CATATAN DAN REFLEKSI KAIB XVII PERDAMAIAN DAN KEJAYAAN TAMADUN ISLAM BORNEO

Oleh: Eka Hendry Ar*.

A. Pendahuluan

Tanggal 9-11 September 2025 merupakan momentum bersejarah bagi IAIN Pontianak dan Perguruan Mitra KAIB, karena telah berlangsung kegiatan Konferensi Antar Bangsa Islam Borneo (KAIB) ke XVI di Kota Pontianak Kalimantan Barat Indonesia.  Tuan rumah tahun ini dipercayakan kepada IAIN Pontianak, yang telah mendapatkan kali ketiga sebagai host.  KAIB ke-XVI mengangkat Tema “World Peace, Environmental Crisis and the Second Wave of Inter-civilization Dialogue”, yang selanjutnya dikembangkan ke dalam 6 tema besar yaitu Socio-Cultural Issues and Manuscripts (6 sub tema), Education (2 sub tema), Politics  (1sub tema), Maritime and Environtment (2 sub tema), Religious Issues (3 sub tema) dan Economics (2 sub tema).

Adapun latar belakang tema perdamaian dan krisis lingkungan terkait dengan kondisi dunia akhir-akhir ini yang diwarnai dengan berbagai krisis politik, ekonomi dan lingkungan. KAIB ke XVI berlangsung di tengah-tengah dinamika konstelasi politik internasional yang tidak baik-baik saja, dan mengalami perubahan yang sangat cepat baik pada level global maupun lokal.   Pada level global dunia dihantui berbagai konflik kekerasan, seperti konflik kemanusiaan berkepanjangan antara Palestina versus Israel.  Konflik Rusia versus Ukraina, Cina versus Taiwan yang terus berlanjut dan belum ada tanda-tanda akan usai.   Menurut catatan dari Tempoinforgrafik (Kamis, 28 Juli 2025) setidaknya ada 45 negara yang dilanda perang bersenjata.  22 Negara di Benua Afrika, 8 di Timur Tengah, 2 di Eropa Timur, 5 di Amerika dan 5 di Asia Tenggara (Filipina, Myanmar, Indonesia, Thailand dan Kamboja).

Disamping berbagai isu perang dan isu politik global, dunia juga menghadapi berbagai bencana alam sebagai efek dari krisis lingkungan hidup (pemanasan global) dan imbas kebijakan ekonomi liberal yang eksploitatif terhadap sumber daya alam (SDA).    Akibatnya bencana alam terjadi di berbagai negara, yang mengakibatkan korban nyawa, harta benda dan masa depan generasi bangsa. Perang dan kerusakan alam menjadi “mesin pembunuh” yang luar biasa terjadi akhir-akhir ini, menjadi ironi dari dari kemajuan spektakuler manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi.

Isu perdamaian dan bencana alam, tidak hanya menjadi isu dunia, akan tetapi juga menjadi isu dan cabaran bagi bangsa-bangsa di Asia Tenggara.  Beberapa negara Asia Tenggara juga potensial untuk konflik satu dengan lainnya. Bulan Agustus 2025 menjadi bukti, dimana pecah perang terbuka antara Thailand dan Kamboja, dua negara bertetangga yang sejak awal terus dihantui dengan krisis perbatasan.  Bencana alam juga menimpa kawasan negara-negara Asia Tenggara, seperti banjir, gempa dan kebakaran hutan.   Kedua level masalah ini menjadi tantangan serius, sehingga membutuhkan atensi dari semua bangsa.   Kita  membutuhkan sebuah visi global sebagai warga dunia (global citizenship).  Karena persoalan ini tidak bisa diselesaikan secara parochial dan eksklusif, akan tetapi harus dibangun secara bersama-sama, sebagai kehendak kolektif.

Dalam konteks ini, maka perlu mainstreaming dialog peradaban gelombang kedua, yaitu upaya membangun koeksistensi dan perjumpaan antar bangsa, antar budaya dan peradaban, yang tidak hanya terpolarisasi antara Timur dan Barat, Islam dan Non Islam, Sosialisme dan Kapitalisme. Akan tetapi menjalin upaya bersama yang mempertemukan semua simpul peradaban dunia secara lebih luas, lebih inklusif dan komprehensif, baik dari segi kawasan, budaya, agama dan etnisitas.  Dialog peradaban gelombang kedua, harus terbangun antara Eropa Barat, Eropa Timur, Asia, Afrika, Amerika Utara, Amerika Latin, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Australia secara egaliter, inklusif dan koeksisten.  Mungkin oleh sebagian ini dinilai utopis, namun kita berkeyakinan harapan itu selalu ada, sepanjang kita menghidupkan imajinasi harapan tersebut.  KAIB XVI adalah momentum dan monumen yang menghidupakn api dan imajinasi harapan tersebut tetap menyala.  Melalui jembatan keilmuan dan kebudayaan, para intelektual di beberapa negara sempadan, Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam menjaga nyala harapan itu tetap bercahaya.

 

B. Dinamika Pelaksanaan KAIB XVI

Konferensi Antar Bangsa Islam Borneo (KAIB) ke XVI tahun ini dihadiri peserta dari berbagai Perguruan Tinggi dalam dan luar negeri, baik secara off line maupun on line. UITM Malaysia Sjah Alam, UITM Cawangan Serawak, UITM Cawangan Sabah, Kolej University Perguruan Agama (KUPU SB) Brunei Darussalam, Universiti Islam Sultan Sharif Ali (UNISSA) Brunei Darussalam, UPM Cawangan Bintulu, Central Philipine University, Hamburd University German, IAIN Pontianak, UIN Antarasari Banjarmasin, UIN Palangkaraya, Universitas Mulawarman Kalimantan Timur, UIN Sultan AJI Muhammad Idris Samarinda dan Universtas Tanjung Pura.  Kemudian hadir pula peserta yang berasal dari berbagai Peguruan Tinggi umum dan keagamaan di Indonesia.  Konferensi dihadiri tidak kurang 200 peserta, baik sebagai pembentang maupun sebagai partisipan.  Sejatinya kegiatan ini akan dihadiri lebih banyak peserta secara off line, namun mendekati waktu pelaksaan ada peserta yang membatalkan hadir secara langsung.  Hal ini terkait dengan dinamika yang terjadi di Indonesia terkait dengan gelombang demontrasi di berbagai Kota di Indonesia.

KAIB XVI tahun 2025 dimeriahkan dengan beragam kegiatan baik akademik, silaturrahmi dan kebudayaan.  Berikut adalah senarai kegiatan KAIB XVI, sebagai berikut: Acara Pembukaan dilaksanakan di Pendopo Gubernur Kalimantan Barat yang dibuka oleh Direktur Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) Prof. Dr. Phil. Sahiron, M.A.  Semula acara akan dibuka oleh Wakil Menteri Agama RI., namun karena satu dan lain hal, didelegasikan kepada Direktur Diktis.   Setelah acara pembukaan dilanjutkan dengan Seminar Internasional Ucap Tama (Keynote Speech) yang disampaikan oleh 3 Pembicara Utama yaitu Mufti Kerajaan Negeri Sabah yang Mulia Sahibus Samahan Datuk Ustaz Haji Bunsu @ Aziz Bin Haji Jaafar, Pengurus Besar Tabung Baitul Mal Serawak Datu Haji Abang Mohammad Shibli Bin Haji Abang Mohd. Nailie dan Direktur DIKTIS Kementerian Agama RI.  Mufti Kerajaan Sabah mengangkat Isu tentang Bagaimana Konstelasi Politik di Timur Tengah, konflik Palestina versus Israel dan Sikap Double Standard Amerika dalam menyikapi konflik tersebut.  Datu Haji Abang Mohammad Shibli menyampaikan tentang keberadaan lembaga Tabung Baitul Mal di Serawak, terkait dengan Profile Organisasi, Program-Program Kerja dan Pencapaian dari lembaga tersebut.  Serta kontribusi lembaga terhadap perkembangan umat.  Sementera Direktur DIKTIS menyampaikan tentang urgensi membangun dan mewujudkan teologi yang berwawasan kemanusiaan dan toleran, melalui konsep kurikulum Cinta yang dicanangkan oleh Menteri Agama Republik Indonesia. Seminar Internasional Ucap Tama yang berlansung kurang lebih 1,5 jam dipandu oleh moderator Prof. Dr. H. Hermansyah, M.Ag. (Dekan Fakultas Pendidikan dan Ilmu Keguruan) IAIN Pontianak.

Acara dilanjutkan dengan jamuan makan malam dan silaturrahmai (9 September 2025) antara Pimpinan Perguruan Tinggi Mitra KAIB dengan Wakil Menteri Agama RI dan Gubernur Kalimantan Barat yang dilaksanakan di Restorat Pondok Kakab Pontianak. Dalam kesempatan tersebut Wakil Menteri Agama Dr. KH. Romo Raden Muhammad Syafi’i, SH., M.Hum. menyampaikan apresiasi beliau terhadap pelaksaan KAIB ke XVI. Beliau menyampaikan beberapa amanat Presiden Republik Indonesia yang mengangkat tagline “satu musuh cukup banyak, seribu teman masih sedikit”, dimana modal pertama adalah persatuan, kekompakan, kerjasama atau kolaborasi yang harus kita utamakan.  Termasuk membangun persaudaraan jiran atau negara tetangga, khususnya di kawasan Borneo.

