Memperingati Hari Pendidikan Nasional, Ketua Senat IAIN Pontianak Ajak Perbaiki Kualitas Pendidikan

Pontianak (iainptk.ac.id) Insitut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak kembali mengadakan apel pagi pasca jeda Ramadan 1444 H lalu. Kegiatan rutin yang diadakan setiap Senin pagi ini diikuti oleh seluruh pegawai IAIN Pontianak, baik ASN maupun non ASN. Seperti biasa, kegiatan ini berlangsung di halaman gedung Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) IAIN Pontianak.

Pada pelaksanaan apel kali ini, Dr. Nani Tursina, M.Pd., bertugas menjadi pembina apel. Beliau menyampaikan terkait sejarah kelahiran Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas yang jatuh pada 2 Mei lalu.

Dr. Nani Tursina, M.Pd., yang juga merupakan Ketua Senat IAIN Pontianak menyerukan untuk memperbaiki sikap dan tindakan demi menuju kebaikan dalam mencapai cita-cita. Serta tak lupa untuk selalu bersikap sopan dan berbakti kepada orang tua dan guru.

“Marilah mulai sekarang, kita memperbaharui sikap, perilaku, dan kata-kata kita menuju kebaikan mencapai cita-cita. Bila kalian masih merasa belum bersungguh-sungguh dalam belajar, belum bersikap sopan dan berbakti kepada orang tua dan guru, marilah kita merubah sikap dan tindakan tersebut,”ujarnya.

Selain itu, beliau juga menambahkan untuk mengajak kepada seluruh tenaga pendidik yang ada di IAIN Pontianak untuk bersama – sama menjadi pelaku serta penentu dalam kemajuan dunia kependidikan dimasa yang akan datang.

“Walau bagaimanapun jasa guru akan melekat selamanya dalam kisah hidup kita. Berbaktilah kepada orang tua dan guru kita serta berbuatlah agar mereka merasa bangga dan bahagia memiliki anak seperti kalian dan hidup kalian akan menjadi berkah. Karena tidak ada cerita seorang anak durhaka kepada orang tua mengalami hidup Bahagia. Marilah sebagai insan pelaku dan penentu kemajuan dunia pendidikan dimasa depan, kita bersama-sama dengan semangat serta kesadaran mencoba memberikan tenaga serta pikiran terbaik kita demi kemajuan pendidikan.

Sebelum mengakhiri, Dr. Nani Tursina, M.Pd., berpesan untuk belajar dengan baik serta selalu menjaga kesehatan dengan harapan agar apa yang dicita-citakan akan segera tercapai.

“Belajarlah yang tekun, sebab masa depan berada dipundakmu sendiri. Siapkan bekal untuk masa depan belajar dengan baik dan jagalah kesehatan. semoga apa yang dicita-citakan akan tercapai,”pungkasnya.

Berikut kutipan teks yang dibacakan oleh ketua senat tersebut :

Tanggal 2 Mei adalah tanggal kelahiran tokoh besar pendidikan Indonesia, yaitu RM Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara. RM Suwardi Suryaningrat, atau Ki Hajar Dewantara, dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. RM Suwardi Suryaningrat berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjutkan ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sedyotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal.

Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial. Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Budi Utomo tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia tentang pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama Budi Utomo di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya. RM Suwardi Suryaningrat juga menjadi anggota organisasi Insulinde, yaitu suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, yang dipelopori oleh Ernest Douwes Dekker.

Kemudian, Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, yang dikenal sebagai “Tiga Serangkai”, mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913 karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme dan kesatuan rakyat untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.

Semangatnya tidak berhenti sampai sini. Pada bulan November 1913, Ki Hajar Dewantara membentuk Komite Bumipoetra yang bertujuan untuk melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda. Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk RM Suwardi Suryaningrat. Ia kemudian menulis “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een” atau “Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga”. Namun tulisan RM Suwardi Suryaningrat yang paling terkenal adalah “Seandainya Aku Seorang Belanda” (judul asli: “Als ik een Nederlander was”), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker pada tanggal 13 Juli 1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda.

Isi kutipan tulisan tersebut yaitu:

“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya”.

Akibat tulisan itu, RM Suwardi Suryaningrat ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Denburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka. Namun demikian kedua rekannya, Douwes Dekker (dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda (1913). RM Suwardi Suryaningrat kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Di tanah air beliau semakin mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.

Bersama rekan-rekan seperjuangannya, dia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional yang diberi nama Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa (Perguruan Nasional Taman Siswa) pada 3 Juli 1922. Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” yang artinya “di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan”. Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.

Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut. Selama mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Taman Siswa, beliau juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia. Kegiatan menulisnya ini terus berlangsung hingga zaman Pendudukan Jepang.

Saat Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, RM Suwardi Suryaningrat ditunjuk untuk menjadi salah seorang pimpinan bersama Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta dan K.H. Mas Mansur. Setelah kemerdekaan Indonesia berhasil direbut dari tangan penjajah dan stabilitas pemerintahan sudah terbentuk. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa. Setelah Negara Indonesia merdeka, Ki Hajar Dewantara diangkat menjadi Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama. Pada tahun 1957 ia
mendapat gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa, Dr. H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada.

Ki Hajar Dewantara wafat di Yogyakarta pada tanggal 26 April 1959 dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata. Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum di Indonesia, Ki Hajar Dewantara dikukuhkan sebagai pahlawan nasional ke-2 dan dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959). Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya “Tut Wuri Handayani”, menjadi slogan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Namanya diabadikan sebagai nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun edisi 1998. Atas dasar itulah, langkah kita kedepan menjadi bagian penting yang menentukan perkembangan pendidikan di tanah air ini dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, yang secara tegas menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.

Penulis : Farli dan Abd. Hasan

Editor : Omar Mukhtar

Print Friendly, PDF & Email