Dasar-Dasar Studi Al-Quran dan Ekonomi

studi ekonomi

Bersama Prof. Dr. Seyyed Mofid Hoseini Kauhsariy
(Pidatonya diterjemahkan oleh Abdullah Beik, MA)

Membaca al-Quran tidak cukup jika kita hanya ingin mendapat pahala. Kalau pun kita berusaha untuk mengetahui apa yang ada di dalam al-Quran hanya sekedar terjemahannya saja. Sangat jarang ada yang duduk dan menyiapkan waktu untuk mencari jawaban dari al-Quran atas berbagai problema umat.

Benar adanya al-Quran adalah berisi ayat-ayat yang menjelaskan, namun ayat penjelas bagi yang bertanya. Kalau kita tidak punya pertanyaan maka kita tidak akan memperoleh jawaban. Karena itu kita perlu memperbaharui hubungan kita dengan al-Quran, keyakinan kita dengan al-Quran, tidak cukup kita meyakini bahwa al-Quran adalah kitab suci yang diturunkan Tuhan sebagai mukjizat dan selesai.

Di dalam persoalan ekonomi, kita tidak mengatakan bahwa perubahan budaya, ekonomi, sosial dan politik tidak penting, namun semua itu adalah akibat dari sebuah ilmu dari dalam al-Quran. Sangat disayangkan banyak dari kita yang tidak meyakini bahwa al-Quran adalah referensi ilmu pengetahuan dan pemikiran, perlu digarisbawahi bahwa ekonomi adalah penting, dan pondasi kehidupan yang berkelanjutan.

studi ekonomi#2Di dalam al-Quran disebutkan bahwa ekonomi merupakan bagian dari latar belakang/tujuan diutusnya para nabi, dalam surah al-Hadid ayat 25, “… Liyaquumann nasu bil qisth”. Telah kami utus kepada kalian para nabi dengan berbagai keterangan (kitab) untuk menegakkan keadilan di tengah manusia.

Terjemahan harfiyahnya adalah agar manusia itu dapat menegakkan keadilan, artinya yang memegang peran penting adalah manusianya, nabi hanya mendorong mereka.

Dalam ayat lain seperti surah al-Ma’un mensejajarkan masalah ekonomi dengan agama, ketiadaan sangat sensitif pada kemiskinan dan kelaparan, sama dengan menolak dan mendustakan agama artinya jika kita mengabaikan hal itu, maka kita tidak layak untuk mengklaim diri kita sebagai orang yang beragama.

Karena mereka meyakini adanya rasisme yang memandang bahwa diri mereka adalah lebih mulia dari yang lain, sehingga bisa melakukan segala sesuatu. Mereka mengklaim bahwa mereka adalah anak-anak Tuhan dan kekasihnya. Sementara yang lainnya adalah orang-orang buta huruf (umi). Di ayat lain Allah menegaskan bahwa mereka memiliki kebencian yang sangat pada kaum muslimin.

Dalam al-Quran disebutkan akan keharusan pemerataan ekonomi dan tidak boleh hanya ekslusif dikalangan elit saja karena ekonomi dalam pandangan Islam/al-Quran berhubungan dengan politik, sosial kemasyarakatan dan keluarga untuk meminimalisir perceraian.

Misalnya dalam ayat 6 surah at-Thalaq, Jika suami istri telah bercerai, maka seorang mantan suami tidak boleh mengusir mantan istrinya dari rumahnya tetap harus diberi nafkah pangan dan papan. Walaupun sudah bukan muhrim lagi. Rahasianya, bisa saja terjadinya perceraian karena emosi, namun dengan perlakuan yang baik dan perintah Tuhan untuk memberi nafkah, disaat itu sangat mungkin muncul kembali kasih dan sayang di antara mereka. Artinya Allah SWT menjadikan masalah ekonomi sebagai media untuk mempersatukan dan membangun rumah tangga.

Ekonomi dalam pandangan Islam berhubungan juga dengan para pemuka agama. Ulama dan para pemikir memiliki tanggungjawab atas apa yang dilakukan oleh masyarakat “Labi’sa maa kanuu yash na’un” jika sebuah masyarakat melakukan berbagai transaksi ilegal maka yang disalahkan adalah para pemimpin/ulama yang tidak melakukan pelarangan dan perbaikan. Jadi ekonomi sangat berhubungan dengan politik, sosial, pendidikan dan spiritualitas.  

Print Friendly, PDF & Email