Seminar Internasional Ucap Perdana (10 September 2025) dilaksanakan di Hotel Mercure Pontianak.  Seminar Ucap Perdana menampilkan 11 pembicara yang terdiri dari Para Rektor Mitra KAIB XVI. Naib Canselor UITM Malaysia   YBhg Profesor Datuk Ts. Dr. Shahrin bin Shahib @ Sahabudin menjadi pembentang pamungkas, yang menyampaikan pemikiran beliau tentang urgensi perdamaian, persoalan krisis lingkungan dan perlunya menempuh dialog antar peradaban.  Rektor UIN Palangkaraya Prof. Dr. H. Ahmad Dakhoir, SHI., M.HI menyampaikan meteri tentang Borneo Untuk Masa Depan Umat: Mapping dan Kekuatan Strategis.  Rektor Universitas Mulawarman, Prof. Dr. Ir. H. Abdunnur, M.Si., IPU, ASEAN Eng., menyampaikan tentang Strategic Development of Three Pillars of Higher Education Mission based on the Mulawarman University’s Scientific Orientation”.  Rektor UITM Cawangan Sabah Prof. Madya Dr. Rozita @ Uji Mohammed mengangkat isu ekonomi yaitu Creating A Sustainable Blue Economy Framework Through Islamic Partnership. Sementera itu Rektor UITM Cawangan Sarawak Prof. Dr. Firdaus Abdullah membawakan tajuk Bridging Islamic Finance and Modern Capitalism for Sustainable Development.  Sementara itu, Rektor UIN Antasari Banjarmasin Prof. Dr. H. Mujiburrahman, MA. Menyampaikan judul presentasi “Buta dan Tulikah Kita? Sains, Agama dan Krisis Lingkungan”.  Dr. Haji Mohammad Shahrol Azmi bin Haji Abdul Muluk, Wakil Rais KUPU SB menyampaikan tajuk “Membina Keamanan Dunia Melalui Pemantapan Jati Diri Belia Menurut Persfektif Negara Brunei Darussalam”. Kemudian, Prof Dr Shahrul Razid Sarbini, Pengarah UPM Bintulu menyampaikan tajuk tentang Mendepani Krisis dan Cabaran Global Sekuriti Makanan. Prof. Dr. Zamroni, M.Ag. (Wakil Rektor II) UNI Sultan Aji Muhammad Idris Sarinda menyampaikan tentang Kurikukum Cinta: Menanam Moderasi dan Toleransi di Jantung Pulau Borneo.  UNISSA juga melalui Assistant Rector bidang Kemahasiswa dan Alumni Pengiran Dr. Hajah Norkhairiah Binti Pengiran Haji Hashim juga turut berkontribusi dalam Ucap Perdana ini.  Presentasi ditutup dengan penampilan dari Rektor IAIN Pontianak Prof. Dr. H. Syarif, MA., yang membawakan tajuk Moderasi Beragama dan Masa Depan Asia Tenggara.  Sebagai bentuk Penghormatan, Rektor IAIN Pontianak mendaulat Prof. Dato Dr. Jamil Hamali selaku Founder KAIB untuk memberikan sambutan dan pesan-pesan untuk perkembangan KAIB di masa-masa mendatang.  Kegiatan Seminar Internasional Ucap Perdana diikuti secara antusias baik oleh peserta KAIB, Para Dosen IAIN Pontianak dan Para Tamu Undangan, mulai dari pukul 08.00 sampai 12.30 WIB.  Seminar ucap perdana dipandu oleh moderator Prof. Dr. H. Zainuddin, MA. (Direktur Pascasarjana IAIN Pontianak).

Acara kemudian dilanjutkan dengan Parallel seminar yang dilaksanakan di Gedung Pascasarjana IAIN Pontianak Lt. 3.  Kelas parallel di buat dalam 6 rooms dengan masing-masing isu yang berbeda satu dengan lainnya.  Presentasi juga menggunakan 2 metode yaitu dengan metode off line dan on line.  Para pembentang secara bergantian menyampaikan pemikiran dan gagasan yang mereka tulis dalam artikelnya masing-masing.  Setelah mempresentasikan materi, moderator memandu proses Q n A.  Parallel seminar dilaksanakan selama 1,5 hari dari tanggal 10-11 September 2025.  Sembari pelaksanaan parallel seminar, tanggal 10 September 2025 sore (15.00 WIB) dilaksanakan Meeting Forum Rektor Mitra KAIB yang dilaksanakan di Ruang Rapat Rektor IAIN Pontianak.  Dalam forum tersebut dibicarakan beberapa rekomendasi dari KAIB XVI dan penetapan tuan rumah KAIB XVII di UIN Palangkaraya.  Diantara rekomendasi dari KAIB XVI adalah perlunya diwujudkan beberapa rekomendasi sebelumnya yang belum sempat diwujudkan seperti kerjasama bidang Tri Dharma Perguruan Tinggi, seperti Kerjasama Pendidikan dan Pengajaran, Riset Koloboratif dan Pengabdian Kepada Masyarakat (Public Services).  Forum juga merekomendasikan pada Konferensi mendatang, tidak hanya melibatkan para dosen saja, tetapi juga perlu melibatkan mahasiswa.  Kemudian, perlu juga dilakukan diversifikasi kegiatan, tidak hanya kegiatan akademis semata, akan tetapi juga ditambah dengan kegiatan kebudayaan dan perlombaan untuk peringkat mahasiswa. Forum juga merekomendasikan untuk membuat lagu jingle KAIB untuk dinyayikan pada setiap pelaksanaan KAIB.   Para Rektor bersepakat dan berkomitmen untuk mewujudkan rekomendasi yang dibuat, agar ada follow up setelah konferensi dilaksanakan.

Malam tanggal 10 September 2025, peserta menghadiri acara Ramah Tamah di rumah kediaman Walikota Pontianak.  Acara diisi dengan acara makan malam bersama, hiburan musik gambus Pantun dan Gendang (Tundang) Melayu Pontianak.  Dalam kesempatan tersebut, Walikota Pontianak Ir. Edi Rusdi Kamtono, MM, MT menyampaikan tahniah dan dukungan beliau terhadap pelaksanaan KAIB XVI dan memberikan informasi seputar Kota Pontianak. 

Untuk memperkenalkan budaya dan kehidupan sosial masyarakat pesisir Kapuas, kegiatan juga diselingi dengan Wisata Susur Sungai Kapuas, dengan naik kapal bandung menyusuri Sungai Kapuas. Peserta disajikan tentang pemandangan riverside of Kapuas, dengan melihat kehidupan dan pemukiman masyarakat, dan Masjid Keraton Kadariah Kesultanan Pontianak. Selain untuk relaksasi, kegiatan Susur Sungai Kapuas juga untuk mengenal corak kehidupan masyarakat yang tinggal di pesisir Sungai Kapuas.  Kapuas adalah sungai terpanjang di Indonesia yang panjangnya  kurang lebih 1,143 Km. 

Selain kegiatan keilmuan, kegiatan KAIB XVI juga dimeriahkan dengan Pameran Kebudayaan yang memamerkan karya-karya intelektual para dosen dan peneliti baik dari IAIN Pontianak maupun dari Balai Kajian Sejarah Kalimantan Barat.

Tanggal 11 September 2025 malam, KAIB XVI resmi ditutup oleh Prof. Dr. M. Arskal Salim GP., M.Ag., Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia.  Kegiatan penutupan dilaksanakan di Gedung Aula Kantor Bupati Kubu Raya.  Dalam kesempatan tersebut, Wakil Bupati Kubu Raya H. Syukiryanto, S.Ag. yang nota bene adalah juga Ketua Ikatan Alumni IAIN Pontianak, menyampaikan apresiasi beliau terhadap pelaksanaan KAIB XVI dan mengucapkan tahniah kepada seluruh peserta KAIB.  Beliau berharap IAIN Pontianak terus berkembang dan suatu waktu nanti segera menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI menyampaikan apresiasi beliau terhadap penyelenggaraan KAIB XVI. Menurut beliau, ini merupakan salah satu nilai strategis kampus-kampus UIN/IAIN yang secara geografis berbatasan dengan negara tetangga. Sayang jika peluang ini tidak dimaksimalkan.  Konferensi ini merupakan salah satu cara mengoptimalkan peluang strategis tersebut guna meningkatkan kualitas Perguruan Tinggi masing-masing, terutama untuk PTKAIN

 

C. Sumbangan Pemikiran dan Gagasan Para Intelektual Serumpun

Meskipun dengan kondisi yang kurang menguntungkan secara, imbas dinamika politik, namun tidak mengurangi animo dan semangat para akademisi untuk terlibat dalam konferensi.  Tercatat ada kurang lebih 138 artikel yang dinyatakan lolos untuk dipresentasikan dalam parallel seminar.  Artikel-artikel yang kemudian disusun dalam Abstract Proceding Series mengangkat berbagai isu, tema dan judul, mulai dari sejarah kerajaan di pulau Borneo, kehidupan sosial keagamaan, praktek-praktek ekonomi, pendidikan dan khazanah kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat.  Sekedar menyebutkan beberapa misalnya, artikel dari  Nur Adilah Amiruddin, Noor Ain Mohd Noor, Nazirah Hamdan, Mohamad Bazli Md Radzi, Mohd Asyraf Yusof tentang Serangan Balas Iran-Israel 2025: Kesan Terhadap Keamanan Serantau Dunia.  Samsul Hidayat mengangat judul Public Advocacy and Interfaith Dialouge in the Dispute Ober Catholic Church Rejection.   Rev. Jerson B. Narciso dan Nestor D. Bunda dari Filipina mengangkat isu tentang Islam and Christianity: Cultivating Shalom (Katawhay) and Salaam in the Philippine South.  Militansia mengangkat isu tentang Photovoice for Peace: Fostering Religious Tolerance Through EFL Writing in Islamic University.  Hesty Nurrahmi tentang Peran Bimbingan Konseling Islam dalam Kurikulum Cinta.

