumit dan sangat birokratis ?! Ya, memang demikian, no excuse ! dan tak ada shortcut untuk itu. Alih-alih untuk revisi DIPA, revisi jenis ini membutuhkan masa 1-2 bulan karena Satker wajib menyampaikan perubahan ke Eselon I Kementerian Keuangan secara langsung.

Alangkah bijak ketika usulan kegiatan TOR/RAB unit kerja (lengkap dengan akun belanja yang tepat) telah dianalisa, direview secara mendalam kemudian komunikasikan secara internal unit kerja sehingga siap untuk dituangkan dalam POK tahun anggaran berikutnya. Lebih baik berjibaku merevisi sebelum pengesahan Pagu Definitif dari pada lelah menunggu masa pengesahan revisi tahun anggaran berjalan. Walau tak sebesar dosa minum khamar, eliminir revisi. Semakin banyak revisi maka kita semakin tak visioner. (Nov)

Wallahu a’lam***




Akankah Pers Kita Kembali ke Masa Orde Baru?

koranOleh: Acan Mahdi, M.Si
(Dosen Jurusan Dakwah dan Kepala Lab. Fotografi)

Acan MahdiMungkin tidak berlebihan bila John Fitzgerald Kennedy (mantan presiden Amerika Serikat) pada suatu ketika pernah berujah bahwa ia lebih takut kepada seorang wartawan dari pada seribu tentara. Hal serupa juga dilakukan Lenin (mantan diktator Jerman). Gara-gara di bantu kekuatan pers, Lenin mencapai titik puncak gerakan revolusi, kemudian dia berujah, “waspadalah terhadap kekuatan pers, sebab tarikan pena sang kuli tinta itu bisa merakit sederet tulisan sakti.”

Apa yang dikatakan John F. Kennedy dan Lenin di atas memang bagian dari sejarah kehidupan mereka dan bahkan mungkin menjadi halaman tersendiri bagi catatan sejarah perpolitikan dinegaranya masing-masing. Namun demikian, substansi dari apa yang mereka bicarakan tidak akan pernah usang dimakan zaman. Pers dan wartawan akan selalu menjadi momok bagi kalangan tertentu.

Ketakutan-ketakutan yang tidak beralasan terhadap pers dan wartawan dalam konteks kekinian memang masih terjadi, terutama bagi mereka yang memiliki otoritas sosial. Fakta menunjukan bahwa betapa orde baru sangat alergi dengan kebabasan pers. Selanjutnya, perspun diberendel dan digiring dalam wacana yang dikehendaki penguasa. Pers, seakan kepanjangan tangan dari penguasa. Kemudian apa yang terjadi?, perspun mandul, tidak ada keberanian untuk bersuara menentang kebijakan-kebijakan penguasa yang tidak berpihak kepada masyarakat. Wajar saja, karena pers yang berani bersuara lantang siap-siap saja untuk dicabut izin penerbitannya. Apa yang pernah terjadi dengan Tempo dan Gatra, itulah bukti arogansi penguasa orde baru. Dimasa orde baru, SIUP merupakan senjata ampuh penguasa untuk memberendel pers yang dianggapnya lancang.

Koran Indonesia Raya, yang ditutup pemerintah 1974 merupakan sejarah pahit dunia pers kita. Indonesia Raya, kemudian menjadi legenda kepongahan penguasa yang akan selalu mengisi relung hati pegiat pers di tanah air. Koran yang di kenal kritis, anti korupsi, anti penyelewengan itu menghembuskan nafas terakhirnya 15 Januari 1974.

Ketakutan-ketakutan seperti ini tidak hanya ada pada para penguasa. Secara individu, mereka, para pemilik modal juga acap kali menunjukkan kepongahannya kepada pers. Kebebasan pers sering dianggap mengganggu stabilitas dan kemapanan sosial mereka. Al hasilnya, perspun disuguhkan dengan aksi brutal dan premanisme. Dengan kepongahannya, mereka membayar para preman untuk membinasakan pers yang dianggapnya telah mencemarkan nama baik dan mengganggu stabilitas dan kemapanan sosial yang telah mereka capai. Premanisme bermain, perspun kecut. Bak mimpi di siang bolong, alih-alih memberikan hak jawab, perspun diduduki.

