Dr. Herlambang: “Ideologi Inklusif; Sebuah Pendekatan Tafsir”

Dosen Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah (FUAD) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak, Dr. Saifuddin Herlambang, S.Ag., MA. memberikan orasi ilmiah dalam acara Sidang Senat Terbuka dalam Rangka Wisuda Magister (S.2) dan Sarjana (S.1) serta Pengukuhan Gelar Pegawai IAIN Pontianak Semester Ganjil Tahun Akademik 2017-2018 di Gedung Sport Center IAIN Pontianak, 10 Oktober 2017. Judul orasi ilmiah yang diampaikan ialah “Ideologi Inklusif: Sebuah Pendekatan Tafsir.”

Judul orasi ilmiah tersebut merupakan salah satu temuan Herlambang ketika melakukan riset di Afrika Utara dengan Tunisia Tokoh Tafsir Syekh Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur dalam kitabnya, At-Tahrir Wa Tanwir. Herlambang berkesimpulan bahwa tafsir mempunyai korelasi positif dengan indentitas mufassir itu sendiri. “Artinya, jika kita membicangkan tentang agama atau sebuah ideologi yang bersumber dari kitab suci dalam agama apapun, maka metodologi pendekatan kitab suci itu adalah tafsir. Pada  masa awal Islam yakni di zaman para sahabat, sebenarnya tidak terlalu banyak gesekan-gesekan terjadi dalam memahami al-Qur’an,” jelasnya.

Herlambang kemudian mencontohkan ketika pada zaman Nabi Muhammad SAW, “Jika ada hal-hal yang berselisih paham di antara para sahabat tentang pemahaman mereka dalam memahami kitab suci al-Qur’an, maka urusan itu selesai. Kenapa selesai? Karena Nabi Muhammad SAW hadir di dalamnya dan Nabi merupakan orang yang paling mengetahui maksud dari isi kitab suci tersebut setelah Allah SWT,” jelasnya dan diperkuat dengan mengutip pendapat Husain az-Zahabi dalam kitabnya yang berjudul, “At-Tafsir wa al-Mufasirun karangan.”

Saya melihat, dari dahulu, ulama-ulama klasik sampai dengan modern yang progresif sekarang, mereka juga tidak sepakat tentang apakah tafsir yang merupakan metodologi pendekatan terhadapt teks al-Qur’an itu bersifat transenden kah? Bersifat absolut kah, Murni dari Allah? Atau dia sesuatu yang bersifat profan dalam artian bersifat manusiawi saja? Nah, di dalam penelitan yang saya dilakukan, saya temukan bahwa ternyata memang apa yang dipahami oleh ulama, baik di kalangan Islam atau non-Islam, itu sesungguhnya bersifat subjektif, profan dan sangat manusiawi. Dia bukan transenden dari Tuhan,” papar pria yang telah menyelesaikan S3-nya di Program Studi Tafsir Hadits UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan IPK 3,78 Predikat Pujian (Cumlaude).

Herlambang selanjutnya menunjukkan penafsiran Syekh Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur dalam surat Ali Imron ayat 13 tentang musyarawah. “Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur mengatakan bahwa kita tidak bisa mengajak non-muslim untuk musyawarah dengan 3 alasan. Pertama, non-muslim tidak setara dengan kita karena cara ibadahnya berbeda. Kedua, non-muslim ketika kita ajak musyawarah, dia tidak akan mungkin memikirkan kemaslahatan kita secara umum. Ketiga, non-muslim tidak akan mungkin secara khusus mau menegakkan Islam. Apabila kita mengajak mereka musyawarah, maka akan merugikan kita.” Herlambang melihat alasan-alasan teologi tersebut bersifat profan dan sangat manusiawi.

Herlambang berargumen dengan berdasarkan catatan kecil Mun’im Sirry yang menjelaskan bahwa, dulu antara orang Islam dan orang Kristen akur-akur saja, mereka bisa bertentangga. Tapi setelah pecah perang Salib, antara pala peneliti dan ulama mulai punya tembok yang orientasinya seolah-olah antara kita dengan mereka mempunyai jurang. Oleh karena itu, Herlambang berkesimpulan bahwa apa yang dikaji oleh para mufassir baik dikalangan muslim maupun non-muslim masih mempunyai pengaruh dari episteme nalar mufassir itu sendiri. Herlambang memperkuatnya kembali dengan teorinya John Hans-Georg Gadamer.

Sebelum mengakhir orasi ilmiahnya, Herlambang menyampaikan penafsiran surat al-Hujarat ayat 13 menurut Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur dalam kitabnya, At-Tahrir Wa Tanwir. Kalau kita ingin memahami ayat “inna akramakum indallahi atqakum”, maka penjelasan ayat ini jangan dicari di ayat lain, karena ayat ini sudah sesungguhnya sudah final. “Sesungguhnya orang paling mulia di antara kamu ialah orang yang paling taqwa.” Siapa yang paling taqwa? Orang yang paling taqwa ialah mereka yang melakukan “lita’arafu”, yaitu mereka yang bisa memahami orang lain.

Print Friendly, PDF & Email