Kemudian artikel berkenaan dengan sejarah keagamaan seperti artikel Muhamamd Khatib Johari tentang Pengaruh Imam Al Sanusi dalam Penulisan Ilmu Akidah di Sarawak: Analisis Terhadap Risalah Hidayah lil Walad Al Walad.   Faizal Amin tentang Resepsi Ayat Al Quran Sebagai Wirid untuk Mengatasi Permasalahan Kehidupan dalam Manuskrip Syaikh Abdus Somad.  Mohammad Rikaz Prabowo tentang The Growth of Islamic Schools in Sintang in the Colonial Era, 1901-1942.  Kemudian Margaret Kit Yok Chan, Nuraini Putit, Houng Ting dan Kamal Abdullah menulis tentang Islamisation of the Middel Kingdom, Indera Ponik From The Reign of the First Raja Tengah to the Legendary Datuk Haji Ibrahim of Pulau Lakei.  Abdul Razak Abdul Kadir, Saimi Bujang dan Norazinah Yusuf menulis tentang Kritik Teks Terhadap Manuskrip “Silsilah Acal Segala Radja-Radja Sambas”: Kajian Pengembaraan Sultan Tengah ke Sambas.  Norahimah Haji Duraman, Khatijah Othman dan Rasina Haji Ahim menulis tentang Inovasi Pengajaran dalam Kurikulum Kelas Bimbingan Muslimah di Negara Brunei Darussalam.    Siti Nur Syamimi binti Adam Malik. Dania Insyiraah binti Iswandy dan Nur Adilah Amiruddin menulis tentang Assessing the Awareness of Halal Practices Among Muslim Students at UITM Campus Samarahan, Kuching Sarawak.  Kemudian, Moch Riza Fahmi menulis tentang The Future of Religion in the Wake of Global Political Upheaval: A Comparative Study of Indonesia, Malaysia and Brunei Darussalam.  Eka Hendry Ar., Zaimmuariffudin Shukri Nordi, Segu, Suhardiman dan Bibi Suprianto menulis tentang isu kebudayaan “Bangka Tradition: Temporary Graves in Nanga Bunut, Kapuas Hulu Regency, West Kalimantan”.  Dan masih banyak lagi artikel-artikel yang menarik untuk dibaca dan dikaji.

Artikel-artikel tersebut ditulis secara serius dan kaya dengan data dan persfektif, sehingga menjadi mozaik akademik yang menarik untuk dibaca.  Artikel-artikel ini hendaknya tidak dibaca sebagai perlombaan akademik (academic competition) akan tetapi lebih sebagai kerja kolaboratif untuk menyumbangkan bagi kemajuan dan kejayaan tamadun Islam Borneo.  Tamadun Islam yang inklusif, yang penuh mozaik dan mengirimkan pesan-pesan kedamaian dan kontributif bagi pembangunan kemanusiaan.  Artikel-artikel ini nantinya ada yang akan dikirim ke jurnal-jurnal terindeks dan sebagian dipublikasi dalam proseding KAIB XVI.

 

D. Catatan Reflektif KAIB XVI

Setelah mengikuti setiap tahapan pelaksanaan KAIB XVI, penulis menangkap beberapa hal-hal strategis dan sekaligus menjadi catatan dari pelaksanaan konferensi, sebagi berikut:

Pertama, Pelaksanaan Konferensi Antar Bangsa Islam Borneo (KAIB) merupakan wahana silaturrahmi dan kerjasama akademik diantara Perguruan Tinggi yang terdapat di Pulau Borneo, yang dihuni oleh 3 bangsa serumpun yaitu Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Disebut sebagai wahana silaturrahmi karena pada dasarkan ketiga negara sempadan ini memiliki banyak sekali kesamaan, baik bahasa, adat istiadat, agama dan ikatan hubungan persaudaraan.  Sehingga lebih memudahkan komunikasi, pemahaman dan kerjasama diantara ketiganya. Hal ini adalah satu modal dasar penting, mendahului dari pada kepentingan akademis.  Sehinga dengan ikatan tali persaudaraan ini akan jauh lebih mudah untuk membangun hubungan yang lebih stategis termasuk kolaborasi akademis.

Kedua, Ajang KAIB bukan sekedar demonstrasi hasil karya tulis ilmiah (baik riset maupun kajian pustaka), akan tetapi lebih kepada upaya membangun sinergi dan pertukaran pengetahuan dan pengalaman antara para akademisi dari berbagai latar belakang keilmuan, bangsa dan pengalaman studi.  Satu sama lain saling menimba pelajaran dan pengalaman akademis yang bermanfaat untuk dikembangkan di institusi masing-masing. Saya mengistilahkan ini dengan pertemuan pikiran dan pertemuan jiwa, bukan benturan kepandaian dan kepintaran.  Karena yang kita butuhkan hari ini adalah bagaimana saling memperkaya atau saling menunjang dalam membangun tamadun ilmu pengetahuan. Dari momentum ini diharapkan, akan terjalin komunikasi dan kolaborasi keilmuan diantara para dosen dan peneliti, untuk melakukan penelitian dan pengajaran secara bersama-sama. Maka sayang sekali, jika kesempatan ini tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh para akademisi yang ada di kampus-kampus mitra KAIB.

Ketiga, Diantara strategi meningkatkan kualitas Perguruan Tinggi adalah bagaimana meningkatkan jaringan dan kerjasa internasional.  Tujuannya bukan semata untuk pemenuhan kebutuhan akreditasi, akan tetapi sebuah keniscayaan.  Kebutuhan kita ke depan adalah membangun mindset global (internasionalisasi), sehingga kampus-kampus yang ada di Indonesia mendapatkan efek need for achievement (kebutuhan berprestasi) seperti yang telah dicapai oleh kampus-kampus di negara lain.  Memang kualitas itu boleh jadi relatif, namun inter-change experiences perlu terus dilakukan.  Tidak masalah kiranya dan bukan sikap inferior jika kampus seperti IAIN Pontianak mau belajar dari kampus-kamus Besar, baik dalam dan luar negeri, agar IAIN Pontianak dapat mencontoh keberhasilan tersebut.

Keempat, Terkait dengan artikel-artikel yang dibentangkan di KAIB, secara keseluruhan sudah menunjukkan heterogenitas isu, wilayah dan persfektif keilmuan.  Kolobarasi dalam menyumbangkan gagasan sudah tercapai melalui KAIB. Namun, yang masih terasa kurang adalah artikel-artikel yang ditulis secara bersama-sama antara para dosen dan peneliti lintas kampus dalam dan luar negeri. Hal ini menujukkan bahwa, kolaborasi antara kampus mitra KAIB masih minim.  Padahal dengan adanya kolobarasi riset dan penulisan artikel ilmiah ini menunjukkan telah terjadi pertukaran atau dialektika keilmuan dan kebudayaan.  Proses dialektika ini adalah momentum saling belajar yang akan menambah wawasan budaya, keterampilan internasional, dan variasi pengalaman akademik. Maka, hendaknya dalam KAIB XVII akan banyak dihasilkan artikel-artikel yang merupakan hasil kolobrasi antar kampus dalam dan luar negeri mitra KAIB.

Kelima, Mengingat KAIB ini memiliki nilai strategis, sayang jika pertemuan hanya terjadi setahun sekali. Sehingga terkesan tidak ada kesinambungan gagasan dan pemikiran. Menurut hemat penulis, perlu dibuat kegiatan-kegiatan follow up dengan skala yang mungkin lebih kecil, namun tetap menjaga ide dan gagasan besar dari KAIB itu sendiri. Jaringan komunikasi dan kerjasama yang telah ada harus terus dihidupkan, baik melalui kegiatan saling berkunjung maupun dalam bentuk program-program kerjasama (dalam urusan Tridharma Perguruan Tinggi).  Peringkat komunikasi dan kerjasama yang paling mudah adalah dalam pembelajaran dengan virtual classroom atau online collaborative learning antara para dosen dari kampus mitra KAIB.  Atau yang lebih sederhana lagi pertukaran informasi tentang karya-karya akademis, seperti buku dan jurnal, serta kegiatan-kegiatan ilmiah antar kampus. Pada peringkat pejabat, barangkali juga harus lebih sering saling mengunjungi, dan membuka peluang kerjasama yang lebih kongkrit seperti riset koloratif, pertukaran dosen dan mahasiswa, guest lecture, kegiatan public service kolaboratif, penulisan buku bersama, hingga kegiatan kebudayaan dan olah raga. Prinsipnya, ada kegiatan sebagai follow up dari pelaksanaan KAIB, sehingga jalingan semakin intensif dari konferensi ke konferensi.  ***

*Dosen IAIN Pontianak, PIC KAIB XVI

 

 

 

 

 

 




NOTES AND REFLECTIONS ON 16th BORNEO INTERNATIONAL ISLAMIC CONFERENCE (KAIB XVI) PEACE AND PROSPERITY OF BORNEO ISLAMIC CIVILIZATION

By: Eka Hendry Ar*.

