Oleh: S y a r i f
Belakangan ini kita dikhawatirkan dengan mewabahnya virus Corona. Pemerintah mengimbau masyarakat untuk ‘stay at home’ berdiam di rumah sebagai upaya antisipasi penyebaran virus yang semakin meluas di berbagai negara, termasuk Indonesia. Situasi demikian seharusnya memecut semangat kita untuk peduli, berbagi dan bersedekah kepada orang-orang yang memerlukan bantuan. Terutama kaum mustad’afin yang membutuhkan uluran tangan para dermawan.
Ada kata-kata bijak “lidah tidak bertulang, kata mudah diucapkan, amal susah dinyatakan. Kata-kata bijak ini mengingatkan kepada kita bahwa ajaran baik itu tidak boleh hanya dalam kata-kata. Itu sebabnya dalam keterangan ayat Alquran dinyatakan, yang terjemahannya “Hai orang-orang beriman mengapa kalian mengatakan barang sesuatu yang tidak kalian perbuat. Besar benci Allah lantaran kalian mengata sesuatu hukumnya tidak kalian perbuat” (Qs. al-Shaf/61:2-3).
Di antara perilaku orang yang benar-benar memperilakui takwa (muttaqiin) itu ialah terbebas dari sifat kikir yaitu menafkahkan hartanya baik dalam keadaan punya maupun tidak punya (Qs. Âli ‘Imrân/3:134). Demikian juga dinyatakan dalam Qs. al-Baqarah/2:2).
Bahwa orang yang telah berperilaku takwa itu menafkahkan rejekinya di jalan Allah. Menafkahkan atau berinfaq harta di jalan Allah ada yang wajib dan ada yang sunnat. Yang wajib seperti berzakat fatrah dan zakat mal, membayar kifarat, dan membelanjakan harta yang tergolong sunnat seperti bersedekah.
Terutama kepada siapa menafkahkan harta diberikan? Alquran menuntunkan yaitu jika yang wajib ada delapan asnaf yang sudah sangat populer “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”(Qs. al-Taubah/9:60). Sedanglan selain zakat atau infaq wajib itu dituntunkan dalam banyak teks Alquran bahwa memberi itu kepada keluarga dekat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Dalam ayat tertentu disebut orang yang berhutang (misalnya dalam Qs. al-Baqarah/2:177). Tetapi keseringan urutannya adalah seperti keterangan teks ayat berikut “Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”. Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya” (al-Baqarah/2.215).
Dalam memberi juga dituntunkan etikanya. Yang pertama memberi itu mesti yang pantas. Bahkan jika perlu yang terbaik “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sehingga kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”(Qs. Âli ‘Imrân/3:92). Seperti berzakat misalnya mesti setidaknya jika zakat dengan beras mesti minimal sama dengan beras yang kita makan, atau lebih baik lagi kualitasnya. Akhir ayat di atas juga menerangkan dan mendorong supaya kita tidak tergila-gila untuk diketahui orang, karena Allah Maha Tahu atas apa yang kita berikan. Ini sejalan dengan etika memberi berikutnya.
Yang kedua, lebih baik disembunyikan, walau tidak dilarang untuk dinampakkan, dan memberi karena atau demi keridhaan Allah Swt. “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”(al-Baqarah/2:271). Hal demikian tentu Allah Swt Maha Tahu tentang sifat pada manusia yang suka pamer, karena manusia suka dengan pujian. Pamer itu sangat rentan dengan pujian atau riyâ’. “Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat” (al-Baqarah/2:265).
Oleh karena itu etika ketiga adalah jangan riya’ atau minta dipuji dalam berinfaq atau memberikan harta di jalan kepada Allah. Juga jangan mengungkit-ungkit sedekah atau pemberian kita itu. Sebab pemberian yang diungkit-ungkit itu menyakitkan orang yang menerimanya. Jika itu kita lalukan maka sia-sialah apa yang kita perbuat atau shadaqah kita jadi hangus. “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun”(al-Baqarah/2:163). “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya (mengungkit-ungkit) dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”(al-Baqarah/2:264).
Adapun hikmah memberi adalah yang pertama, yaitu dimudahkan rezeki dalam arti kebaikannya dilipat-gandakan. “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”(al-Baqarah/2:261).
Yang kedua, dimudahkan urusan kita oleh Allah Swt. “Barang siapa yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan atau percaya ada (balasan) kebaikan atau pahala, maka akan disiapkan jalan kemudahan urusannya”. Dan sebaliknya barang siapa yang bakhil/kikir, dan tidak percaya ada pahala, maka akan disiapkan kesulitan untuk urusannya. Baca (Qs. al-Lail/92:5-10).
Sesuatu yang kita pandang tidak berarti boleh jadi sangat berguna bagi orang lain. Maka berbagilah. Terlebih di masa yang sulit saat pandemi virus Corona ini. Saatnya kita peduli.
Penulis, Rektor IAIN Pontianak.