Kegiatan Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan yang dilakukan MPR RI melalui program Goes To Campus (GTC) sebagai program sosialisasi Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan, dan Bhineka Tunggal Ika. Rencananya akan digelar di empat puluh kampus atau di dua puluh provinsi di seluruh Indonesia. Program ini bertujuan untuk meningkatkan spirit kebangsaan pada segenap masyarakat Indonesia khususnya kalangan mahasiswa.
Acara GTC yang menyajikan nilai-nilai kebangsaan, di Gedung Rektorat IAIN Pontianak lantai empat berlangsung selama tiga jam mengangkat tema Hapus Diskriminasi Ras dan Etnis, Bina Kerukunan Bangsa, berjalan tertib dan dihadiri sebanyak 200 mahasiswa IAIN Pontianak sebagai peserta dari Fakultas Tarbiyah, Dakwah, dan Syariah.
Sebagaimana yang dimaksud dalam kegiatan ini, pendidikan politik berbangsa dan bernegara tidak hanya terbatas pada keempat pilar tersebut, melainkan masih banyak aspek lainnya yang penting, antaralain, negara hukum, kedaulatan rakyat, wawasan nusantara, ketahanan nasional, dan lain sebagainya. Dalam melakukan pendidikan politik, partai politik harus juga melakukan pendidikan politik terhadap berbagai aspek penting dalam berbangsa dan bernegara tersebut.
Terkait dengan tema yang digelar di IAIN Pontianak, Eddy Sadeli mengungkapkan diskriminasi untuk sekarang ini sudah jarang terjadi. Dirinya tidak melihat diskriminasi baik di lingkungan senayan sebagai tempatnya mengabdi, maupun dimasyarakat. Menurutnya diskriminasi merupakan bentuk peninggalan Belanda yang telah memisahkan tiga kelompok masyarakat, yakni warga Belanda, Cina dan penduduk Pribumi.
Dia berkesimpulan bahwa Empat pilar tersebut merupakan pendekatan kultural, edukatif, hukum, dan struktural guna menanamkan kembali nilai-nilai luhur yang perlu dijadikan acuan dan pedoman bagi setiap warga Negara terlebih untuk meningkatkan rasa nasionalisme kalangan mahasiswa.
Sedangkan Dr. Zaenuddin, MA.,MA. Pakar Sosiologi dan Budaya IAIN Pontianak menjelaskan bahwa diskriminasi terhadap ras dan etnis dapat terjadi karena beberapa sikap yang negatif seperti etnosentrisme dan stereotype. Ia kemudian mengusulkan bahwa hukum harus menjadi panglima dalam penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kasus-kasus pertikaian yang melibatkan kelompok etnis selama ini cenderung memperlihatkan law empowerment yang kurang sehingga perselisihan antar individu meluas dan melibatkan sentiment ras dan etnisitas.