A. Introduction

The dates of September 9–11, 2025, marked a historic moment for IAIN Pontianak and the KAIB partner institutions, as the 16th Borneo International Islamic Conference (KAIB XVI) was held in Pontianak, West Kalimantan, Indonesia. This year’s host was IAIN Pontianak, which had the honor of hosting the conference for the third time. The 16th KAIB adopted the theme “World Peace, Environmental Crisis, and the Second Wave of Inter-Civilization Dialogue,” which was further developed into six major sub-themes: Socio-Cultural Issues and Manuscripts (6 sub-themes), Education (2 sub-themes), Politics (1 sub-theme), Maritime and Environment (2 sub-themes), Religious Issues (3 sub-themes), and Economics (2 sub-themes).

The background for the theme of peace and environmental crisis is related to recent global conditions, which have been marked by various political, economic, and environmental crises. The 16th KAIB took place amid the dynamics of an unstable international political constellation, undergoing rapid changes at both global and local levels. At the global level, the world is haunted by various violent conflicts, such as the prolonged humanitarian conflict between Palestine and Israel, the ongoing Russia-Ukraine conflict, and the China-Taiwan tensions, which show no signs of resolution. According to records from Tempoinfographic (Thursday, July 28, 2025), at least 45 countries are plagued by armed conflicts: 22 in Africa, 8 in the Middle East, 2 in Eastern Europe, 5 in the Americas, and 5 in Southeast Asia (Philippines, Myanmar, Indonesia, Thailand, and Cambodia).

In addition to various war and global political issues, the world is also facing numerous natural disasters as a result of the environmental crisis (global warming) and the impact of exploitative liberal economic policies on natural resources. Consequently, natural disasters have occurred in various countries, resulting in loss of life, property, and the future of national generations. War and environmental destruction have become an incredible “killing machine” in recent times, creating an irony against humanity’s spectacular advancements in science and technology.

The issues of peace and natural disasters are not only global concerns but also challenges for nations in Southeast Asia. Several Southeast Asian countries also have the potential for conflicts with one another. August 2025 served as evidence, with the outbreak of open war between Thailand and Cambodia, two neighboring countries long haunted by border crises. Natural disasters have also struck Southeast Asian nations, including floods, earthquakes, and forest fires. These two levels of problems pose serious challenges, requiring attention from all nations. We need a global vision as global citizens because these issues cannot be solved in a parochial and exclusive manner. Instead, they must be addressed collectively, as a collective will.

In this context, it is necessary to mainstream the second wave of civilizational dialogue—an effort to build coexistence and encounters among nations, cultures, and civilizations that are not polarized solely between East and West, Islam and non-Islam, or Socialism and Capitalism. Instead, it must weave collaborative efforts that bring together all nodes of world civilization more broadly, inclusively, and comprehensively, in terms of region, culture, religion, and ethnicity. The second wave of civilizational dialogue must be built among Western Europe, Eastern Europe, Asia, Africa, North America, Latin America, the Middle East, Southeast Asia, and Australia in an egalitarian, inclusive, and coexistent manner. Some may consider this utopian, but we believe hope always exists as long as we keep the flame of that imagination alive. The 16th KAIB is a moment and a monument that ignites and keeps the flame of that hope burning. Through the bridges of knowledge and culture, intellectuals in several border countries—Indonesia, Malaysia, and Brunei Darussalam—keep the light of that hope shining brightly.

 

B. Dynamics of the Implementation of Borneo International Islamic Conference (KAIB) XVII

The 16th Borneo International Islamic Conference (KAIB) this year was attended by participants from various domestic and international higher education institutions, both offline and online. These included UiTM Malaysia Shah Alam, UiTM Sarawak Branch, UiTM Sabah Branch, KUPU SB Brunei Darussalam, UNISSA Brunei Darussalam, UPM Bintulu Branch, Central Philippine University, Hamburg University Germany, IAIN Pontianak, UIN Antasari Banjarmasin, UIN Palangkaraya, Mulawarman University East Kalimantan, UIN Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda, and Tanjungpura University. Furthermore, participants also attended from various general and religious universities in Indonesia. The conference was attended by no less than 200 participants, both as presenters and attendees. Originally, more participants were expected to attend offline, but as the event approached, some cancelled their in-person attendance. This was related to the dynamics within Indonesia concerning waves of demonstrations in various Indonesian cities.

The 16th KAIB in 2025 was enlivened by various academic, fellowship, and cultural activities. The following is the list of activities for KAIB XVI:

The Opening Ceremony was held at the West Kalimantan Governor’s Pendopo, opened by the Director of Islamic Higher Education (Diktis), Prof. Dr. Phil. Sahiron, M.A. Initially, the event was to be opened by the Vice Minister of Religious Affairs of the Republic of Indonesia, but for various reasons, it was delegated to the Director of Diktis. After the opening ceremony, it continued with the International Keynote Speech Seminar, delivered by 3 main speakers: The Honorable Mufti of the State of Sabah, Datuk Ustaz Haji Bunsu @ Aziz Bin Haji Jaafar; the General Manager of the Sarawak Baitul Mal Fund, Datu Haji Abang Mohammad Shibli Bin Haji Abang Mohd. Nailie; and the Director of DIKTIS of the Indonesian Ministry of Religious Affairs. The Mufti of Sabah raised issues regarding the Political Constellation in the Middle East, the Palestine vs. Israel conflict, and America’s Double Standard in addressing the conflict. Datu Haji Abang Mohammad Shibli spoke about the existence of the Baitul Mal Fund institution in Sarawak, covering the Organizational Profile, Work Programs, and the institution’s achievements, as well as its contribution to the development of the community. Meanwhile, the Director of DIKTIS conveyed the urgency of building and realizing a theology with a humanitarian and tolerant vision, through the “Curriculum of Love” concept launched by the Minister of Religious Affairs of the Republic of Indonesia. The International Keynote Speech Seminar, which lasted approximately 1.5 hours, was moderated by Prof. Dr. H. Hermansyah, M.Ag. (Dean of the Faculty of Education and Teacher Training, IAIN Pontianak).

The event continued with a dinner and fellowship gathering on September 9, 2025, between the leadership of KAIB Partner Universities and the Vice Minister of Religious Affairs of Indonesia and the Governor of West Kalimantan, held at Pondok Kakab Restaurant, Pontianak. On this occasion, the Vice Minister of Religious Affairs, Dr. KH. Romo Raden Muhammad Syafi’i, SH., M.Hum., expressed his appreciation for the implementation of the 16th KAIB. He conveyed several messages from the President of the Republic of Indonesia, promoting the tagline “one enemy is too many, a thousand friends are too few,” emphasizing that the primary capital is unity, solidarity, cooperation, or collaboration that we must prioritize. This includes building brotherhood with neighboring countries, especially in the Borneo region.

The International Premier Address Seminar on September 10, 2025, was held at the Mercure Hotel Pontianak. The Premier Address Seminar featured 11 speakers consisting of the Rectors of the KAIB XVI Partner Universities. The Vice-Chancellor of UiTM Malaysia, YBhg. Professor Datuk Ts. Dr. Shahrin bin Shahib @ Sahabudin, was the final presenter, sharing his thoughts on the urgency of peace, environmental crisis issues, and the need for inter-civilization dialogue. The Rector of UIN Palangkaraya, Prof. Dr. H. Ahmad Dakhoir, SHI., M.HI, presented on “Borneo for the Future of the Ummah: Mapping and Strategic Strengths.” The Rector of Mulawarman University, Prof. Dr. Ir. H. Abdunnur, M.Si., IPU, ASEAN Eng., presented on “Strategic Development of Three Pillars of Higher Education Mission based on the Mulawarman University’s Scientific Orientation.” The Rector of UiTM Sabah Branch, Associate Professor Dr. Rozita @ Uji Mohammed, raised an economic issue: “Creating A Sustainable Blue Economy Framework Through Islamic Partnership.” Meanwhile, the Rector of UiTM Sarawak Branch, Prof. Dr. Firdaus Abdullah, presented on “Bridging Islamic Finance and Modern Capitalism for Sustainable Development.” The Rector of UIN Antasari Banjarmasin, Prof. Dr. H. Mujiburrahman, MA., presented a paper titled “Are We Blind and Ignorant? Science, Religion, and the Environmental Crisis.” Dr. Haji Mohammad Shahrol Azmi bin Haji Abdul Muluk, Deputy Rais of KUPU SB, presented on “Building World Peace Through Strengthening Youth Identity According to the Perspective of Brunei Darussalam.” Subsequently, Prof. Dr. Shahrul Razid Sarbini, Director of UPM Bintulu, presented on “Confronting the Crisis and Challenges of Global Food Security.” Prof. Dr. Zamroni, M.Ag. (Vice Rector II) of UIN Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda, spoke about the “Curriculum of Love: Planting Moderation and Tolerance in the Heart of Borneo Island.” UNISSA, through the Assistant Rector for Student and Alumni Affairs, Pengiran Dr. Hajah Norkhairiah Binti Pengiran Haji Hashim, also contributed to this Premier Address. The presentations concluded with a presentation by the Rector of IAIN Pontianak, Prof. Dr. H. Syarif, MA., on “Religious Moderation and the Future of Southeast Asia.” As a mark of respect, the Rector of IAIN Pontianak honored Prof. Dato Dr. Jamil Hamali as the Founder of KAIB to deliver remarks and messages for KAIB’s development in the future. The International Premier Address Seminar was enthusiastically attended by KAIB participants, IAIN Pontianak lecturers, and invited guests, from 08:00 to 12:30 Western Indonesian Time. The premier address seminar was moderated by Prof. Dr. H. Zainuddin, MA. (Director of Postgraduate Studies at IAIN Pontianak).

