PONTIANAK (iainptk.ac.id) IAIN Pontianak menggelar Seminar Nasional dirangkai dengan Pembinaan Pegawai. Acara tersebut dihadiri lebih dari 400an orang dari berbagai daerah di Indonesia, adapula dari Malaysia. Mereka tampak memadati ruangan Aula Aula Syeikh Abdul Rani Mahmud di Lantai 1 dan Masjid Syeikh Abdul Rani di Lantai 2, pada Ahad (14/7) pagi hingga jelang adzan Zuhur.
Narasumber yang hadir pada Seminar Nasional ini adalah Dr. K.H. Aswin R. Yusuf., sebagai Pembina Jam’iyyatul Islamiyah, Prof. Dr. Imam Suprayogo, M.A., Mantan Rektor UIN Maliki Malang dan Prof. Dr. M. Amin Abdullah Mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Rektor IAIN Pontianak, Dr.H.Syarif, MA selaku tuan rumah menyampaikan “IAIN Pontianak masuk zona aman satu, dalam kondisi keterpaparan radikalisme. Jadi tidak ada yang radikal di IAIN Pontianak, kalaupun ada hanya 0,29% bibit radikalisme. Radikal, radikalisme dalam politik biasanya suatu paham yang melahirkan gerakkan sistematis yang ingin atau dalam rangka melakukan perubahan sistem bernegara dengan atau secara cepat dan instan. Radikalisasi artinya meradikalkan, atau membuat seseorang atau sekelompok orang menjadi radikal. Radikalisasi beragama artinya membuat seseorang atau sekelompok orang menjadi radikal dengan menggunakan doktrin-doktrin keagamaan. Kecendrungannya ajaran agama yang diajarkan itu disalahgunakan atau diartikan, ditafsirkan, dipahamkan semaunya. Sesuai selera orang yang melakukan gerakan radikal atau radikalisasi itu.” paparnya.
“Khusus di Indonesia, radikal itu diartikan sebagai pemikiran, faham, karya, dan gerakan dalam rangka anti Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Anti, tidak setuju, berniat atau berikhtiar untuk membubarkan NKRI. Selanjutnya intoleran intra atau antar umat beragama. Cirinya saling mencaci antar golongan, antar agama. Berikutnya bercita-cita dan berikhtiar ingin mendirikan Negara khilafah Islamiyah. Maka gerakan antisipasi-antisipasi mengarah kepada empat hal itu.” jelasnya.
Dr. K.H. Aswin R. Yusuf., sebagai Pembina Jam’iyyatul Islamiyah, menjelaskan “Persoalan-persoalan radikalisme ini menjadi topik pembicaraan Nabi Muhammad sebagai pembawa dakwah untuk mengingatkan umat Islam seantero dunia. Manusia bukan diciptakan dari ketajaman berfikir, justru agama adalah menertibkan proses berfikir. Kami melakukan riset selama dua minggu di Universitas-universitas Jepang. Tidak ada satupun mereka yang bisa menjawab, bagaimana asal usul kepintarannya. Lalu kenapa mereka tidak mampu menyelesaikan perilaku-perilaku bermasalah. Radikal merupakan, sikap atau prilaku. Jadi membaca Al-Quran harus tahu dan mengerti apa yang dibaca karena itu adalah fardu kifayah. Kita harus paham akan makna bukan translate. Sehingga kita tidak salah dalam memahaminya” jelasnya.
Prof. Dr. Imam Suprayogo, M.A., Mantan Rektor UIN Maliki Malang dalam materinya menyampaikan “Orang radikal adalah orang yang kecewa, orang yang sakit hati melihat orang-orang sukses, dia tidak sukses. Kenapa tidak sukses, karena tidak belajar.
Mengakibatkan ia menjadi marah, orang yang marah adalah orang yang radikal. Dengan kita selalu ingat Rasulullah, ingat Allah maka hati ini lalu menjadi damai.”
“Perlu di kaji ulang kata Kafir yang dipakai oleh teroris itu. Jangan-jangan kata kafir itu tidak untuk mendefinisikan orang-orang yang tidak setuju dengan dia. Jangan-jangan yang dikatakan kafir itu di sini, di dalam hati kita. Karena hati kita kadang-kadang mukmin dan kadang-kadang kafir. Karena hati selalu berbolak balik.” tegasnya.
“Saya pernah bilang kepada mantan teroris yang ingin terjadi perang di Indonesia. ‘sesungguhnya kita selalu dalam keadaan perang. Karena perang itu ada dua jenis, yaitu perang kecil dan perang besar. Perang kecil adalah perang fisik seperti Perang Uhud, Perang Badar. Selain itu ada perang besar, perang melawan hawa nafsu kepada diri sendiri.’ Kita harus bisa perang melawan hawa nafsu.” nasihatnya.
Prof. Dr. M. Amin Abdullah Mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menyampaikan pemaparan tentang Radikalisme “HTI bisa dibubarkan tapi nyatanya semua aktivisnya masih ada. Makanya disitu ada problem ideologi. Kita harus menjalankan dan memahami Islam secara benar. Kita harus melihat lagi apakah pendidikan agama kita sudah benar, pendidikan fiqih, pendidikan kalam. Karena pendidikan fiqih dan kalam memiliki peran yang besar, kalau disalah pahami jadi ideologi politik, lalu menjadi ideologi khilafah sehingga seorah-olah berhadapan dengan Pancasila dan NKRI.” urainya.
Penulis: Bambang Eko Priyanto
Editor: Aspari Ismail