Brunei Darussalam (iainptk.ac.id) Dalam rangka Konferensi Antarbangsa Islam Borneo di Brunei Darussalam (KAIB) 5-7 Juni 2024, IAIN Pontianak dengan rombongan tidak kurang dari 36 orang menampilkan berbagai corak karya ilmiah berupa membentang makalah di perhelatan KAIB, yang terdiri dari para dosen dan pejabat IAIN Pontianak. IAIN merupakan salah satu anggota KAIB.
Prof. Dr. K.H. Syarif, S.Ag. MA sebagai Rektor IAIN Pontianak terundang menjadi salah seorang Pembenatang Ucaptama dari 8 (delapan) pembentang jemputan (undangan) utama, membawakan tajuk bentangannya “Moderasi Beragama Untuk Harmoni Dunia”.
Syarif memaparkan latar belakang makalah yang dibentangkan itu dengan menyebutkan bahwa di dunia saat ini sangat rentan dengan ketidakdamaian yang diatasnamakan agama. Kita masih ingat betul bagaimana pembantaian umat Islam di Ronghiya Miyanmark, umat Islam di Huigur Cina, bahkan antar umat Islam di Syuriah, dan saat ini puluhan ribu rakyat Palestina dibantai. Semua itu terjadi karena sikap beragama yang salah, yaitu atas nama kebenaran agama kemudian saling bantai atas sesama manusia. Walau pun setelah ditelisik ternyata tidak luput dari kepentingan-kepentingan politik dunia.
Rincian data terkait latar belakang itu adalah pada peristiwa Bom bali menewaskan tidak kurang dari 203 orang dan 209 orang korban luka-luka. Di Huigur lebih dari 450 orang tiewas di wilayah konflik Xinjiang China dalam tahun 2014. Di Rohingya teedapat korban 1.500+ korban terbunuh (per 2022 ), 24.000+ warga sipil terbunuh (per 2019 ),128.000 pengungsi internal (per 2018 ), lebih dari 300.000 orang mengungsi ( 2023), dan 950.000+ melarikan diri ke luar negeri.
Sedangkan di Palestina, dalam 16 tahun terakhir, korban Palestina paling banyak berguguran pada 2014 yang mencapai 2.329 jiwa. Disusul pada 2009 lalu yang mencapai 1.066 jiwa. Sedangkan pada update terakhir, 19 September 2023 sudah mencapai 227 jiwa. Terbanyak tahun 2024 jumlah korban meninggal dunia meningkat menjadi 31.490 orang.
Syarif merinci dalam makalahnya, bahwa sesungguhnya dalam sisi horizontal kehidupan, agama diturunkan Tuhan hanya untuk supaya manusia ini saling menyayangi bukan saling menyakitkan apalagi saling membantai dan menghabisi. Maka sangat keliru jika atas nama agama apalagi hanya atas nama aliran dalam suatu agama lalu kemudian saling menyakiti dan saling membantai.
Itu sebabnya Allah menuntunkan dengan firman yang artinya ” barang siapa membunuh seorang manusia bukan karena dia membunuh manusia lainnya, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya” (Q.s. al- Mâidah/5:32). Kalau pun seseorang itu membunuh manusia lainnya, maka ada hakim untuk meng-hudud-nya. Artinya tidak dibenarkan untuk membunuh manusia lain secara individu atau semaunya.
Di ayat lain juga disampaikan “hamba Tuhan Yang Maha Kasih itu adalah yang berjalan di muka bumi dengan lemah lembut dan jika bertemu dengan orang jahil dia mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan–kesejahteraan–kedamaian” (Q.s. al-Furqân/25:63). Ayat ini menyebut Tuhan Yang Maha kasih. Hamba yang bertuhan hidupnya mesti penuh kesopanan dan menebar keselamatan–kedamaian kepada sesama. Berkata saja harus mengandung keselamatan, apalagi dalam bertindak.