The event then continued with Parallel Seminars held on the 3rd floor of the Postgraduate Building of IAIN Pontianak. The parallel sessions were divided into 6 rooms, each with a different theme. Presentations used two methods: offline and online. The presenters took turns sharing the thoughts and ideas they had written in their respective articles. After presenting their material, the moderator guided the Q&A session. The parallel seminars ran for 1.5 days from September 10-11, 2025. Concurrently with the parallel seminars, on the afternoon of September 10, 2025 (15:00 Western Indonesian Time), a Meeting Forum of the KAIB Partner Rectors was held in the Rector’s Meeting Room of IAIN Pontianak. This forum discussed several recommendations from KAIB XVI and the appointment of the host for KAIB XVII at UIN Palangkaraya. Among the recommendations from KAIB XVI was the need to realize several previous recommendations that had not yet been implemented, such as cooperation in the Tri Dharma of Higher Education, including Collaboration in Education and Teaching, Collaborative Research, and Community Service (Public Services). The forum also recommended that future conferences should not only involve lecturers but also need to involve students. Furthermore, it is necessary to diversify activities, not just academic ones, but also to add cultural activities and competitions for students. The forum also recommended creating a KAIB jingle to be sung at every KAIB implementation. The Rectors agreed and committed to realizing the recommendations made, to ensure follow-up after the conference.

On the evening of September 10, 2025, participants attended a Fellowship Gathering at the residence of the Mayor of Pontianak. The event featured a joint dinner, entertainment with Gambus music, Pantun, and Pontianak Malay Drums (Tundang). On this occasion, the Mayor of Pontianak, Ir. Edi Rusdi Kamtono, MM, MT, conveyed his congratulations and support for the implementation of KAIB XVI and provided information about Pontianak City.

To introduce the culture and social life of the Kapuas riverside community, the activities also included a Kapuas River Cruise, riding a ‘bandung’ boat along the Kapuas River. Participants were treated to views of the riverside of Kapuas, observing community life and settlements, and the Kadariah Palace Mosque of the Pontianak Sultanate. Besides relaxation, the Kapuas River Cruise also aimed to understand the way of life of people living along the Kapuas River. The Kapuas is the longest river in Indonesia, approximately 1,143 km long.

In addition to academic activities, KAIB XVI was also enlivened by a Cultural Exhibition showcasing the intellectual works of lecturers and researchers from both IAIN Pontianak and the West Kalimantan Historical Study Center.

 

On the evening of September 11, 2025, KAIB XVI was officially closed by Prof. Dr. M. Arskal Salim GP., M.Ag., Secretary of the Directorate General of Islamic Education, Ministry of Religious Affairs of the Republic of Indonesia. The closing ceremony was held at the Hall of the Kubu Raya Regent’s Office. On this occasion, the Vice Regent of Kubu Raya, H. Syukiryanto, S.Ag., who is also the Chair of the IAIN Pontianak Alumni Association, expressed his appreciation for the implementation of KAIB XVI and congratulated all KAIB participants. He hopes that IAIN Pontianak will continue to develop and soon become a State Islamic University (UIN). The Secretary of the Directorate General of Islamic Education of the Indonesian Ministry of Religious Affairs expressed his appreciation for the organization of KAIB XVI. According to him, this is one of the strategic advantages of UIN/IAIN campuses that are geographically adjacent to neighboring countries. It would be a pity not to maximize this opportunity. This conference is one way to optimize these strategic opportunities to improve the quality of each university, especially for State Islamic Higher Education Institutions.

 

C. Contributions of Thoughts and Ideas from Fellow Intellectuals

Although the political dynamics created less favorable conditions, this did not diminish the enthusiasm and spirit of academics to participate in the conference. A total of approximately 138 articles were accepted for presentation in the parallel seminar. These articles, later compiled into the Abstract Proceeding Series, address a wide range of issues, themes, and topics—from the history of kingdoms in Borneo, socio-religious life, economic practices, education, to the cultural heritage that has developed within society.

To mention just a few examples: Nur Adilah Amiruddin, Noor Ain Mohd Noor, Nazirah Hamdan, Mohamad Bazli Md Radzi, and Mohd Asyraf Yusof presented “The 2025 Iran-Israel Counterattack: Its Impact on Regional and Global Security.” Samsul Hidayat discussed “Public Advocacy and Interfaith Dialogue in the Dispute over Catholic Church Rejection.” Rev. Jerson B. Narciso and Nestor D. Bunda from the Philippines examined “Islam and Christianity: Cultivating Shalom (Katawhay) and Salaam in the Philippine South.” Militansia explored “Photovoice for Peace: Fostering Religious Tolerance Through EFL Writing in Islamic University.” Hesty Nurrahmi focused on “The Role of Islamic Counseling in the Curriculum of Love.”

In the field of religious history, Muhammad Khatib Johari presented “The Influence of Imam Al-Sanusi in the Writing of Aqidah in Sarawak: An Analysis of Risalah Hidayah lil Walad al-Walad.” Faizal Amin discussed “Reception of Qur’anic Verses as Wirid to Overcome Life Problems in the Manuscript of Shaykh Abdus Somad.” Mohammad Rikaz Prabowo examined “The Growth of Islamic Schools in Sintang in the Colonial Era, 1901–1942.” Margaret Kit Yok Chan, Nuraini Putit, Houng Ting, and Kamal Abdullah wrote about “Islamisation of the Middle Kingdom: Indera Ponik from the Reign of the First Raja Tengah to the Legendary Datuk Haji Ibrahim of Pulau Lakei.” Abdul Razak Abdul Kadir, Saimi Bujang, and Norazinah Yusuf contributed “A Textual Critique of the Manuscript ‘Silsilah Acal Segala Radja-Radja Sambas’: A Study of Sultan Tengah’s Journey to Sambas.”

Norahimah Haji Duraman, Khatijah Othman, and Rasina Haji Ahim discussed “Teaching Innovations in the Curriculum of Muslimah Guidance Classes in Brunei Darussalam.” Siti Nur Syamimi binti Adam Malik, Dania Insyiraah binti Iswandy, and Nur Adilah Amiruddin examined “Assessing the Awareness of Halal Practices Among Muslim Students at UITM Samarahan Campus, Kuching, Sarawak.” Moch Riza Fahmi analyzed “The Future of Religion in the Wake of Global Political Upheaval: A Comparative Study of Indonesia, Malaysia, and Brunei Darussalam.” Eka Hendry Ar., Zaimmuariffudin Shukri Nordi, Segu, Suhardiman, and Bibi Suprianto explored a cultural issue in “Bangka Tradition: Temporary Graves in Nanga Bunut, Kapuas Hulu Regency, West Kalimantan.” And there were many more insightful articles worth reading and studying.

These articles were written with seriousness, supported by rich data and perspectives, making them a fascinating academic mosaic. They should not be viewed as an academic competition but rather as a collaborative effort contributing to the progress and glory of Bornean Islamic civilization—an inclusive civilization, full of diverse mosaics, sending messages of peace and contributing to human development. Some of these articles will later be submitted to indexed journals, while others will be published in the proceedings of KAIB XVI.

 

D. Reflective Notes on KAIB XVI

After participating in every stage of the KAIB XVI, the author observed several strategic points which also serve as reflections from the conference, as follows:

First, the implementation of the Borneo International Islamic Conference (KAIB) serves as a platform for fostering silaturrahmi (bonds of kinship) and academic collaboration among universities on the island of Borneo, which is home to three closely related nations: Indonesia, Malaysia, and Brunei Darussalam. It is called a platform of silaturrahmi because fundamentally these three neighboring countries share many similarities in language, customs, religion, and fraternal ties. This greatly facilitates communication, understanding, and cooperation among them. This is an important foundational asset, preceding purely academic interests. With these bonds of brotherhood, it becomes much easier to build more strategic relationships, including academic collaboration.

Second, KAIB is not merely a venue to showcase scientific papers (whether research-based or literature reviews), but rather an effort to build synergy and exchange knowledge and experiences among academics from various disciplines, nations, and educational backgrounds. Each participant gains lessons and academic experiences that can be developed in their respective institutions. I call this a meeting of minds and souls, not a clash of intelligence or expertise. What we need today is mutual enrichment and support in building the civilization of knowledge. From this momentum, it is hoped that communication and academic collaboration will be established among lecturers and researchers to conduct joint research and teaching. It would be a great loss if academics from KAIB partner campuses do not make the most of this opportunity.

Third, one of the strategies for improving the quality of higher education institutions is to strengthen international networking and collaboration. The goal is not merely to fulfill accreditation requirements, but a necessity. Our future need is to develop a global mindset (internationalization), so that universities in Indonesia can foster a “need for achievement” effect, similar to what universities in other countries have achieved. Quality may indeed be relative, but exchanging experiences must continue. There is no harm, and it is not an act of inferiority, if institutions such as IAIN Pontianak learn from larger universities, both domestic and abroad, so that IAIN Pontianak can emulate those successes.