Mungkin kita masih ingat, peristiwa pendudukan kantor pusat majalah Tempo tahun 2003. Apa yang terjadi?, masyarakat biasapun yang secara hierarki tidak memiliki posisi struktural di pemerintahan bisa berbuat seenaknya terhadap pers yang dianggapnya lancang. Padahal, undang-undang pers tahun 1999 mengatur tentang mekanisme hak jawab, bagi mereka yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers. Sebobrok apapun opini yang diangkat dalam pemberitaan pers tentang seseorang atau sebuah institusi, bisa diatasi dengan hak jawab. Toh, perspun memberikan kesempatan kepada siapa saja yang ingin memberikan hak jawabnya. Bukan dengan, adu jotos dan premanisme.

Undang-Undang Pers tahun 1999 merupakan produk undang-undang terbaik yang pernah dimiliki pers. Sebuah Undang-Undang yang memberikan ruang gerak dan menjamin kebebasan pers dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga penyiaran publik. Sebuah hadiah yang tidak ternilai harganya bagi pers, setelah sekian lama dikerengkeng oleh penguasa Orde Baru. Mungkin, bahkan kita harus berterima kasih kepada para pejuang reformasi, yang telah berjuang tanpa pamrih membuka pintu pembaharuan di negeri ini dalam segala bidang kehidupan. Karena Undang-Undang Pers tahun 1999 yang memberikan ruang gerak dan menjamin kebebasan pers, merupakan buah dari pohon reformasi yang ditancapkan para pejuang reformasi tahun 1998.

Mungkinkah kebebasan pers sebagai buah dari pohon reformasi ini akan berlangsung lama dan dapat kita nikmati terus-menerus hingga akhir hayat?. Ataukah pers kita akan kembali menjadi pers terpimpin, sebagamana pers yang pernah ada pada masa demokrasi terpimpin? Atau kembali dikerengkeng dan ditarik kemana saja asalkan keinginan penguasa, seperti yang dipraktekkan Orde Baru?

Semua itu bisa saja terjadi. Bahkan sudah diambang pintu maut keterpurukan. Penguasa dengan progresif bahkan sudah menyiapkan draf revisi Undang-Undang Pers tahun 1999, yang kononnya tinggal diajukan ke DPR. Dengan dalih kebebasan pers yang dinilainya sudah lepas kendali dan tidak terkontrol lagi. Alih-alih memberangus pers yang tidak bertanggungjawab dan lepas kontrol dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga penyiaran publik, kebebasan perspun akan direnggut.

Merevisi Undang-Undang Pers tahun 1999 itu artinya pemerintah mempertanyakan kembali ruang gerak dan jaminan kebebasan pers. Jika itu betul-betul terjadi, itu artinya secara periodik pers kita akan memasuki babak baru kehidupannya, tetapi secara substansi berarti kembali kemasa pers terpinpin yang pernah ada pada masa demokrasi terpimpin, atau kembali kepada pers Orde Baru. Dan itu bermakna pers kita kembali terkungkung dan diatur oleh penguasa.

Meski apa yang akan dilakukan penguasa tidak secara gamblang menggambarkan apa yang dikatakan JF. Kennedy dan Lenin. Tetapi tersirat makna bahwa penguasa ketakutan dengan kebebasan yang dimiliki pers selama ini. Dengan merevisi Undang-Undang yang memberikan kebebasan pers, berarti penguasa akan mencabut kebebasan pers, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Pers tahun 1999, dan itu berarti penguasa akan mencabut kembali kedaulatan rakyat yang diberikannya melalui UU Pers Tahun 1999.