Ushul dan Hikmah Jamarat

Hari ini para hujjaj sedang berada di Mina dalam rangka melaksanakan ritual jumrah. Beberapa ritualitas syariat haji tak lepas dari sosok Nabi Ibrahim as. Di antaranya yang paling langsung adalah wajib haji melempar jumroh. Ada jumroh aqabah, wusthâ, dan ûlâ. Semua penjelasan pada penyampaian-penyampai hikmah amaliah atau ibadah, melontar jumroh merupakan simbol melempar setan. Bisa dibayangkan jika ritual melempar jumrah ini dipahami secara syariat mentah, berarti di tiang-tiang jamarat itu merupakan perkampungan atau tempat berkumpulnya setan. Itu artinya sama dengan kita menyebut setan itu sebagai wujud sosok atau bahkan subyek. Apa sebenarnya ushul-asal disyariatkannya melontar jumrah dalam ritual haji ini.

Bermula dari Ibrahim as mendapat perintah dalam mimpinya untuk menyembelih putranya (Ismail)  yang diperolehnya di usia tua dari seorang istrinya Siti Hajar. Sebelum mendapat perintah menyembelih itu Ibrahim as mendapat perintah ketundukan. (Qs. al-Baqarah/2:131).

إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ

Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam”. (Qs. al-Baqarah/2:131).

Setelahnya, ternyata Ibrahim diuji oleh Allah Swt atas keimanannya itu. Karena pernyataannya tunduk patuh itu, datang dalam mimpinya seperti keterangan teks ayat berikut.

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعۡيَ قَالَ يَٰبُنَيَّ إِنِّيٓ أَرَىٰ فِي ٱلۡمَنَامِ أَنِّيٓ أَذۡبَحُكَ فَٱنظُرۡ مَاذَا تَرَىٰۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُۖ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ ١٠٢

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (al-Shâffat/37:102)

Ternyata mimpi itu tidak sekali datang langsung dieksekusi oleh Ibrahim as. Ternyata Ibrahim juga jadi korban bisikan di dalam dada “alladzî yuwaswisu fii shudûrin nâsi” seperti Adam as.

Dalam kajian hikmah dikabarkan bahwa Ibrahim as tidak sekali  mendapat perintah dalam mimpinya. Setiap mendapat mimpi setiap itu pula Ibrahim as mendapat bisikan ragu, yaitu bisikan setan dalam harinya. “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya)” (Qs. al-Shaaffaat/37:103). Saat sudah seperti ini pun tetap setan menggoda supaya Ibrahim as tidak menyembelih putranya. Maka Ibrahim as mengambil batu dan melemparkannya ke arah depannya seraya menghadap qiblat.  Inilah USHÛL JUMRAH AQABAH.

فلما أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ

Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). (Qs. al-Shaaffaat/37:103)

Begitupun jumrah wusthâ disyariatkan ritualnya oleh karena ternyata ibu Ismail pun Siti Hajar juga mendapat bisikan setan di hatinya. Kepada Siti Hajar dibisikkan “bukankah anak itu kau dapat setelah Bapak sudah berumur? Bukankah dia anakmu itu sedang indah-indahnya dipandang mata? Mengapa harus kau biarkan Ibrahim suamimu menyembelihnya? Begitu pun Siti Hajar melempar setan dengan batu seraya menghadap kiblat dan berhasil menghalau setan dan memenangkan hatinya untuk menguatkan keimanan sang suami. Inilah USHÛL  JUMRAH WUSTHÂ.

Ternyata pun Ismail sang putra Ibrahim as  Bapak para Nabi itu tidak luput dari bisikan yang bernama setan itu. Tetapi Ismail kecil telah mendapat kokohnya keimanan, sehingga setan pun dilemparnya dengan batu seraya menghadap kiblat. Ismail berkata kepada Ayahnya “Tutup matamu Ayah, baringkan aku dibatu ini, mari kita sama-sama ber-QIBLAT, lakukanlah perintah Tuhanmu”. Ismail menguatkan Ayahnya, dan berhasil menghalau setan di hatinya. Inilah USHÛL JUMRAH ÛLÂ disyariatkan.

Ketiga subyek udlhiyah ini berhasil menghalau setan di hati, berpendirian hati atau beragama senantiasa tertaut kepada Tuhan mereka. Maka Allah Swt pun membalasnya dengan kebahagiaan. Bentuk balasan itu bahwa Sang Anak pujaan hati diselamatkan oleh Allah Swt. “وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ–Wafadainâhu bidzabhin ‘azhîn —Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”(Qs. al-Shâffât/37:107). Inilah USHUL syariat udlhiyah atau menyembelih hewan qurban pada setiap rangkaian ‘idu al-Adlhâ.

