UKHUWAH ILAHIYAH
(Konsep Persaudaraan Lintas Komunitas Ikhtiar Untuk Moderasi Beragama)
Oleh: S y a r i f
Pada setiap zaman manusia dicatat oleh sejarahnya sebagai komunitas yang tidak pernah tidak berkonflik. Hanya saja para ahli di kalangan manusia kebanyakan hanyut dalam perbincangan fakta konflik itu sendiri. Pada saat yang sama sangat jarang perbincangan tersebut tembus kepada akarnya atau ushulnya. Oleh karena itu tidak jarang solusi yang ditawarkan pun tidak reliable sehingga tidak membuahkan hasil yang optimal. Invalidasi pemetaan masalah membuat solusi yang digagas dan dilakukan jadi tidak tepat. Mengapa pemetaan masalah dan solusi yang dilakukan manusia tidak akurat? Hal itu disebabkan “manusia tidak mengenal dirinya”. Mengapa manusia tidak mengenal dirinya? Karena manusia merasa tahu dan tidak bertanya kepada yang menciptakan manusia. Kalau boleh saya ibaratkan, tidak mungkin sebuah mobil yang sedang bermasalah dapat menyembuhkan dirinya sendiri. Pastinya mobil tersebut memerlukan subyek dan panduan atau tuntunan tentang mobil tersebut. Ibarat ini pasti disanggah dengan “iya kan mobil tidak berakal”. Ok, lalu manusia berakal, bisakah menemukan solusi yang akurat untuk masalahnya sendiri?
Di balik sekelumit ulasan dan pertanyaan-pertanyaan ini saya ingin mengungkapkan tentang urgensi ajaran agama yang subyek utamanya adalah Tuhan. Bahwa manusia tidak bisa menemukan solusi tanpa bimbingan Tuhan. Itu sebabnya Tuhan mengutus para rasulnya yang disebut “para auliya-anbiya” ke permukaan bumi. Menurut versi hadis Abu Dzar bahwa utusan Tuhan itu berjumlah “seratu duapuluh empt ribu tigaratus tigabelas”. Yang menakjubkan bahwa di antara jumlah tersebut tidak termasuk di dalamnya Aristoteles, Plato, Descartes, dan lain-lainnya dari para ahli fikir. Keterangan ini sebenarnya untuk menjelaskan bahwa Tuhan punya cara sendiri untuk menyampaikan solusi atas persoalan manusia. Artinya Tuhan tidak meminta bantuan pemikiran manusia untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi di kalangan manusia. Hanya saja manusia kebanyakan merasa bisa untuk menyelesaikan persoalannya. Akhirnya manusia tidak jarang hanya terjebak pada saling menyalahkan. Yang satu kelompok melihat kesalahan kelompok lain sebagai penyebabnya, begitu pun sebaliknya.
Akhir-akhir ini sangat marak fakta konflik horizontal antar sesama manusia, baik kita saksikan di dalam negeri ini maupun dan terlebih di luar negeri. Yang mengerikan konflik tersebut disertai dengan pembantaian-pembantaian. Kita lihat misalnya Israel-Palestina, konflik di syuriah, konflik Rohngiya, dan masih banyak lagi. Kemudian yang sangat menyesakkan dada bahwa konflik-konflik itu dinisbatkan kepada kebenaran yang diajarkan agama. Bahkan konflik politik dibawa atau dicarikan argumen ke dalam dan dengan nash-nash agama sebagai alat mobiltasnya. Sebenarnya semua orang tahu bahwa tidak ada agama yang mengajarkan seperti itu. Lalu lisenci siapa yang mengizinkan konflik itu dilegalkan dengan nash-nash agama. Nah, di sini kita bisa masukkan bahwa peran pemahaman agama yang utuh dan benar menjadi sangat urgen dalam meminimalisir atau bahkan menghilangkan konflik. Apa itu mungkin? Saya pikir sangat mungkin. Saat Muhammad Saw dirasulkan dengan Tubuh kenabiannya, bangsa Arab penuh konflik bahkan nyaris tidak ada penghargaan kepada eksistensi sesama manusia. Saat itu yang kaya disanjung, yang kuat berkuasa, yang miskin diinjak, dan perempuan tiada harganya. Penuturan sejarah memaparkan bahwa dalam masa kurang-lebih 23 tahun konflik dan kebiadaban itu bisa terkikis menjadi sosok pribadi-pribadi dan kelompok yang damai dan saling meninggikan derajat, saling menghormati, dan saling menyayangi.