Fourth, regarding the articles presented at KAIB, overall they already demonstrate a diversity of issues, regions, and academic perspectives. Collaboration in contributing ideas has indeed been realized through KAIB. However, what remains lacking is the number of articles written jointly by lecturers and researchers across different campuses, both domestic and international. This indicates that collaboration among KAIB partner universities is still minimal. In fact, collaborative research and joint writing of scientific articles reflect the occurrence of an academic and cultural dialectic. This dialectical process is a learning moment that enriches cultural understanding, international skills, and academic experiences. Therefore, KAIB XVII should produce more collaborative articles written jointly by partner universities both within and outside the country.

Fifth, given the strategic value of KAIB, it would be unfortunate if such meetings occur only once a year. This creates the impression of discontinuity in ideas and reflections. In the author’s view, follow-up activities need to be organized on perhaps a smaller scale, but still carrying forward the major ideas of KAIB itself. The communication and cooperation networks already established must be continuously nurtured, whether through reciprocal visits or through joint programs (within the framework of the Tridharma of Higher Education). The easiest level of collaboration is in teaching, for instance, through virtual classrooms or online collaborative learning between lecturers from KAIB partner universities. Or more simply, by exchanging academic works such as books and journals, as well as scientific activities between campuses. At the leadership level, more frequent visits should be made, opening up more concrete collaboration opportunities such as collaborative research, faculty and student exchanges, guest lectures, joint public service activities, co-authored books, and even cultural and sports activities. The principle is that there must be follow-up activities after KAIB, so that networks become increasingly intensive from one conference to the next.

________

*Lecturer at IAIN Pontianak, Person in Charge (PIC) of KAIB XVI




Pancasila Sakti Jika Diamalkan: Pesan Kebangsaan dari IAIN Pontianak

Pontianak (iainptk.ac.id) – Seluruh pegawai IAIN Pontianak, baik ASN maupun non-ASN, mengikuti apel dalam rangka memperingati Hari Kesaktian Pancasila yang dilaksanakan di halaman upacara Gedung FEBI, Rabu (1/10/2025). Bertindak sebagai pembina upacara yakni Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga, Dr. Ali Hasmy, M.Si.

Apel ini menjadi momentum bagi sivitas akademika IAIN Pontianak untuk meneguhkan kembali semangat kebangsaan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Usai upacara, dalam wawancara dengan tim humas, Dr. Ali Hasmy menegaskan pentingnya memperingati hari-hari bersejarah, termasuk Hari Kesaktian Pancasila.

“Peringatan mengenai hari-hari bersejarah itu penting karna dari dulu ilmu sejarah itu sempat dilarang dipelajari, sebab biasanya orang banyak belajar dari sejarah. Siklus dalam waktu tertentu sejarah biasanya berulang, maka dari itu belajar dari sejarah sama dengan kita mencari solusi untuk satu persoalan, termasuklah Hari Kesaktian Pancasila,” ujarnya.

Lebih lanjut, beliau menekankan bahwa Pancasila tidak akan bermakna jika hanya menjadi simbol tanpa diwujudkan dalam perbuatan nyata.

“Pancasila itu tidak sakti jika hanya tertulis dan terpampang dimana-mana saja. Pancasila itu akan menjadi sakti jika dia itu digali sejarah kebudayaan serta kepribadian Indonesia, maka dia baru jadi sakti ketika diamalkan. Pesan saya agar Hari Kesaktian Pancasila itu terwujud dalam kehidupan sehari-hari, di rumah, di kantor, dan dimana saja,” tambahnya.

Apel Hari Kesaktian Pancasila di IAIN Pontianak ini diharapkan menjadi sarana untuk menanamkan kesadaran bersama bahwa Pancasila bukan hanya simbol, melainkan harus diwujudkan dalam sikap, tindakan, dan kontribusi nyata bagi bangsa.

Penulis : Aditya

Editor : Bambang




Semangat Baru di Biro AUAK: Kepala Biro Tekankan Integritas dan Pelayanan Prima

Pontianak (iainptk.ac.id) Kepala Biro Administrasi Umum, Akademik, dan Kemahasiswaan (AUAK) IAIN Pontianak, Dr. H. Moh. Junaidin, M.A., memimpin pembinaan perdana bersama seluruh pegawai di lingkungan Biro AUAK, Senin (29/09/2025). Pertemuan yang berlangsung di Ruang Rapat Senat Gedung Biro AUAK lantai 4 ini menjadi ajang silaturahmi sekaligus momentum awal koordinasi kerja sejak beliau resmi dipercaya Menteri Agama Republik Indonesia untuk menjabat sebagai Kepala Biro AUAK IAIN Pontianak.

Dalam arahannya, Dr. Junaidin menekankan pentingnya disiplin, integritas, dan semangat kebersamaan. Beliau mengingatkan agar seluruh pegawai menjaga komitmen dalam bekerja serta mematuhi aturan yang berlaku, termasuk kewajiban mengikuti apel setiap Senin dan mengenakan seragam KORPRI setiap tanggal 17. “Upacara itu penting, karena kita sesama manusia perlu saling mengingatkan,” ujarnya.

Lebih jauh, pria kelahiran Palu ini menegaskan bahwa kedisiplinan akan terus menjadi perhatian. Beliau mengingatkan agar tidak ada pegawai yang bermain-main dengan absensi, karena sistem nasional kini terhubung langsung ke pusat. “Jangan pernah absen pakai fake, itu akan terdeteksi. Admin di Jakarta bisa langsung memblokir,” tegasnya.

Selain soal kedisiplinan, Dr. Junaidin juga mengajak seluruh pegawai membangun ritme kerja yang harmonis. Beliau menekankan bahwa pelayanan publik yang prima bisa dipelajari dari sikap ramah dan profesional pramugari maupun pegawai bank. “Mari kita bekerja sama dan sama-sama bekerja. Kita harus saling mendukung agar kinerja biro ini semakin baik,” ungkapnya.

Pada kesempatan itu, Syahrun, M.M., selaku Kepala Bagian Umum dan Layanan Akademik (ULA), turut memperkenalkan fungsional serta pegawai yang berada di bawah naungan Biro AUAK. Ia juga menyampaikan kondisi terkini yang perlu perhatian bersama, seperti kebersihan, keamanan, dan pengelolaan pegawai.

Dengan suasana baru yang penuh semangat, pembinaan perdana ini diharapkan menjadi titik awal peningkatan kinerja Biro AUAK IAIN Pontianak, baik dalam tata kelola administrasi, pelayanan akademik, maupun dukungan bagi mahasiswa dan seluruh civitas akademika.

Penulis : BEP

Editor : Bambang




Berpengalaman di Tiga PTKIN, Dr. Moh. Junaidin Kini Menjabat Kabiro AUAK di IAIN Pontianak

Pontianak (iainptk.ac.id) 29 September 2025 – Dengan rekam jejak panjang sebagai Kepala Biro di tiga Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) berbeda, Dr. H. Moh. Junaidin, M.A. resmi dipercaya oleh Menteri Agama RI memimpin Biro Administrasi Umum, Akademik, dan Kemahasiswaan (AUAK) IAIN Pontianak. Kehadirannya disambut hangat oleh sivitas akademika dalam acara silaturahmi dan perkenalan yang digelar pada Senin (29/9/2025) di Gedung Rektorat IAIN Pontianak.

Acara berlangsung dalam suasana penuh kekeluargaan dengan dihadiri oleh pimpinan serta pejabat fungsional dan struktural dari seluruh unit kerja di lingkungan IAIN Pontianak. Kehadiran para pimpinan kampus ini menjadi simbol dukungan kuat terhadap langkah baru Biro AUAK di bawah kepemimpinan Dr. Junaidin.

Dalam sambutannya, Wakil Rektor II Bidang Administrasi Umum, Perencanaan, dan Keuangan, Dr. Cucu, M.Ag., menyampaikan rasa syukur karena posisi Kepala Biro AUAK yang sempat kosong selama sebulan kini telah terisi. Menurutnya, kehadiran pejabat baru bukan sekadar pergantian jabatan, melainkan momentum penting untuk menguatkan kembali koordinasi dan komunikasi agar lebih harmonis dan efektif.

Sementara itu, Dr. H. Moh. Junaidin, M.A. menyampaikan apresiasi atas sambutan hangat yang diberikan keluarga besar IAIN Pontianak. Beliau menegaskan kesiapannya untuk bekerja demi kemajuan kampus. Meski baru beradaptasi di lingkungan yang berbeda, ia percaya bahwa seluruh civitas akademika adalah keluarga besar yang siap bergerak bersama membangun IAIN Pontianak.

Sebagai pejabat yang berpengalaman, Dr. Junaidin dikenal inovatif dan memiliki kiprah nyata. Salah satu pencapaiannya adalah mengembangkan aplikasi Srikandi (Sistem Informasi Kearsipan Dinamis Terintegrasi) saat bertugas di UIN Antasari Banjarmasin. Inovasi tersebut menjadikan UIN Antasari sebagai PTKIN pertama di Indonesia yang mengimplementasikan sistem kearsipan digital secara menyeluruh. Ia berharap pengalaman tersebut dapat direplikasi di IAIN Pontianak untuk memperkuat digitalisasi layanan administrasi.

Rekam jejak pengabdiannya pun panjang. Sebelum bergabung di IAIN Pontianak, beliau pernah menjabat sebagai Kepala Biro Administrasi Umum, Perencanaan, Keuangan, dan Kepegawaian (AUPKK) UIN Antasari Banjarmasin TMT pada 17 Juli 2024, Kepala Biro AUAK IAIN Kendari TMT pada 4 Oktober 2022, serta Kepala Biro AUAK IAIN Attahul Muluk Papua TMT sejak 5 Maret 2019. Pengalaman memimpin biro di tiga PTKIN tersebut menunjukkan kapasitas dan kompetensinya yang adaptif dan visioner.