Ajaran penting dalam moderasi beragama adalah bahwa Tuhan menurunkan ajaran agama melalui para auliya-anbiya adalah untuk keselamatan, kesejahteraan, dan kedamaian manusia. Prinsip inilah yang biasa dikenal dengan “wamâ arsalnâka illâ rahmatan li al-‘âlamîn — Tidak Kami mengutus Engkau Muhammad melainkan sebagai rahmat bagi seisi alam”. Islam “rahmatan li al-‘âlamîn itu adalah ajaran yang mengutamakan terwujudnya kasih sayang antar sesama manusia, bahkan terhadap seisi alam sesemesta seluruhnya. Ini maksudnya bahwa al-Quram itu sebagai petunjuk bagi seluruh manusia–hudan li al-nás, alias bukan hanya untuk umat Islam saja. Kepahaman utamanya adalah bukan seluruh manusia disuruh menganut dan percaya kepada al-Quran semua, sebab tidak ada paksaan dalam menganut agama–lá ikrâha fi al-dîn. Tetapi bahwa orang yang percaya kepada al-Quran itu harus mengamalkan kandungannya untuk berbuat baik dan menebar kasih sayang dan kedamaian kepada seluruh manusia.
Moderasi itu artinya jalan tengah. Moderasi beragama itu ajaran untuk terwujudnya sikap umat beragama dalam menganut dan mengamalkan ajaran agamanya. Jalan tengah itu artinya tidak ekstrem kanan, yaitu ajaran agama yang tekstualis, dan kaku. Tidak juga ekstrem kiri, yaitu ajaran agama yang diamalkan oleh para libralis, di mana kebebasan berpikir yang bablas.
Ekstrem kanan cirinya mudah menyalahkan cara ibadah orang lain, mudah mengklaimkan kafir kepada orang lain, mudah membid’ah-bid’ahkan amaliah keagamaan orang lain yang tidak sehaluan dengan mereka. Sementara yang ekstrem kiri berpikiran bablas menggugat ajaran agama. Dalam Islam misalnya, mereka menggugat mengapa hukum waris itu berpihak kepada laki-laki, di mana 2:1 dengan perempuan.
Moderasi beragama ini menjadi bagian dari empat manhaj fikrah shahîhah–pemikiran yang benar yaitu i’tidâl, tasámuh, tawâsuth, tawâzun. Susunan ini saya urutkan dan saling menjadi syarat satu atas yang lainnya. I’tidâl ini dimaknai keadilan. Dalam konteks hubungan antar umat manusia sebagai umat beragama, keadilan ini adalah cermin dan pilar utama dari tajuk besar Islam Rahmatan Li al-‘âlamîn. Keadilan ini mensyaratkan adanya sikap tasámuh — toleran.
Toleran adalah sikap tenggang, tenggang rasa, tenggang anutan agama. Toleran atar umat beragama adalah sikap tenggang, bersedia membiarkan, mempersilahkan orang lain untuk menganut, memahami, mendalami, dan mengamalkan agamanya, seperti kita juga bersikap seperti itu dalam beragama kita. Tasámuh ini mensyaratkan adanya sikap Moderat.
Dalam Kajian Islam moderat ini biasa dikenal dengan istilah wasathiyatu al-Islam atau al-ialám al-wasathiy — Islam Moderart. Inspirasi utama Islam Moderat ini adalah teks ayat al-Quran Q.s. al-Baqarah/2:143 “dan demikianlah kami jadikan kamu umat pertengahan — ummatan wasathan supaya kamu menjadi saksi atas manusia dan supaya Rasul menyaksikan atas kamu”.
Islam moderat kemudian menjadi ikhtiar dan proses aktualisasi untuk menjadi sikap dan kepribadian disebut moderasi beragama. Moderasi beragama asalah menyasar pemahaman dan perilaku beragamanya para penganut agama. Artinya moderasi beragama tidak menyasar ajaran agama, atau bukan agama yang dimoderasi.
