-

Menarik, Kegiatan Pengabdian berbasis Riset Pascasarjana IAIN Pontianak dengan tema Halal Food on The Dragon House

SINGKAWANG (iainptk.ac.id) — Salah satu kegiatan Pengabdian berbasis Riset Pascasarjana IAIN Pontianak mengambil tema menarik, Halal Food on The Dragon House, Makanan Halal sebagai Soft Power (kekuatan lunak) bagi Kerukunan dan Toleransi di Kota Singkawang.

Peneliti sekaligus dosen Pascasarjana IAIN Pontianak, Dr. Samsul Hidayat, MA dan Dr. Abdul Mukti, MA, saat melakukan FGD bersama para tokoh agama dan budaya se Kota Singkawang merasakan energi baru karena dapat bertemu dengan para tokoh kunci penjaga toleransi di Kota paling toleransi se-Indonesia versi Setara Institute tahun 2018.

Sebagai peneliti dan  sekaligus pengurus FKUB Provinsi Kalbar, Samsul Hidayat dan Abdul Mukti merasa terpanggil untuk menguatkan keutuhan negeri apalagi di tengah ancaman resesi ekonomi di tengah wabah Pandemi Covid-19.

Saat Focus Group Discussion (FGD) yang difasilitasi Kemenag Kota Singkawang (24/9/20), para penjaga harmoni di Singkawang terlihat sangat akrab meski kadang terlontar “Nada primordialisme” atas nama etnis dan agama. Yang menggembirakan, mereka duduk bersama untuk dialog. Inilah kunci hubungan sosial orang Indonesia: Musyawarah. Dan itulah Pancasila dan itulah Indonesia. Pancasila bukan untuk dipertarungkan dengan narasi “Islamis” atau apapun yang bernada “Bukan pancasilais”.

Riset yang diusung juga tergolong unik: bicara makanan sebagai unsur budaya dan pintu masuk dalam diskursus kerukunan. Kok bisa ya? Ya bisa dong. Peneliti melihat makanan, lebih tepatnya kuliner sebagai media kerukunan yang dalam konteks Kota Singkawang telah menjadi artefak kebudayaan atau warisan yang turun temurun terutama antara orang Melayu-Muslim dan masyarakat Tionghoa-Buddha dan Khoghucu, serta Dayak yang umumnya Kristen. Sebagai contoh, ketika Imlek, banyak orang Melayu yang mengantar kue lapis ke tetangganya yang Tionghoa. Sementara kalau datang lebaran, banyak tetangga yang Tionghoa ngantar makanan kue keranjang ke tetangga Melayu-Muslim. Beberapa warkop milik Tionghoa, selalu orang Melayu yang menjadi pramusajinya. Ada semacam peleburan kebudayaan yang outentik yang bisa menguatkan kerukunan. Begitulah yang terjadi selama ini di Singkawang.

Jika pun ditemukan indikasi pergesekan antar etnis, biasanya lebih karena faktor eksternal yang tidak genuine misalnya pada musim kontestasi politik kekuasaan.

Dalam FGD, ternyata banyak kalangan non-Muslim yang belum paham tentang konsep halal. Yang mereka tahu, kalau babi itu binatang yang haram di makan Muslim. Selain itu tidak ada masalah krusial. Konsep halal itu memang terlihat problematis bagi kalangan non-Muslim di Singkawang lebih karena kekurangpahaman. Sementara diskursus tentang halal food telah menjadi isu dunia. Boleh jadi Ini semacam minimnya sosialisasi tentang konsep halal bagi kalangan non-Muslim.

Dalam forum FGD, terungkap persepsi yang mengemuka bahwa jika program sertifikasi halal menjadi program bagi pemerintah yang ditujukan kepada para penjual makanan di Singkawang yang notabene banyak non-Muslim, maka dikhawatirkan akan menjadi potensi atau ancaman bagi toleransi. Bisa jadi, ini semata-mata karena belum komprehensifnya pemahaman konsep terutama bagi kalangan non-Muslim. Apalagi sertifikasi halal itu tidak dimaksudkan untuk semua makanan yang di produksi masyarakat.

Salah satu peserta FGD yang merupakan Tumenggung Dayak Singkawang mengungkapkan, “Bisa jadi akan ada pihak yang tersinggung jika produk mereka akan di assement dalam standar sertifikasi halal. Sebab, bagi mereka dalam berjualan yang penting laku” Ungkapnya secara pragmatis. Ungkapan itu tidak sepenuhnya keliru karena soal perspektif keyakinan dan segmentasi pasar. Pernyataan ini menandakan belum terkoneksinya pemahaman secara tepat terkait sertifikasi halal.

Yang pasti riset ini tidak dimaksudkan sampai pada proses aksi seperti penerapan program sertifikasi halal dan sebagainya, tapi lebih pada upaya menggali makanan sebagai media dalam merawat kerukunan umat beragama di Kota Singkawang.

Beberapa data berupa ungkapan spontan dari para tokoh ini sebagai gambaran menarik untuk melihat lebih dalam realitas kehidupan masyarakat Singkawang. Siapa tahu ada data-data yang lebih menguatkan atau bahkan melemahkan hipotesa yang sedang dibangun.

Seru bukan? Apanya yang seru? Riset ini sambil makan-makan. Karena isunya tentang makanan. Tapi ingat loh, makanan bukan sekedar makanan dalam pengertian fisika yang materialistik. Tapi makanan sebagai unsur budaya yang sarat nilai yang dinamis. Dalam “Secangkir kopi” di warkop milik orang Tionghoa di Singkawang ada kerukunan yang mendamaikan. Karena itu, kopi bukan sekedar campuran antara kopi dan gula disiran air panas. Tapi dalam proses mengopi ada ekspresi kebudayaan asli nusantara.

Penulis: Dr. Samsul Hidayat, MA
Editor: Omar Mukhtar

Print Friendly, PDF & Email