Salat Tidak Berakhir di Atas Sajadah, Ini Penjelasan Herlambang

“Sebaik-baik manusia adalah manusia yang dapat bermanfaat bagi manusia lain.” Ini merupakan kesimpulan dari penjelasan Surat Al-Fath ayat 29 yang disampaikan oleh Dr. Saifuddin Herlambang, M.Ag. dalam kegiatan Pembinaan Pegawai dan Halal Bi Halal Keluarga Besar IAIN Pontianak di Auditorium Syeikh Abdul Rani Mahmud IAIN Pontianak, Rabu, 05 Juli 2017.

Dosen IAIN Pontianak yang berhasil menyelesaikan studi S3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta meraih predikat “Cumlaude” dengan IPK 3,70 ini kemudian menjelaskan lebih lanjut tentang tafsir dari ayat tersebut. Secara garis besar, ada dua perbedaan pendapat para ulama tafsir dalam menafsiri ayat tersebut. Menurut pendapat pertama, kalimat “simahum bi wujuhihim min atsaris sujud” dalam ayat tersebut ditafsirkan dengan seorang yang sholat, maka ada bekas (hitam) sujud di dahinya seperti saudara kita yang salafi dengan melihat zhahir dari ayat tersebut. Kedua, Ulama-Ulama Ma’rifat mengatakan bahwa bekas sujud tersebut terlihat ketika mereka dibangkitkan oleh Allah di Padang Mahsyar (‘Inda yaumul qiyamah), dahinya memancarkan cahaya. Tafsir dari kedua kelompok ini masih merujuk daripada makna ayat.

Adapun yang menjadi perhatian lebih oleh Herlambang ialah salah satu kitab tafsir yang tidak terlalu populer yang ditulis oleh Syekh As-Siroji Dengan Judul, “At-Tufaan.” Menurutnya, adapun yang dimaksud dengan “simahum bi wujuhihim min atsaris sujud” pemahaman yang sederhana, yaitu diartikan bekas sujud di wajahnya, akan tetapi apa saja ia tinggalkan (bekas) ketika ia hidup di dunia (Inda hayatihi wa wujudihi ma jadda fi dunya). “Itulah yang dimaksud oleh Syekh As-Siroji mengenai kalimat “Atsaris sujud” dengan pendekatan sosiologis,” jelasnya

Pertanyaan yang timbul ialah, seberapa banyak atsaris sujud yang sudah kita lakukan? Atsaris sujud yang baik atau yang jelek? Herlambang kemudian memberikan contoh seorang dosen dalam melaksanakan tugasnya. “Ketika seorang dosen mengajar di kampus, lalu ilmu yang diajarkannya tersebut bermanfaat ketika kita meninggal dunia, maka itulah yang dimaksud dengan atsaris sujud,” jelasnya. “Wujudihim wa hayatihim fiddunya, inilah yang dimaksud dengan atsaris sujud,” tegasnya.

Menurut Herlambang, hampir tidak ada satupun hadits yang menjelaskan kata iman yang tidak dihubungkan dengan perilaku. Jika iman yang di dalam dada, mengutip istilah Dr. Syarif, S.Ag., MA., itu adalah iman secara subjektif. Jadi, iman secara predikat adalah perilaku. Jadi, kalau orang yang mengatakan “assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh” pada kahir sholat, menurut As-Siroji, lihatlah ke kanan dan kirimu apa yang dialami oleh masyarakat dan saudara-saudaramu. Artinya, sholat itu akhirnya bukan di atas sajadah, tetapi bagaimana bisa kita memberikan jawaban dari problematika-problematika  yang dihadapi oleh masyarakat.

Di akhir tausiyahnya, Herlambang mengajak Keluarga Besar IAIN Pontianak untuk menjadi pribadi yang dapat memberikan manfaat kepada orang di sekitar kita sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW, “Khairunnas anfa’uhum linnas: Sebaik-baik manusia adalah manusia yang dapat bermanfaat bagi manusia yang lain.” (Luthfy)

Print Friendly, PDF & Email