Oleh: Syarif*)
Kita banyak bersyukur kepada Allah Swt dengan anugerah-Nya kita sampai lagi di bulan Ramadhan 1441 H. Mengucapkan marhaban yâ ramadhâan artinya kita bak kedatangan tamu agung, lalu tamu agung tersebut dipersilahkan memasuki rumah dengan seluas-luas keridhaan hati, dengan penuh kesenangan. Beginilah kita memaknai marhaban yâ Ramadhân. Jika kita ucapkan kepada selain subyek atau selain manusia seperti kita ucapkan kepada Ramadhan.
Sesungguhnya bukan Ramadhan yang datang, karena Ramadhan tidak pernah bergerak maju atau mundur. Melainkan kitalah yang mendatanginya dan memasukinya. Maka makna marhaban yâ Ramadhân kala kita memasukinya, sesungguhnya kita menyatakan diri bahwa kita memasuki waktu Ramadhan dengan penuh kegembiraan, penuh suka-cita, penuh keridhaan dan keikhlasan untuk beribadah di dalamnya.
Berikutnya, kita harus bertanya “Apa bukti bahwa kita memasuki waktu Ramadhan dengan penuh keridhaan dan keikhlasan?” Tentu semua kaum muslimin menyediakan dan menyiagakan dirinya untuk melaksanakan semua ibadah yang wajib dan yang sunnah di dalamnya. Nah, dalam rangka membuktikan keridhaan dan keikhlasan kita ini, izinkan penulis sharing sedikit hal yang terkait dengan maksimalisasi esensi Ramadhan. Tentu sharing yang dimaksud penulis suguhkan sebagai bahan pertimbangan bagi kita bersama. Yaitu Rasulullah Saw mengingatkan kita bahwa tidak sedikit orang yang menyatakan dirinya berpuasa di bulan Ramadhan hanya mendapat lapar dan haus, “kam min shâimin laisa lahû min shiyâmihî illa al-jû’ wa al-‘athas”. Kiranya supaya kita terhindar dari peringatan Rasul itu kita harus cermat dalam melaksanakan semua ibadah di dalam bulan Ramadhan. Sebuah hadis menuturkan “man shâma Ramadhâna îmânan wahtisâban ghufira lahû mâ taqaddama min dzambhî – barang siapa berpuasa di bulan Ramadhan karena keimanan dan dengan kecermatan maka dosanya yang di masa lalu diampuni ”.
Selama ini sebagian orang mengupas hadis tersebut hanya tentang dileburnya dosa-dosa. Hal itu tidak salah, namun alangkah lebih konprehensif lagi jika dibahas tentang berpuasa dengan penuh perhitungan atau kecermatan. Ialah bahwa kecermatan yang dimaksud, di samping kita para shâim berpuasa dengan memahami syarat, rukun, yang membatalkan puasa dan lain-lain, kita juga harus berusaha memahami tentang esensi berpuasa di bulan Ramadhan. Yaitu bahwa shaum di bulan Ramadhan sesungguhnya bukan sekedar tidak makan dan minum, melainkan shaum itu ialah kita sebagai mukmin menahan diri untuk tidak bertindak dan berkata dengan mereferensi hawa-nafsu. Disebutlah shaum itu mukmin mempuasakan hawa-nafsu. Kapan menahan diri ini dilakukan, tentu tidak sekedar pada bulan Ramadhan. Sebab sesungguhnya bulan Ramadhan hanya waktu latihan dengan menahan diri untuk tidak makan dan minum. Jadi esensi shaum Ramadhan bukan tidak makan, tidak minum, dan tidak bersenggama dengan pasangan, melainkan menahan diri dari prilaku yang berbasis hawa-nafsu.
Untuk melengkapi kecermatan, apa yang dimaksud dengan hawa-nafsu yang dipuasakan atau ditahan tersebut? Di dalam kitab Alquran ditemukan jenis nafsu atau diri yang buruk yaitu “nafs ammârah dan nafs lawwâmah” (Q.s. Yûsuf/12:53, al-Qiyâmah/75:2). Nafs ammârah ini ialah diri yang selalu membawa prilaku dirinya dengan keburukan. Nyatanya diri yang semacam ini ialah diri yang bersifat emosional, mudah marah, mudah tersinggung. Coba kita cermati seseorang atau diri kita sendiri yang membiasakan atau mentabiatkan diri dengan tiga sifat ini, pasti selalu memandang sesuatu atau seseorang dengan pandangan yang buruk, sejenis tidak ada benarnya orang lain. Lalu nafs lawwâmah, yaitu diri yang mendasari prilakunya dengan nyatanya sifat ‘ajîb-‘ujub-berbangga diri atau takjub atau kagum akan dirinya sendiri. Lalu karena itu dia berprilaku dengan nyatanya sifat riyâ`–pamer, haus pujian atau sanjungan. Inilah sifat takabbur, membesar-besarkan dirinya. Jika tidak dipuji muncul nyatanya sifat iri-dengki. Sifat ini menyata pada prilaku tidak senang akan kebaikan dan kelebihan orang lain. Nyatanya sifat-sifat inilah pada prilaku, kemudian melahirkan sifat yang gemar menghasut orang lain. Hasutan itu diarahkan untuk memfitnah orang yang tidak disenangi karena keiri-dengkiannya. Kemudian ada pada orang yang demikian itu sifat tamak-loba. Itulah orang yang sombong.
Kita harus cermat terhadap nyatanya sifat-sifat tadi dalam prilaku kita. Lalu kita latih untuk ditahan supaya tidak menjadi prilaku, seperti kita menahan diri tidak makan, tidak minum, dan tidak bersenggama di siang hari pada bulan Ramadhan. Semoga dengan uraian ini menjadi terang esensi shaum Ramadhan. Tentu hasil Latihan tersebut untuk diterapkan pada sebelas bulan pasca Ramadhan.
*) Penulis adalah Rektor IAIN Pontianak