Dalam suatu diskusi, saat saya ungkap contoh seperti di atas, ada yang nyeletuk” itu kan Rasulullah, tidak bisa diikut, tidak bisa kita wujudkan”. Saya berkata di dalam hati, kalau bukan Rasulullah yang kita ikuti caranya, lalu cara siap yang mau kita contoh? Ada satu hal yang tidak kita telusuri di balik kesuksesan Rasulullah Saw itu. Yaitu materi dan cara Rasulullah Saw mempersaudarakan orang-orang dan kelompok-kelompok yang keras berkonflik, ganas bersyahwat saling bunuh menjadi kelompok yang bersaudara dan saling berkasih sayang. Dari semula saling mengutamakan dan mengunggulkan sukunya menjadi komunitas yang mengedepankan persaudaraan. Sebenarnya apa sih yang materi yang disampaikan Rasulullah?
Saudara-saudara, sebatas pengetahuan yang saya dapat, ternyata Beliau Rasulullah Saw mengenal SATU hal saja, yaitu Beliau mengenalkan bahwa di dalam wujud jasmaniyah yang berbeda warna dan berbeda kelompok dan bangsa (syu’uuban wa qabaailan) itu ada SATU WUJUD yang sama-sama datang dari Tuhan. Apa pun warna kulit jasmaniyahnya, apa pun nama suku-bangsanya, kepada mereka masing-masing DITIUPKAN SATU WUJUD RUH (Qs. Al-Sajadah/32:9) pada saat umur jasad atau jasmaniyah 4 bulan 10 hari (fii arba’ati asyhurin wa ‘asyraa) di dalam kandungan ibu. Ketika Ruh ditiupkan belum ada suku-bangsa dan agamanya (jika dikonfirm ke hukum fiqh ditemukan dalam bahasan hukum takliif. Satiap diri Ruh tidak pernah minta DILAHIRKAN di tubuh berwarna apa, pada kalangan suku-bangsa apa, dan pada komunitas agama apa. Artinya setiap diri Ruh menjalankan qadar atau ketetapan Tuhannya yang kemudian dikenal dengan sebutan “taqdirnya” dengan KEHENDAK Tuhannya.
Di sini, dapat kita jadikan materi penyejuk atau bahkan penahan terhadap sikap keras dan perilaku caci maki. Bukankah Ruh itu menjalankan takdirnya hinggap di sebuah tubuh? Mengapa Ruh itu yang disalahkan dan dicaci-maki. Mengapa tidak menyalahkan Allah atau bahkan mungkin mencaci-Nya karena telah meniupkan Ruh ke dalam komunitas TUBUH yang kebetulan dipandang sebagai kelompok yang tidak beriman kepada Allah. Kesadaran inilah yang dipupuk oleh Rasulullah Saw.
Selanjutnya disebut Beliau selama 13 tahun di Makkah mengajarkan iman. Sesungguhnya beliau mengajarkan iman bukan mengajarkan dengan menyuruh orang Arab menghafal definisi iman seperti yang kita lakukan di kampus-kampus. Tetapi Beliau mengenalkan SOSOK atau WUJUD iman itu apa. Kata “ايمان” adalah bantuk ism mashdar. Jika ia ism maka itu artinya “kata benda”. Jika ia kata benda, maka ia harus ada bendanya atau wujudnya. Jadi Beliau mengajarkan iman bukan mengajarkan definisi karena Beliau bukan epistemolog. Bahkan Beliau dengan tubuh kenabiannya dikenal dengan sosok yang tidak kenal baca tulis (Qs. Al-‘Ankabuut/29:48). Lalu apa bentuk pengajaran Beliau tentang iman itu?