Untuk memperoleh hikmah atau sesuatu yang bermanfaat, maka kita harus menyediakan perhatian serius untuk memahami substansi makna dari ritual jumroh ‘aqabah, wusthâ dan ûlâ ini adalah tentang bacaan yang mengiringi ritual ini, yaitu “bismillâhi Allâhu Akbar rajman li al-syayâthîn — Dengan Nama Allah, Allah Maha Besar, pukulan bagi setan-setan”.

Dengan bacaan ini nyatalah bahwa bukan batu yang kita lontarkan itu yang menjadi pukulan bagi setan. Dalam kajian ilmu hikmah berbasis Wujud bahwa pertemuan BISMILLÂH dengan ALLAHU AKBAR itulah sebagai pukulan bagi setan.  Artinya karena Bismillah bertemu Allahu Akbar itu maka setan terpukul dan tak berdaya. Jika kajian ini hanya berhenti pada bacaan, maka tidak akan dapat substansi makna yang real.

Bismillâh — Yang Dengan Nama Allah, ialah wujud yang datang dari pada Allah. Bismillah adalah rûh, adalah diri kita. Dalam Qs. al-Syûrâ/42:52 dijelaskan bahwa rûh adalah cahaya. Jadi bismillâh itu hamba bertemu si Akbar sebagai Tuhan, itulah pukulan bagi setan.

وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلا الإيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Dan demikianlah (apa yang) telah Kami wahyukan (datang) kepadamu yaitu rûh sebagai urusan Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah itu kitâb  dan tidak pula mengetahui apakah îmân itu, tetapi Kami menjadikan rûh itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Qs. al-Syûrâ/42:52)

Jika hamba datang bertemu Tuhannya secara hakikat (baca Syarif: Ushul Wukuf ‘Arafah) maka hati hamba itu diintervensi oleh Tuhannya, Allah Swt, terpukulah setan tak berdaya menggoda hamba yang dalam hati. Maka dengan begitu hati hamba tersebut menjadi baik. Dengan syarat sang hamba datang kepada Tuhannya secara hakikat di tempat yang telah ditetapkan sebagai tempat berhubungan atau tempat pertemuan (Qs. Al-Baqarah/2:125, al-A’raf/:43, al-Hajj/22:32-33, al-Balad/90:1-3). Inilah hikmah  besar dari syariat wajib haji yaitu melontar jumroh.

Dalam beberapa riwayat disampaikan bahwa pada setiap selesai melempar jumrah dianjurkan berdoa dan doa diijabah oleh Allah. Maka setelah jumrah ‘aqabah berdoalah semua tentang kita sebagai laki-laki atau sebagai kepala keluarga, sebagai suami, sebagi ayah dari anak-anak kita, sebagai bagian dari bangsa, sebagai pendidik, dan seterusnya. Karena syariat jumrah ‘aqabah sebagai jejak Ibrahim as bebas dari bisikan setan.

Lalu setelah melempar jumrah wusthâ berdoalah tentang istri kita. Doakan semuanya yang kita hajatkan dan harapkan dari istri kita. Kerena syariat jumrah wusthâ merupakan jejak dari dari Siti Hajar sebagai istri dan sebagai seorang ibu berhasil dan bebas dari bisikan setan di hatinya. Kemudian yang terakhir, setelah melontar jumrah ûlâ, berdolah kita tentang semua yang kita hajatkan dan harapkan dari anak-anak kita. Karena syariat jumrah ûlâ ini merupakan jejak dari sosok Ismail as yang juga berhasil membebaskan dirinya dari bisikan setan di hatinya. Tentu doa yang paling ideal bahwa kita ingin anak-anak kita seperti Ismail as yang beriman dan meneguhkan keimanan orang tuanya.

Dalam kehidupan sosial berbangsa dan bernegara, tentu hikmah besar yang harus kita realisasikan setelah berikhtiar memohon intervensi Tuhan supaya hati ini jadi baik, ialah kita harus mewujudkan karakter rela berkorban dalam perjuangan. Tentu pada sektor dan lingkup tanggung jawab tugas dan fungsi kita masing-masing. Ternyata sifat kikir yang melahirkan sifat tamak-loba adalah sifat yang paling diimami oleh setan. Jika setelah melakukan syariat jamarat kita masih kikir dan tamak-loba, artinya kita sedang hampa dari Hikmah Jamarat. Boleh juga sifat kedermawanan itu tidak harus berupa harta-benda, walau itu mesti, tapi bisa berupa kaya solusi dalam berpartisipasi menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa. Juga bisa berupa yang lain, yang intinya mencerminkam bahwa hati kita itu telah mendapat intervensi Tuhan menjadi baik dan cenderung berbuat dan mewujudkan yang baik-baik.

Penulis: Dr. H. Syarif, MA

Print Friendly, PDF & Email