Haji dan Takwa, Sempurnakan Hidup

Dalam rukun Islam haji disebut rukun kelima. Sesungguhnya tidak ada keharusan untuk mengurutkannya demikian. Oleh karena secara syariat penunaiannya terkait tempat dan waktu tertentu, yang ini sekaligus berkaitan dengan kemampuan pembiayaan, maka orang Islam tidak melaksanakananya setiap saat. Maka seolah-olah ibadah haji ini adalah rukun Islam yang terakhir.

Sesungguhnya hakikat haji bukan rukun Islam yang terakhir, tetapi adalah sebagai rukun penyempurnaan. Maksudnya bukan setelah menunaikan ibadah haji kemudian keislaman seseorang baru sempurna. Tetapi ialah secara hakikat atau bathiniyahnya semua ibadah harus sampai di tempat atau di titik pusat ritualnya ibadah haji, yang di dalam al-Qurân disebut “baitul ‘atîq” (Qs. al-Hajj/22:32-33).

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ. لَكُمْ فِيهَا مَنَافِعُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ مَحِلُّهَا إِلَى الْبَيْتِ الْعَتِيقِ

Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. Bagi kamu pada binatang-binatang hadyu, itu ada beberapa manfaat, sampai kepada waktu yang ditentukan, kemudian tempat wajib menyembelihnya ialah setelah sampai ke Baitul Atiq (Baitullah). (Qs. al-Hajj, 22:32-33)

Haji sesungguhnya menuntun kita supaya dalam beribadah tidak hanya memahami dan mengamalkan syariatnya saja. Dalam ajaran Islam ibadah adalah sesuatu yang sangat sakral yang tidak boleh dilakukan hanya dengan ala-kadarnya. Sebab ibadah adalah dalam rangka kita berhadapan dengan Tuhan. Karena sesungguhnya haji-hujjah itu merupakan perjumpaan. Oleh karena itu dalam beribadah kita harus serius dan tidak boleh main-main. Dalam beribadah kita harus totalitas karena hajat tertinggi kita untuk berjumpa Allah Swt. Nah, totalitas dalam beribadah inilah harus menyertakan batin. Yang unik lagi bahwa untuk perjumpaan itu Allah menunjuk wasîlaţ-Nya yaitu Muhammad Rasulullah Saw itu menemui para hujjâj.

وَأَذِّن فِي ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَجِّ يَأۡتُوكَ رِجَالٗا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٖ يَأۡتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٖ ٢٧

Dan serulah (wujud) yang dalam manusia (ruh/mukmin) untuk berhaji (berjumpa Tuhan) niscaya mereka akan datang kepadmu (wahai Muhammad) dengan berjalan kaki atau menaiki onta yang kurus mereka datang dari segenap penjuru yang jauh (Qs al-Hajj/22:27)

Teks ini menjadi makna langsung dari ungkapan keterangan ayat dalam Qs al-Mâidah/5:35 bahwa untuk memenuhi seruan bertakwa kita harus mencari dan menemukan wasîlaţ berupa jalan lurus yang sampai kepada-Nya.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱبۡتَغُوٓاْ إِلَيۡهِ ٱلۡوَسِيلَةَ وَجَٰهِدُواْ فِي سَبِيلِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٣٥

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.

Jalan lurus itu diterangkan oleh fenomena sebutan setelah kita habis membaca surat al-­Fâtihah yaitu ÂMÎN. Wujud wasîlaţ ini ternyata ada dalam permohonan kita di setiap selesai adzan “âti Muhammadan al-waslaţ—datangkan akan di Muhammad sebagai wasilah”. Wasilah untuk apa? Dalam konteks doa adzân ini adalah dalam rangka berhubungan atau shalât kepada Tuhan pemilik seruan yang sempurna. Di mana Muhammad Saw berkedudukan sebagai wasîlaţ? Ialah di tempat yang terpuji “wab’atshu maqâman mahmûdan—bangkitkan Dia Muhammad di maqam yang terpuji”

Jika kita senantiasa berpandangan hati di qiblat, di ‘Arasy maka Dianya Allah senantiasa bersama kita, dalam bentuk Allah melihat semua yang kita lakukan. Tentunya kita dalam penjagaan-Nya dengan kekuasaan-Nya.

Tentang takwa juga dalam kaitannya dengan puasa. Sesungguhnya takwa itu bukan tujuan shiyam, melainkan instrument utama dari shiyam. Sesungguhnya shiyâm adalah mukmin mempuasakann atau menahan hawa-nafsu atau penyakit hati atau maksiat batin. Itu tidak bisa terjadi jika tidak ditolong oleh Allah. Allah tidak menolong hati yang pandangannya tidak datang di hadapannya atau tidak takwa atau tidak shalat. Maka seru-Nya “minta tolonglah dengan sabar dan shalât”. Tentu shalat yang khusyu’ yaitu shalat yang didirikan oleh orang yang yakin hatinya berjumpa Tuhan saat shalat itu, disebabkan orang itu mengerti cara dan jalan kembali kepada Tuhannya.