Dukungan penuh juga datang dari Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Pengembangan Kelembagaan, Dr. Ali Hasmy, yang optimistis dengan dedikasi dan pengalaman panjang Dr. Junaidin. Menurutnya, kehadiran Kepala Biro baru akan semakin memperkuat tata kelola IAIN Pontianak agar lebih profesional dan responsif dalam menghadapi tantangan zaman.

Silaturahmi perkenalan ini menjadi awal dari langkah baru bagi IAIN Pontianak dalam memperkuat tata kelola administrasi. Dengan pengalaman luas dan komitmen tinggi yang dimiliki Dr. H. Moh. Junaidin, M.A., Biro AUAK diharapkan mampu bertransformasi menjadi pusat pelayanan akademik dan administratif yang modern, efisien, serta inovatif.

Penulis : Hermansyah

Editor : Bambang




ISPC 2025: Mengulas Interaksi Multietnis, Muhammad Ghaly Rahman Bahas Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Angkatan 2024 di IAIN Pontianak

Pontianak (iainptk.ac.id) — Muhammad Ghaly Rahman, mahasiswa Program Studi Manajemen Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) IAIN Pontianak, berhasil menarik perhatian peserta dan juri pada ajang International Student Paper Conference on Islamic Studies and Social Science (ISPC) 2025. Kegiatan akademik bergengsi ini berlangsung pada Rabu, 24 September 2025, di Aula Abdul Rani IAIN Pontianak.

Dalam forum tersebut, Ghaly membawakan penelitian berjudul “Komunikasi Antarbudaya dalam Interaksi Mahasiswa Multietnis di IAIN Pontianak (Studi Angkatan 2024).” Topik ini dianggap sangat relevan dengan realitas keberagaman mahasiswa di kampus sekaligus memberi perspektif baru mengenai dinamika komunikasi yang terjalin dalam lingkungan multietnis.

ISPC 2025 diikuti oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Kalimantan Barat, termasuk Universitas Tanjungpura (UNTAN) dan Politeknik Negeri Pontianak (POLNEP). Ajang internasional ini terselenggara atas dukungan tiga kampus penyelenggara, yakni IAIN Pontianak (Indonesia), Universiti Malaysia Sarawak (UNIMAS), dan Kolej Universiti Perguruan Ugama Seri Begawan (KUPU-SB) Brunei Darussalam.

Wakil Rektor III IAIN Pontianak, Dr. Ismail Ruslan, M.Si., dalam sambutannya menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya kegiatan ini. “Selamat kepada peserta yang sudah lolos presentasi dalam kegiatan ISPC. Kegiatan ISPC adalah ajang akademik bagi mahasiswa untuk mempresentasikan hasil risetnya. Selain itu, kegiatan ini juga mendukung mahasiswa agar selalu berkarya dalam bidang akademik. Tahun ini ISPC kembali diselenggarakan oleh tiga kampus: IAIN Pontianak, UNIMAS Sarawak Malaysia, dan KUPU-SB Brunei Darussalam,” ungkapnya.

Dalam presentasi yang berlangsung di Room 2 Sesi 1, Ghaly menyampaikan penelitiannya dengan runtut dan argumentasi yang kuat. Ia menekankan pentingnya komunikasi antarbudaya sebagai fondasi keharmonisan interaksi di tengah mahasiswa yang datang dari berbagai latar belakang etnis. Menurutnya, keterampilan komunikasi lintas budaya dapat mencegah potensi kesalahpahaman, memperkuat solidaritas, dan mendorong terciptanya suasana akademik yang inklusif.

Paparan yang disampaikan Ghaly mendapat apresiasi positif dari juri maupun sesama peserta. Isu yang ia angkat dinilai mampu memberikan kontribusi praktis bagi kehidupan kampus yang multikultural. Partisipasinya dalam forum ini sekaligus menjadi kebanggaan tersendiri bagi IAIN Pontianak, karena menunjukkan komitmen mahasiswa dalam menghadirkan gagasan akademik yang relevan dengan tantangan global.

Dengan keikutsertaan Muhammad Ghaly Rahman, ISPC 2025 semakin menegaskan perannya sebagai wadah pertukaran ide internasional. Kegiatan ini tidak hanya memperkaya pengalaman mahasiswa, tetapi juga memperkuat eksistensi IAIN Pontianak dalam percaturan akademik dunia, khususnya dalam pengembangan keilmuan sosial dan keagamaan berbasis multikulturalisme.




Surya Miati Angkat Barling Kopi sebagai Model UMKM Adaptif di ISPC

Pontianak (iainptk.ac.id) — Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak kembali menorehkan prestasi akademik melalui partisipasi mahasiswanya dalam International Student Paper Conference on Islamic Studies and Social Science (ISPC) 2025. Salah satu penelitian yang menarik perhatian dalam forum internasional tersebut adalah karya Surya Miati dengan judul “Peran Motivasi dan Strategi Pengembangan Usaha Kedai Kopi: Studi Kasus Barling Kopi Pontianak.”

Penelitian ini hadir sebagai respons terhadap ketatnya persaingan usaha kedai kopi di Kota Pontianak. Melalui pendekatan studi kasus, Surya mengkaji bagaimana motivasi personal pemilik Barling Kopi serta strategi pengembangan usaha yang adaptif menjadi faktor utama keberhasilan sebuah usaha kecil. Dari awalnya sebagai kedai keliling bermodal terbatas, Barling Kopi kini berkembang menjadi kedai tetap yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat usaha, tetapi juga ruang komunitas yang memperkuat ikatan sosial masyarakat.

Dalam paparannya, Surya Miati menegaskan bahwa keberhasilan usaha kecil tidak selalu ditentukan oleh modal besar, melainkan oleh inovasi dan kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan sosial. “Kunci keberhasilan UMKM terletak pada kreativitas, kedekatan dengan konsumen, serta strategi berbasis lokalitas. Barling Kopi, misalnya, memanfaatkan media sosial untuk memperluas pasar, menyesuaikan produk dengan selera masyarakat Pontianak, dan membangun loyalitas pelanggan melalui komunikasi yang hangat,” jelasnya.

Kegiatan ISPC 2025 menjadi ajang bergengsi yang mempertemukan mahasiswa dari Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Konferensi ini diselenggarakan atas kerja sama antara IAIN Pontianak, Universiti Malaysia Sarawak (UNIMAS), dan Kolej Universiti Perguruan Ugama Seri Begawan (KUPU-SB) Brunei Darussalam.

Wakil Rektor III IAIN Pontianak, Dr. Ismail Ruslan, M.Si., dalam sambutannya menyampaikan apresiasi kepada para peserta. “Kami mengucapkan selamat kepada seluruh peserta yang telah lolos presentasi dalam kegiatan ISPC. Kegiatan ISPC adalah ajang akademik bagi mahasiswa untuk mempresentasikan hasil risetnya. ISPC juga mendukung mahasiswa agar selalu berkarya dalam bidang akademik,” ungkapnya.

Melalui penelitian ini, Surya Miati menunjukkan bahwa sektor UMKM memiliki peran penting bukan hanya dalam pembangunan ekonomi, tetapi juga dalam memperkuat jejaring sosial masyarakat. Barling Kopi menjadi contoh konkret bahwa motivasi personal, strategi adaptif, dan kedekatan dengan komunitas lokal dapat menjadi pondasi keberhasilan bisnis di tengah kompetisi yang semakin ketat.

ISPC 2025 kembali membuktikan bahwa riset mahasiswa tidak hanya berkontribusi pada ranah akademik, tetapi juga mampu menghadirkan solusi nyata bagi persoalan ekonomi dan sosial masyarakat.




Tasya, Mahasiswi IAIN Pontianak, Sukses Presentasikan Strategi Dakwah Digital di Kompetisi International Student Paper Conference

Pontianak (iainptk.ac.id) — Intelektual muda dari tiga negara berkumpul di Kota Khatulistiwa dalam gelaran International Student Paper Conference (ISPC) 2025 yang sukses diselenggarakan selama dua hari, Selasa–Rabu, 24–25 September 2025. Konferensi internasional mahasiswa ini digelar di Kampus IAIN Pontianak bekerja sama dengan Universiti Malaysia Sarawak (UNIMAS) dan Kolej Universiti Perguruan Ugama Seri Begawan (KUPU-SB), Brunei Darussalam.

ISPC 2025 menjadi wadah bergengsi bagi mahasiswa untuk mempresentasikan hasil riset dari berbagai disiplin ilmu dengan fokus utama pada isu keagamaan, sosial, dan teknologi. Kegiatan ini diikuti ratusan peserta, baik secara luring maupun daring, dan disambut antusias oleh mahasiswa, dosen, serta peneliti dari Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Salah satu topik yang mencuri perhatian datang dari ranah dakwah dan teknologi. Tasya, mahasiswi Program Studi Manajemen Dakwah IAIN Pontianak, mempresentasikan paper berjudul “Strategi Dakwah Digital dalam Pembelajaran Tahsin di Lembaga Ratilik Qur’an.” Dalam paparannya, Tasya menekankan pentingnya adaptasi lembaga keagamaan terhadap platform digital untuk memperluas jangkauan dan meningkatkan kualitas pembelajaran tahsin (perbaikan bacaan Al-Qur’an), khususnya pascapandemi. Riset tersebut mendapatkan apresiasi positif dari panelis karena dinilai relevan dengan tantangan era digital.