ايمان itu artinya kepercayaan. Ia bukan wujud abstrak kalau difahami dengan wujudnya atau adanya. Tetapi îmâm akan menjadi abstark jika difahami dengan definisi secara epistemic. Bagaimana memahami îmân dengan mengenal wujudnya? Saya sampaikan dulu ibarat atau umpama. Misalnya seorang staf khusus Menteri itu adalah orang kepercayaan Menteri. Orang kepercayaan itu adalah sosok yang sipercaya oleh Menteri untuk mengurus urusan tertentu. Jadi kata “kepercayaan” di sini bukan adalah menunjuk sosok seseorang yang dieprcaya atau seseorang yang mengemban tugas yang dipercayakan kepadanya.
Sesungguhnya îmân dalam hal ini adalah sosok atau wujud yang dipercaya oleh Allah. Atau ia adalah wujud sosok yang dipercaya oleh Allah untuk mengemban tugas dipermukaan bumi ini. Maka îmân itu ialah sosok yang aktif. Sesungguhnya ia adalah sosok atau wujud yang dari Tuhan.
Untuk mengenal diri yang datang dari Tunan ini kita harus mengenal unsur apa saja yang ada pada kita ini. Tanpa memerlukan referensi yang jelimet sebenarnya kita dapat mengenal ada unsur jasmaniyah dan ruhaniyah. Unsur jasmaniyah ini kita temukan istilahnya dalam Alquran sebagai jasad. Alquran bercerita bahwa unsur jasad ini dijadikan dari saripati tanah yang tersaring (Qs. Al-Mu’minun/23:12), menjadi saripti air yang hina (Qs. Al-Sajadah/32:8), yang dikeluarkan daei tulang sulbi dan tulang dada (Qs. Al-Thariq/86:5-7). Bahan ini dijadikan di dalam rahim (Qs. Ali Imran/3:6). Jadi berdasar info Alquran ini jasad manusia tidak dinadikan dari tanah. Yang dari tanah itu adalah awal mula Allah menjadikan manusia dari tanah (Qs. Al-Sajad/32:7), itu tubuh Adam. Sedang anak cucu atau keturunannya (naslahuu) dari saripati air yang hina tadi.
Setelah mengenal unsur-unsur jasadiyah di atas Alquran memberitakan ada unsur ruhiyah. Yaitu “untuk menyempurnakan kejadian manusia Allah meniupkan ruh di dalamnya… (Qs. Al-Sajadah/32:9)”. Bagaimana membedakan dan meyakinkan adanya dua unsur ini? Menurut Qs. Al-Sajadah/32:9 ini bahwa yang melihat, mendengar, dan yang merasa itu adalah Ruh, karena kepada Ruh ini dianugerahkan pendengaran, penglihatan, dan rasa. Maka disebutlah Ruh ini yang aktif atau yang subyek mengamtifkan organ-organ pda tubuh. Bagaimana untuk membuktikan bahwa Run inilah yang subyek atau yang aktif? Kita perhatikan Qs. Al-Zumar/39:42, bahwa Allah mewafat/menggenggam/menahan diri atau Ruh saat kematian atau saat tidur. Artinya pada saat kematian atau pada saat tidur Ruh itu tidak ada pada tubuh karena ditahan oleh Allah. Lalu? Nah perhatikan tubuh yang ditinggalkan Ruh baik karena kematian atau karena tidur. Pada tubuh tersebut ada telinga dan mata tapi tidak bisa mendengar dan melihat. Juga ada sekijur tubuh tapi tidak bisa merasa. Mengapa? Karena Ruh yang kepadanya dianugerahkan kepada pendengar (bukan telinga), penglihatan (bukan mata), dan rasa sedang tidak ada di tubuh.
Nah, sesungguhnya Ruh itulah wujud yang datang dari Tuhan, dan Ruh itulah yang sosok yang dioercaya oleh Tuhan untuk mengaktifkn tubuh. Ruh itulah yang dipercaya Tuhan untuk menikmati segala apa yang ada di peemukaan bumi ini (Qs. Al-Baqarah/2:29). Ruh itulah sesungguhnya wujud atau sosok sang îmân atau sang kepercayaan atau yang dipercaya Tuhan itu.