وَٱسۡتَعِينُواْ بِٱلصَّبۡرِ وَٱلصَّلَوٰةِۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى ٱلۡخَٰشِعِينَ ٤٥  ٱلَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلَٰقُواْ رَبِّهِمۡ وَأَنَّهُمۡ إِلَيۡهِ رَٰجِعُونَ ٤٦

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu´. (yaitu) orang-orang yang yakin (hatinya) bahwa mereka menemui Tuhannya (saat shalat), dan bahwa mereka kembali (secara hakikat, saat shalat) kepada-Nya. (Qs al-Baqarah/2:45-46).

Juga dalam shalât misalnya, tidak boleh kita hanya sekedar mengetahui dan mengamalkan syariatnya saja tanpa kita benar-benar total dengan batin kita. Kerja batin kita dalam shalât adalah seperti yang diucapkan dalam lafazh niat “mustaqbilal qiblati—dengan sengaja menghdap qiblat”. Ternyata yang harus menghadap qiblat saat shalât tidak sekedar muka pada tubuh melainkan harus dengan pandangan hati, pikiran, ingatan fokus di suatu titik yang namanya qiblat. Titik qiblat itu tepat di posisi Ka’bah yang terlihat secara syariat itu. Di titik qiblat itu tertancap tiang ‘Arasy. Sedangkan pengabaran teks ayat al-Qurân mengatakan bahwa Tuhan itu bersemayam di ‘Arasy (Qs. al-Hadid/57:4).

هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ يَعۡلَمُ مَا يَلِجُ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَمَا يَخۡرُجُ مِنۡهَا وَمَا يَنزِلُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ وَمَا يَعۡرُجُ فِيهَاۖ وَهُوَ مَعَكُمۡ أَيۡنَ مَا كُنتُمۡۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٞ ٤

Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ´Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Teks ayat ini memastikan, bahwa jika kita senantiasa berpandangan hati di qiblat, di ‘Arasy maka Dianya Allah senantiasa bersama kita dalam bentuk Allah melihat semua yang kita lakukan. Tentunya kita dalam penjagaan-Nya dengan kekuasan-Nya. Dengan keterangan ayat ini, ternyata Tuhan itu tidak di mana-mana, tetapi di ‘Arsy. Tugas kita harus belajar secara pasti dan mutlak di mana posisi ‘Arsy. Jika tidak dapat belajar sendiri, bertanyalah kepada orang yang telah pernah dikarunia rejeki batin berjumpa dengan ‘Arsy itu.

Artinya dengan memusatkan batin, pandangan hati, pikiran, atau ingatan kita, maka sesungguhnya kita sedang menghadap Tuhan. Sebaliknya, jika pandangan hati kita berkeliaran saat shalât sebagai ritual menyembah Tuhan, maka hakikatnya kita tidak sedang menghadap Tuhan, tetapi sedang menghadap dan menyembah apa yang sedang diingat dalam shalât itu. Misalnya jika saat shalât hati kita sedang terfokus ingat mobil kita, maka saat itu kita sedang menghadap dan menyembah mobil. Inilah urgensinya kita beribadah secara totalitas zhâir dan bâthin.

Jadi hubungan haji dan taqwa adalah taqwa sebagai sempurnanya haji, dan haji sebagai wujud dari taqwa. Karena  taqwa itu kinerja batin, sedangkan haji hasil dari taqwa dalam rangka perjumpaan dengan Allah Swt. Apa manfaat sinergi haji dan takwa ini? Ialah saat haji dan taqwa ini diraih oleh seseorang maka lahir-zhâhir-bâthin seseorang disempurnakan oleh Allah menjadi mukmin yang baik oleh karena hatinya dipelihara oleh Tuhannya. Terpeliharanya hati artinya hati senantiasa mendapat taufiq dan hidayah untuk bertindak dan berkata secara baik dan terhindar dari perilaku sebaliknya. Saat hati terpelihara inilah kita akan merasakan ketentraman dan kebahagiaan.

Kalau kita telusuri semua i’tiqad orang, atau bahkan i’tiqad diri kita sendiri, bahwa semua yang dilakukan seseorang dalam kehidupannya adalah untuk kebaikan diri dan keluarganya. Tentu kebaikan itu berupa ketentraman, ketenangan, dan kebahagiaan. Saat beginilah kita bisa merasakan benarnya petunjuk Allah Swt. Saat begini ini pulalah hidup kita berasa sempurna. Patutlah Allah Swt memerintahkan untuk  mengikuti ajaran-Nya yaitu beragama dengan benar. Beragama dengan benar itu artinya kita tidak sekadarnya saja beragama. Beragama yang sebenarnya kita benar-benar memegangi ajaran agama dan bukan hanya menjadikan agama sebagai pelengkap identitas.

Jadi, dengan ini baru kita mendapat kefahaman tentang bahwa haji itu sebagai penyempurna ibadah. Jika hidup kita pun selalu ditautkan kepada Allah dengan beribadah, maka sekaligus hidup kita disempurnakan. Maka mari kita jadikan ajaran agama sebagai bagian yang sangat penting dalam kehidupan kita, supaya kita dipandang penting oleh Allah Swt. Dengan begitu kehidupan kita akan menjadi baik dan terasa sempurna hidup kita dengan jalan penyempurnaan ibadah ini. Aamîn yâ Karîm.

Penulis: Dr. H. Syarif, MA

Print Friendly, PDF & Email