Keberhasilan penyelenggaraan ISPC 2025 tidak lepas dari dukungan penuh civitas akademika IAIN Pontianak. Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama IAIN Pontianak, Dr. Ismail Ruslan, M.Si., hadir memberikan sambutan sekaligus motivasi. “Saya mengucapkan selamat kepada peserta yang sudah lolos presentasi kegiatan ISPC. Kegiatan ISPC adalah ajang akademik bagi mahasiswa untuk mempresentasikan hasil risetnya. ISPC juga mendukung mahasiswa agar selalu berkarya dalam bidang akademik,” ujarnya.

Beliau juga menegaskan pentingnya sinergi antar kampus serumpun. “Kegiatan ini diselenggarakan oleh tiga kampus: IAIN Pontianak, UNIMAS Serawak Malaysia, dan KUPU-SB Brunei Darussalam. Ini adalah bukti nyata kolaborasi akademik lintas negara,” tambahnya.

Tujuan utama ISPC adalah memacu semangat riset dan publikasi ilmiah mahasiswa sekaligus mempererat jejaring akademik di Asia Tenggara. Konferensi ini menghadirkan sesi pleno dan paralel yang interaktif, memberikan ruang diskusi, masukan dari dosen pakar, serta peluang membangun kolaborasi internasional. Kehadiran delegasi dari Malaysia dan Brunei Darussalam turut memperkaya diskusi dengan perspektif beragam dalam menjawab tantangan global.

Ke depan, IAIN Pontianak berkomitmen menjadikan ISPC sebagai agenda tahunan yang mampu menginspirasi mahasiswa untuk terus berkreasi dan berkarya dalam bidang akademik, serta memperkuat peran perguruan tinggi dalam pembangunan peradaban global yang berkelanjutan.




Mahasiswi Pascasarjana IAIN Pontianak Bahas Peran Ulama Borneo di ISPC 2025

Pontianak (iainptk.ac.id) — Ria Safaria, mahasiswi Pascasarjana Program Studi Magister Ekonomi Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak, berhasil lolos sebagai salah satu peserta International Student Paper Conference on Islamic Studies and Social Science (ISPC) 2025. Kegiatan ini digelar pada 24–25 September 2025 di Kampus IAIN Pontianak, dengan pelaksanaan secara luring dan daring melalui Zoom Meeting.

ISPC 2025 diikuti oleh tiga kampus serumpun, yakni IAIN Pontianak (Indonesia), Universiti Malaysia Sarawak (UNIMAS), dan Kolej Universiti Perguruan Ugama Seri Begawan (KUPU-SB), Brunei Darussalam. Selain itu, sejumlah perguruan tinggi negeri di Kota Pontianak juga turut serta. Kegiatan ini menghadirkan para juri, moderator, operator, dan civitas akademika yang memberikan dukungan penuh bagi para peserta.

Wakil Rektor III IAIN Pontianak, Dr. Ismail Ruslan, M.Si., dalam sambutannya menyampaikan apresiasi kepada para peserta. “Kegiatan ISPC adalah ajang akademik bagi mahasiswa untuk mempresentasikan hasil risetnya. ISPC juga mendukung mahasiswa agar selalu berkarya dalam bidang akademik. Tahun ini ISPC diselenggarakan bersama tiga kampus: IAIN Pontianak, UNIMAS Serawak Malaysia, dan KUPU-SB Brunei Darussalam,” ujarnya.

Dalam sesi presentasi yang berlangsung di Zoom Meeting Room 1 Sesi 2, para peserta diberi kesempatan selama 10 menit untuk memaparkan hasil riset dalam bentuk presentasi panel. Forum ini berjalan dinamis karena dilaksanakan dalam tiga bahasa, yakni Bahasa Indonesia, Bahasa Melayu, dan Bahasa Inggris. Usai presentasi, para juri memberikan komentar dan pertanyaan untuk menilai pemahaman mahasiswa terhadap penelitian yang dilakukan.

Ria Safaria menjadi salah satu peserta yang tampil membawakan penelitian berjudul “Peran Ulama dalam Islamisasi di Borneo: Studi Kasus Karya-Karya Ulama Borneo.” Dalam paparannya, Ria menjelaskan peran penting ulama terdahulu dalam penyebaran Islam di Borneo. Ia menekankan bahwa warisan sejarah tersebut wajib dilestarikan oleh berbagai pihak, baik pemerintah, pendidik, pelajar, maupun masyarakat lokal.

Penelitiannya menyoroti peninggalan-peninggalan berharga ulama Borneo, mulai dari kitab-kitab kuno, manuskrip, hingga bangunan masjid bersejarah. Salah satu yang ia sebutkan adalah Masjid Batu Nasrullah di Desa Teluk Pakedai, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, yang menjadi saksi sejarah penyebaran Islam di wilayah tersebut.

Melalui kajian ini, Ria berharap masyarakat semakin menyadari pentingnya melestarikan warisan sejarah Islam di Borneo. “Penelitian ini bertujuan memberikan wawasan bagi pembaca sekaligus melestarikan peninggalan ulama Borneo terdahulu,” ungkapnya.

ISPC 2025 tidak hanya menjadi ruang presentasi hasil riset, tetapi juga wadah bagi mahasiswa untuk mengasah kemampuan berpikir kritis, berkomunikasi ilmiah, dan memahami isu-isu sosial budaya di masyarakat. Dengan mengangkat tema Islamisasi Borneo, Ria menegaskan bahwa riset lokal dapat menjadi kontribusi berharga dalam percakapan akademik global.




Rayunsyah Pitra Darmawan Bahas Cerita Rakyat Kelebur dalam ISPC 2025

Pontianak (iainptk.ac.id) — Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak menjadi tuan rumah pelaksanaan International Student Paper Competition on Islamic Studies and Social Science (ISPC) 2025 yang berlangsung pada 24–25 September 2025 di Gedung Pascasarjana IAIN Pontianak.

Kegiatan ini resmi dibuka oleh Rektor IAIN Pontianak, Prof. Dr. K.H. Syarif, S.Ag., M.A., dengan penuh khidmat. Dalam kesempatan yang sama, Wakil Rektor III IAIN Pontianak, Dr. Ismail Ruslan, M.Si., menyampaikan apresiasi kepada seluruh peserta. “Saya mengucapkan selamat kepada peserta yang sudah lolos presentasi kegiatan ISPC. Kegiatan ISPC adalah ajang akademik bagi mahasiswa mempresentasikan hasil risetnya. ISPC juga mendukung mahasiswa agar selalu berkarya dalam bidang akademik. Tahun ini kegiatan diselenggarakan bersama tiga kampus: IAIN Pontianak, UNIMAS Serawak Malaysia, dan KUPU-SB Brunei Darussalam,” ungkapnya.

Pelaksanaan ISPC 2025 dilakukan secara luring bagi peserta yang berada di Kota Pontianak, yakni mahasiswa dari IAIN Pontianak, Universitas Tanjungpura (UNTAN), dan Politeknik Negeri Pontianak (POLNEP). Sementara itu, peserta dari luar Pontianak, seperti Universiti Malaysia Sarawak (UNIMAS) dan Kolej Universiti Perguruan Ugama Seri Begawan (KUPU-SB) Brunei Darussalam, mengikuti kegiatan melalui Zoom Meeting dengan jadwal khusus pada Kamis, 25 September 2025.

Salah satu peserta yang menarik perhatian adalah Rayunsyah Pitra Darmawan, mahasiswa IAIN Pontianak, yang membawakan artikel berjudul “Cerita Rakyat Kelebur: Nilai Moral dan Relevansinya dengan Pendidikan Karakter.” Penelitian ini dilaksanakan di Desa Tanjung Harapan, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.

Rayunsyah menjelaskan bahwa motivasi mengambil topik ini didorong oleh keprihatinan terhadap generasi muda yang mulai melupakan budaya lokal di tengah derasnya arus teknologi. Menurutnya, banyak cerita rakyat pedalaman Kalimantan yang belum dieksplorasi dan dipublikasikan, padahal mengandung nilai moral, kearifan, dan keunikan yang patut dilestarikan bagi generasi mendatang.

“Cerita rakyat bukan sekadar dongeng, tetapi juga media pendidikan karakter yang harus diwariskan. Saya berharap penelitian ini dapat menjadi sumbangsih untuk menumbuhkan kembali kesadaran generasi muda akan budaya mereka,” ujarnya.

Penelitian ini dilakukan Rayunsyah saat melaksanakan Kuliah Kerja Lapangan (KKL). Meski menghadapi keterbatasan jaringan komunikasi di lokasi penelitian, semangatnya tidak surut untuk menyelesaikan tulisan hingga siap dipresentasikan di ISPC 2025. Ia juga menyampaikan terima kasih kepada pihak kampus IAIN Pontianak, khususnya Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI), yang telah memberikan dukungan dalam penyusunan riset tersebut.

Hadirnya penelitian tentang cerita rakyat dalam forum internasional ini membuktikan bahwa isu lokal dapat diangkat menjadi diskursus akademik global. Melalui ISPC 2025, mahasiswa seperti Rayunsyah tidak hanya memperkaya wawasan ilmiah, tetapi juga mempertegas peran generasi muda dalam melestarikan budaya sebagai bagian dari pembangunan peradaban yang berkelanjutan.