Apa hubungan semu uraian ini dengan ukhuwah ilahiyah? Ukhuwah ilahiyah yang saya maksud adalah persaudaraan wujud yang sama-sama datang dari Tuhan. Di atas telah saya utaikan tentang wujud yang datang dari Tuhan, yaitu Ruh. Ia didatangkan ke dalam tubuh belum mengenal suku-bangsa dan agama. Bahkan Ruh itu tidak minta didatangkan kepada tubuh siapa ia ditiupkan. Juga Ruh tidak minta ke komunitas agama dan suku-bangsa apa ia ditugaskam. Kehendak Tuhanlah yang menetapkan kapan, di mana, dan kepada tubuh yang mana sang Ruh itu ditiupkan dan silahirkan. Para Ruh itu satu jenisnya yaitu cahaya (Qs. Al-Syûrâ/42:52). Para Ruh itu adalah satu asalnya atau sumbernya Tuhan. Maka para Ruh inilah yang beesaudara seasal yaitu Tuhan. Atau Ruh ini wujud se-Tuhan atau se-satu Tuhan. Inilah yang saya maksud dengan ukhuwah ilâhiyah atau persaudaraan se-Tuhan.
Materi inilah yang diajarkan oleh Rasulullah Saw, Bahwa Ruh itu bersaudara. Konsep Ruh bersaudara ini yang dapat mengabaikan eksiatensi warna kulit, suku-bangsa, dan agama. Seperti yang kita ketahui bersama, misalnya di Indonesia begitu beragamnya suku dan agama. Menurut saya dengan konsep persaudaraan seperti ini bangsa Indonesia pasti sangat kuat. Krena dengan konsep seperti ini seseorang akan merasa bersaudara walaupun eksistensinya berbeda warna kulit, suku-bangsa, dan agama. Sebab keberadaannya di warna kulit yang dihuninya, di komununitas suku-bangsa dan agamanya tidak pernah dipesan. Dengan konsep ini kita dengan mudah memahami mengapa Allah mengajarkan bahwa “membunuh satu orang same dengan membunuh manusia seluruhnya…Qs. Al-Maidah/5:32)”.
Sebenarnya inilah yang dimaksud oleh Qs. Al-Hukurat/49:10, bahwa sesungguhnya mukmin itu bersaudara. Dalam kajian sifistik hikmah, mukmin itu nama Ruh. Teks ayat ini menunjuk kepada persaudaraan se-Tuhan atau sesama Ruh yang sama-sama datang atau ditiupkan dari Tuhan—ukhuwwah ilâhiyah Sedangkan saudara dalam satu agama atau saudara se-agama disebut ikhwânu fi al-dîn (Qs. Al-Taubah/9:11). Sebenarnya Alquran tidak menyediakan terminologi tentang ukhuwah basyariah, juga ukhuwah insâniyah.
Jadi, saya berpendapat bahwa penanaman pemahaman persaudaraan se-Tuhan ini dapat menangkal faham terorisme yang kemudian bisa mereduksi tindakan teror. Tetapi awas, konsep persaudaraan yang uraikan di atas sama sekali tidak sama dengan menyama-ratakan gama, atau menyamakan agama, tidak. Tetapi kita tidak menemukan setitik argumentasi pun bahwa karena berbeda agama lalu kita harus saling membenci apalagi saling membunuh. Muhammad Rasulullah Saw sukses bukan karena ajaran kebencian. Kalo bicara perbedaan agama dan teror pada zaman Rasulullah Saw sangat tajam. Sejarah menuturkan bagaimana pihak yang tidak setuju dangan agama yang diajarkan Muhammas Saw mengintimidasi Beliau. Tetapi Beliau tidak membalasnya dengan kebencian dan teror. Beliau konsisten mengajarkan persaudaraan mukmin atau ruh. Akhirnya Beliau berhasil mempersaudarakan antar suku yang semula sangat keras. Bahkan Beliau berhasil mepersaudarakan antar penduduk Madinah yang berbeda agama. Juga Beliau berhasil mempersaudarakan antar bangsa. Inilah inti dari satu-satunya misi Beliau “innamâ bu’itstu limakârimi al-akhlâq”.