Bentuk atau hasil dari moderasi beragama adalah perilaku yang tidak ekstrem kanan dan tidak ekstrem kiri. Ekstrem kanan adalah perilaku beragama orang-orang yang memahami agama secara tekstualis dan eksklusif.
Ciri ekstrem kanan ini gemar dengan klaim takfiri, tabdî’ì, dan suka menyalahkan cara beribadahnya orang lain yang tidak sehaluan dengan mereka. Adapun ekstrem kiri adalah kelompok yang memahami ajaran agama secara libral, atau bebas yang berlebihan. Semua teks harus diukur dengan rasionalitas dan cenderung mempertanyakan isi teks ayat suci yang menurut mereka perlu rasionalkan. Misalnya mereka mempertanyakan hukum waris dalam Islam, mengapa satu berbanding dua bagi perempuan dari laki-laki.
Sikap moderat dalam beragama ini mensyaratkan adanya pemahaman tentang tawâzun. Tawâzun dalah pemahaman yang balance–seimbang. Yaitu seimbang antara ‘aqli dan naqli, antara syariat dan hakikat, antar kajian fiqh dan tashawwuf, dan seterusnya. Inti dari kapahaman tawâzun ini adalah keluasan pemahaman keagamaan. Mehami ajaran Islam secara kâffah bagi umat Islam. Begitu pula seharusnya bagi agama selainnya.
Dalam bermoderasi beragama ini selain dibutuhkan manhaj al-fikrah al-shahîhah di atas, dibutuhkan pula kepahaman tentang inti ajaran agama. Bagi umat Islam, inti kandungan isi kitab al-Quran dan perangkatnya tentang pertama, supaya manusia hidup tenteram, damai, dan sejahtera. Inti ini disimpul dalam kalimat rahmatan li al-‘âlamîn. Kedua, tentanv persaudaraan se-Tuhan.
Konsep kepahaman persaudaraan se-Tuhan ini adalah ajaran bahwa Ruh yang sedang berada di seluruh jasad–tubuh manusia di permukaan bumi ini ialah semua datang dari satu Tuhan. Ini implementasi utama dari jika kita belajar dan memahami tauhid. Jadi konsep persaudaraan se-Tuhan ini lintas suku-bangsa dan agama. Suku apa pun, bangsa apa pun, bahkan agama apa pun, di dalam tubuh orang-orang itu ada Ruh yang ditiupkan dari sisi Tuhan, Allah Swt.
Maka, oleh karena itu dalam hal beragama tidak boleh ada paksaan, lâ ikrâha fi al-dîn — tidak ada paksaan dalam beragama (Q.s. al-Baqarah/256). Dalam soal kemuliaan suku-bangsa dituntunkan bahwa yang paling mulia itu adalah yang paling sering hadir hatinya di sisi Allah, yang paling bertakwa (Q.s. al-Hujurat/49:13). Dalam tinggi rendahnya derajat yang ditinggikan Allah adalah yang keimanan, ilmu, dan amalnya (Q.s. al-Mujadilah/58:11, al-Ahqaf/46:19, Thaha/20:75, al-Anfal/8:4, al-An’am/6:132).
Kesimpulan
Dunia membutuhkan konsep dan pengaplikasian nilai Moderasi beragama. Penyimpangan dan penistaan agama yang sesungguhnya di dunia saat ini adalah berbentuk pembantaian kemanusiaan atas nama agama. Haluan moderat dalam beragama inilah yang mampu berpihak kepada kemanusiaan secara obyektif. Sejalan dengan teks suci ayat al-Quran bahwa rahmatan li al-‘âlamin adalah misi ini dari diturunkannya al-Quran dan kitab suci agama-agama. Kedamaian dan kesejahteraan adalah kebutuhan utama kemanusiaan. Maka jika ada gerakan dan laku atas nama agama yang berlawanan dengan misi utama ini, itu pasti penyimpangan dan bahkan penistaan agama.
Penulis : BEP/Farli
Editor : Bambang