Oleh: Dr. Syarif, S.Ag, MA.
Ketika Allah menerangkan misal dari Nur-Nya pada Qs. al-Nur/24:35, di ujung teks ayat itu dikatakan “Allah membuat misal bagi manusia dan Dia mengetahui segala sesuatu”. Makna teks ayat ini pertama Allah dalam menerangkan sesuatu sekalian memicu manusia untuk berfikir keras untuk memahami apa yang sedang diterangkan-Nya oleh karena, keterangan tersebut diungkap dengan perumpamaan.
Kedua, Allah mengatakan bahwa Dia mengenal mengetahui segala sesuatu, mengandung makna ialah manusia tidak akan tahu atau faham tentang yang sedang diterangkan-Nya itu. Itu sebabnya Dia menyediakan diri untuk dimintai kefahaman supaya manusia itu tahu diri dan tidak merasa tahu. Kesediaan Allah itu tentu dengan cara mengutus utusan di permukaan bumi dari kalangan manusia itu sendiri. Tentu pula mekanisme penunjukan utusan itu adalah dengan cara Allah sendiri. Tentu juga kebanyakan manusia tidak tahu dengan siapa yang diutus Allah itu, dan kalaupun tahu kebanyakan manusia tidak percaya bahkan menolaknya. Utusan-utusan tersebut bernama auliya’-anbiya’. Pun utusan itu juga biasanya bersenandung karena terkait etikanya kepada Allah yang tidak boleh terang-terangan bahwa dirinya auliya (zaman sekarang). Utusan tersebut biasa menerangkan bahwa dirinya hari bersembunyi di tengah terik matahari.
Kata-perkata pada teks ayat Qs. 24:35 di atas pun sangat sulit difahami jika hanya mengandalkan teka-teki pemikiran manusia yang sangat terbatas. Karena teks tersebut diungkap dengan perumpamaan. Oleh karena itu hanya orang yang dikasi kefahaman oleh yang punya perkataanlah yang dapat memahami maksud teks ayat tersebut. Orang yang dikasi kefahaman itu dengan pasti mengerti wujud yang diterangkan Allah dengan perumpamaan tersebut. Karena memang petunjuk Allah itu berbasis wujud bukan berbasis epistemic literalistic.
Saat ini kita sedang berada pada momen mudik lebaran. Kita menangkap perumpamaan di sini. Mudik lebaran itu pasti berkaitan dengan puasa Ramadhan dan Idul Fitri. Mudik itu makna intinya rindu kampung halaman. Maka seseorang yang rindu kampung halaman pasti ingin sekali kembali. Tentu karena banyak hal tugas di perantauan, maka pulang atau kembali ke kampung halaman itu pada momen tertentu seperti pada waktu lebaran ini. Perumpamaan ini cantik sekali. Maka judul di atas saya tulis “mudik jasadi dan ruhani”.
Supaya perumpamaan ini menemukan maknanya, izinkan saya menyampaikan uraian tentang eksistensi kita yang menjadi manusia dalam dunia di permukaan bumi. Kita adalah wujud yang terdiri dari lahiriah/jasadiah-zhahiriyah-batiniyah. Jasadiyah itu adalah yang berwujud materi seperti yang kita bisa lihat dan raba yaitu tubuh kita ini. Jasadiyah ini diuraikan oleh teks-teks ayat Alquran adalah sebagai sesuatu yang datang dari ibu-bapak yang materi kejadiannya dari saripati tanah yang tersaring, menjadi air yang hina, yang terpancar/keluar dari tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan, kemudian dilukis atau dibentuk di dalam rahim (Qs. 23:12, 32:8, 86:5-7, 3:6, dan masih banyak teks lain yang bermunasabat). Referensi inilah yang melahirkan tempat yang bernama kampung halaman. Yaitu tempat di mana bahan atau materi jasadiyah kita diperoleh oleh kedua ibu-bapak kita. Dengan referensi ini kita dapat memahami bahwa kampung halaman yang hari ini kita pada mudik ke sana adalah kampung halaman lahiriyah atau jasadiyah. Di sana selain materi kejadian jasad kita di sana di dapat, juga di sana jasad kita dilahirkan oleh ibu kita.
Kemudian unsur kedua dan ketiga yaitu zhahiriyah dan bathiniyah, yaitu wujudnya adalah ruh dan dzat. Asal kejadian dan keberadaan ruh dan dzat ini tidak sama dengan jasadiyah. Bahwa wujud ruh dan dzat ini berasal dari satu tempat dan wujud atau keberadaannya bukanlah materi. Ruh dan dzat ini wujudnya adalah immateri. Teks ayat Alquran menerangkan bahwa ruh itu cahaya (Qs. 42:52). Keduanya datang bersamaan, yaitu datang dari pada Allah. Kedua wujud ini berbeda pada fungsinya. Ruh berfungsi mengaktifkn atau nenghidupkan jasad. Ruh diizinkan berbuat dan berkuasa pada tubuh. Ruh dengan dzat atau rasa atau ni’mat yang dianugerahkan kepadanya berfungsi untuk menyempurnakan kejadian manusia (Qs. 32:9) dan bebas berbuat menikmati kekayaan Allah di permukaan ini (Qs. 2:79). Untuk mengukur baik-buruknya kekuasaan ruh berbuat pada dan dengan tubuh manusia tersebut, maka kepadanya dianugerahkan dzat atau rasa atau ni’mat yang memiliki sifat dasar jujur-baik-shiddiq. Dengan sifat dasarnya inilah dzat menjalankan fungsinya yaitu mencatat semua aktifitas ruh pada dan dengan tubuhnya. Apakah perbuatan ruh itu baik atau buruk semuanya tercatat sebagai catatan di dalam dada tanpa sedikitpun dibelokkan atau dimanipulasi dan tersimpan di dalam dada (Qs. 18:1, 29:49).
Supaya dzat ini efektif berfungsi maksimal bagi ruh, ruh diperintah mudik atau kembali ke tempat asalnya. Adapun tempat asal ruh ini adalah di sisi Allah. Adapun momen kembalinya ruh ke sisi Allah itu ialah pada sembahyang lima waktu. Pada sembahyang lima waktu inilah ruh diperintah mendirikan shalat sebagai wujud kembali ke sisi Allah (Qs. 2:44-46). Jadi kita yang mengerti tempat asal yang sejati mesti mengerti cara mudiknya ruh dengan benar, supaya tidak timpang dalam kehidupan.
Jadi mudik lebaran itu perumpamaan kerinduan ke kampung halaman di mana kita dilahirkan ke permukaan bumi dengan dan pada tubuh manusia. Namun rasa rindu ke kampung halaman jasadiyah itu juga harus kita buat yang sama terhadap kampung halaman sejati kita yaitu di sisi Allah dengan mengerti dan melaksanakan shalat yang benar pada sembahyang lima waktu dalam sehari semalam.
Mudik lebaran adalah pulkamnya jasadiyah. Sedangkan Shalat adalah mudiknya ruhani.
Penulis adalah Rektor IAIN Pontianak.