Oleh : Dr. Ali Hasmy, M.Si (Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga IAIN Pontianak)
Program Ma’had dengan kurikulumnya sangat penting, terutama terkait dengan BTQ. Akan aneh jika ada lulusan lembaga yang berlabelkan “Islam” namun tidak bisa membaca Al-Qur’an, bahkan tidak mengenal huruf-huruf Al-Qur’an. Al-Qur’an itu kitab suci umat Islam. Jika membacanya saja tidak bisa (apalagi menghafal dan memahaminya), bagaimana melaksanakannya dengan benar? Membacanya saja, per huruf ada keutamaannya, apalagi jika mengajarkannya, menghafalkannya, dan melaksanakannya. Pendidikan Islam harus berbasis Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, yang puncaknya adalah akhlak. Jangan-jangan akhlak bermasalah karena penanaman nilai-nilai, keterampilan, dan pengetahuan pada dasarnya juga bermasalah.
Secara sosiologis, saya memiliki pengalaman. Bapak saya (almarhum) adalah mantan Kepala Kantor Agama yang pernah bertugas di Sungai Kunyit dan Mempawah. Beliau sibuk di masyarakat sehingga “agak kurang” komunikasinya dengan kami, anak-anaknya. Suatu ketika, saya sedang membimbing KKL di Sungai Kunyit. Saat pulang ke rumah, Bapak tiba-tiba memanggil saya, katanya ada yang ingin dibicarakan (karena beliau jarang berkomunikasi dengan kami, saya agak terkejut). Singkat cerita, saya duduk di depan beliau, dan beliau bertanya, “Li, kenapa anak IAIN seperti itu?” Saya menjawab, “Seperti apa maksudnya, Pak?” Jawabnya, “Itu… diminta jadi imam shalat tidak mau, diminta membaca doa juga tidak mau” (selain shalat, banyak kegiatan di kampung kami yang melibatkan pembacaan doa). “Lalu mereka itu bisanya apa?” Deg! Beliau protes. “Bapak tahu dari mana?” Jawabnya, “Orang-orang lapor ke aku.” Nah, ternyata di kampung saya, mahasiswa KKL dari IAIN yang diperhatikan dan diharapkan adalah kemampuan mereka dalam menjadi imam dan membaca doa. “Bahkan katanya mengaji saja tidak bisa,” beliau menambahkan. Akhirnya, saya memberikan jawaban yang agak tricky, “Oh… itu. Tidak semua mahasiswa IAIN dari jurusan ilmu agama, Pak. Ada yang ekonomi, hukum, psikologi, dan lain-lain.” Beliau tampak berpikir, “Oooo… begitu ya… pantaslah.” Pembicaraan pun selesai.
Dari dua hal di atas, pertanyaannya adalah, “Jika anak bermasalah, salah satu kontributor utamanya siapa?” Jawabnya tentulah orang tua, karena anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, dan orang tualah yang menjadi kontributor utama sehingga mereka berubah menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi. “Jika peserta didik bermasalah?” Salah satu kontributor utamanya tentu saja adalah pendidik, sebagai pengganti orang tua mereka. Ini tanggung jawab besar. Tidak hanya berdimensi individual-sosial, masa kini-masa depan, tetapi lebih jauh dari itu, ada dimensi dunia-akhirat.
Jadi, singkatnya, program Ma’had dengan BTQ dan muatan kurikulum lainnya menjadi sangat urgen untuk direalisasikan. Dan tentu saja saya, baik sebagai civitas akademika IAIN Pontianak sekaligus sebagai anggota masyarakat, *sangat mendukung* agar hal ini dapat diwujudkan. Tantangan selalu ada, tapi itulah tambahan lahan perjuangan kita untuk beribadah. Semoga kita dengan niat dan usaha tadi, yang dipimpin oleh Pak Rektor, diridai oleh Allah SWT, sebagai wujud pertanggungjawaban kita selaku pendidik di Lembaga Pendidikan Islam (IAIN Pontianak) kepada semua pemangku kepentingan, terutama kepada Allah SWT. (Mohon maaf jika ada yang kurang tepat dalam penyampaian ini).